/I/    Â
Dan terhamparlah bumi yang basah
langit yang berkaca gelisah
saat jari-jemari angin lembut menyusur semenanjung
menyusun hari dan peredaran musim
tangan-tangan perkasanya memahat lembah dan gunung-gunung
cadas bebatuan, menabur tunas, kerimbunan hutan-hutan
ngarai-ngarai yang telaten menyerap rekadaya alam
gunung-gunung menjulang menyangga kerapuhan
merentangkan neraca keseimbangan
Terceritalah pertemuan sang Angin
dengan serumpun teratai merah di pinggir hutan:
"Engkau bunga rawa yang tak kenal keharuman
 batang-batangmu berduri tajam,
 apakah yang engkau persembahkan
 sebagai wujud syukur anugerah alam?"
"O kesayangan malaikat Tuhan
 tak kau lihatkah caraku menyelenggarakan kehidupan?
 Kupilih rawa-rawa dangkal
 agar tak mengganggu habitat ikan-ikan
 dan leluasa memandang kejauhan
 supaya bisa kuhimbau alam dengan isyarat perubahan,
 akulah yang pertama mengabarkan kedatangan musim hujan
 dengan kembang-kembangku yang riang bermekaran
 akulah si pemberi peringatan
 bila perangai kemarau mulai ditampakkan
 batang-batangku menyusut layu penuh kepasrahan
 daun-daun dan akarku merepih jadi humus tanaman
 dan bersama penyerahan diri ke jantung bumi
 kubina pula akar-akar kesuburan
 untuk menggugah musim hujan mendatang
 agar petani jenjam dalam siklus keseimbnagan,
 Siapakah masih meragukan bahwa aku kerabat alam?"
Tak jauh dari situ
meriaplah sekelompok cendawan
pada sebatang pohon tumbang;
"Dan engkau hei payung mungil
 mengapakah hidup di atas kematian?"
" Siapakah yang tak hidup di atas kematian?
 bahkan sang Jiwa yang luhur itupun bersemayam
 pada jasad yang dipeluk kematian,
 bumi adalah hamparan kematian
 sebelum datang unsur bernama kesuburan
 kegemilangan fajar pagi
 hanya bisa dinikmati
 setelah malam membebaskan ruh dari kematian impian.
 dan tidakkah kesadaran pernah begitu dalam terbenam
 dalam rahim kematian sebelum terjaga dalam syahadah alam?"
Pada ketinggian dataran
membentang padang ilalang
berpagar deretan kelapa dan lebat cemara
bergelombang riang dalam segala suasana,
Inilah seruan sang Angin pada mereka:
"Bagaimanakah kalian bisa selalu bahagia?"
Dalam irama keceriaan mereka memberi sahutan:
"Pada siapa saja yang datang
 kami senantiasa mengulurkan persahabatan,
 kamilah kekasih rembulan
 bila engkau membayangkan keteduhan
 kamilah simfoni kesyahduan
 ketika engkau menyebut ketenangan malam
 kamilah lambang kelapangan
 bagi penduduk yang menggarap sawah ladang
 kamilah simbol kembang hati, ikhlas perasaan
 ketika tangan-tangan takdir menyodorkan determinasi
 Batang-batang mungil kami runduk merenungi diri
 Pucuk-pucuk kami menggapaikan doa ke langit tinggi-tinggi."
Melewati rembang petang
sang Angin memanggil sahabatnya awan
untuk mengiringkan perjalanan
ke benua-benua terlarang
pulau-pulau asing yang tak pernah disinggahi orang,
maka menampaklah kota dan negeri-negeri terbaring
berselimut kegaiban malam
menggigil sepi di bawah sorotan bintang-bintang,
Tak lama berselang, rembulan mulai menghitam
tersudut sendirian, hanya ditemani satu dua kerlip bintang,
menderulah swaranya dari balik tabir kebisuan:
"Wahai engkau yang berlindung dari kejahatan malam
 angkatlah tangan 'tuk menggapai khazanah kemuliaan!
 Lawanlah hantu-hantu ketakutan
 agar engkau mendapat sejati kebebasan!
 Bukalah mata dan pintu-pintu hatimu
 bagi segala fenomena keheningan
supaya tersimak makna taksa kesunyian!
Bakarlah cinta dan dupa di altar jiwamu selalu
niscaya 'kan terlampaui kabut semu kefanaan itu!"
Lalu dikirimnya hujan
yang mengetuk-ngetuk jendela dan genteng
membisik-bisikkan rahasia hening,
bila satu dari penduduk desa mengenalinya
besok dia sudah bukan manusia,
Begitulah, sang Angin berkelana
memintas kota dan desa-desa
merancang jarak dan batas-batas bulan
membagikan sifat bagi aneka ragam tanaman
menetapkan waktu pelayaran, saat menuai
dan pengembangbiakan hewan,
memulasnya dengan musim silih berganti
meninggalkan jejaknya yang abadi
pada lumut dan batu-batu purbani,
memintal kenangan bagi generasi
yang mungkin tidak sempat ditemui,
dalam kitab kehidupan riwayatnya lestari
membidani kelahiran putra-putri alam;
unggas yang mengepak di dataran
fauna yang berenang di kedalaman
air yang setia menempuh perjalanan ke tanah-tanah harapan
sejuta bunga yang jadi kebanggaan
lembah dan lereng-lereng curam
jadi simbol dari citra abadi kesejatian
Dan pada tiap gerak perubahn
dari tandus kepada kesuburan
dari duka kepada senandung keriangan
melambar lestari neraca keseimbangan
bayangan hakiki kebijakan sang Jantung Kehidupan
prosesi pemujaan yang menuntun segala ke rumah Keabadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H