Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Risalah Angin /I/

11 November 2024   15:27 Diperbarui: 11 November 2024   15:30 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

 /I/        

Dan terhamparlah bumi yang basah

langit yang berkaca gelisah

saat jari-jemari angin lembut menyusur semenanjung

menyusun hari dan peredaran musim

tangan-tangan perkasanya memahat lembah dan gunung-gunung

cadas bebatuan, menabur tunas, kerimbunan hutan-hutan

ngarai-ngarai yang telaten menyerap rekadaya alam

gunung-gunung menjulang menyangga kerapuhan

merentangkan neraca keseimbangan

Terceritalah pertemuan sang Angin

dengan serumpun teratai merah di pinggir hutan:

"Engkau bunga rawa yang tak kenal keharuman

 batang-batangmu berduri tajam,

 apakah yang engkau persembahkan

 sebagai wujud syukur anugerah alam?"

"O kesayangan malaikat Tuhan

 tak kau lihatkah caraku menyelenggarakan kehidupan?

 Kupilih rawa-rawa dangkal

 agar tak mengganggu habitat ikan-ikan

 dan leluasa memandang kejauhan

 supaya bisa kuhimbau alam dengan isyarat perubahan,

 akulah yang pertama mengabarkan kedatangan musim hujan

 dengan kembang-kembangku yang riang bermekaran

 akulah si pemberi peringatan

 bila perangai kemarau mulai ditampakkan

 batang-batangku menyusut layu penuh kepasrahan

 daun-daun dan akarku merepih jadi humus tanaman

 dan bersama penyerahan diri ke jantung bumi

 kubina pula akar-akar kesuburan

 untuk menggugah musim hujan mendatang

 agar petani jenjam dalam siklus keseimbnagan,

 Siapakah masih meragukan bahwa aku kerabat alam?"

Tak jauh dari situ

meriaplah sekelompok cendawan

pada sebatang pohon tumbang;

"Dan engkau hei payung mungil

 mengapakah hidup di atas kematian?"

" Siapakah yang tak hidup di atas kematian?

 bahkan sang Jiwa yang luhur itupun bersemayam

 pada jasad yang dipeluk kematian,

 bumi adalah hamparan kematian

 sebelum datang unsur bernama kesuburan

 kegemilangan fajar pagi

 hanya bisa dinikmati

 setelah malam membebaskan ruh dari kematian impian.

 dan tidakkah kesadaran pernah begitu dalam terbenam

 dalam rahim kematian sebelum terjaga dalam syahadah alam?"

Pada ketinggian dataran

membentang padang ilalang

berpagar deretan kelapa dan lebat cemara

bergelombang riang dalam segala suasana,

Inilah seruan sang Angin pada mereka:

"Bagaimanakah kalian bisa selalu bahagia?"

Dalam irama keceriaan mereka memberi sahutan:

"Pada siapa saja yang datang

 kami senantiasa mengulurkan persahabatan,

 kamilah kekasih rembulan

 bila engkau membayangkan keteduhan

 kamilah simfoni kesyahduan

 ketika engkau menyebut ketenangan malam

 kamilah lambang kelapangan

 bagi penduduk yang menggarap sawah ladang

 kamilah simbol kembang hati, ikhlas perasaan

 ketika tangan-tangan takdir menyodorkan determinasi

 Batang-batang mungil kami runduk merenungi diri

 Pucuk-pucuk kami menggapaikan doa ke langit tinggi-tinggi."

Melewati rembang petang

sang Angin memanggil sahabatnya awan

untuk mengiringkan perjalanan

ke benua-benua terlarang

pulau-pulau asing yang tak pernah disinggahi orang,

maka menampaklah kota dan negeri-negeri terbaring

berselimut kegaiban malam

menggigil sepi di bawah sorotan bintang-bintang,

Tak lama berselang, rembulan mulai menghitam

tersudut sendirian, hanya ditemani satu dua kerlip bintang,

menderulah swaranya dari balik tabir kebisuan:

"Wahai engkau yang berlindung dari kejahatan malam

 angkatlah tangan 'tuk menggapai khazanah kemuliaan!

 Lawanlah hantu-hantu ketakutan

 agar engkau mendapat sejati kebebasan!

 Bukalah mata dan pintu-pintu hatimu

 bagi segala fenomena keheningan

supaya tersimak makna taksa kesunyian!

Bakarlah cinta dan dupa di altar jiwamu selalu

niscaya 'kan terlampaui kabut semu kefanaan itu!"

Lalu dikirimnya hujan

yang mengetuk-ngetuk jendela dan genteng

membisik-bisikkan rahasia hening,

bila satu dari penduduk desa mengenalinya

besok dia sudah bukan manusia,

Begitulah, sang Angin berkelana

memintas kota dan desa-desa

merancang jarak dan batas-batas bulan

membagikan sifat bagi aneka ragam tanaman

menetapkan waktu pelayaran, saat menuai

dan pengembangbiakan hewan,

memulasnya dengan musim silih berganti

meninggalkan jejaknya yang abadi

pada lumut dan batu-batu purbani,

memintal kenangan bagi generasi

yang mungkin tidak sempat ditemui,

dalam kitab kehidupan riwayatnya lestari

membidani kelahiran putra-putri alam;

unggas yang mengepak di dataran

fauna yang berenang di kedalaman

air yang setia menempuh perjalanan ke tanah-tanah harapan

sejuta bunga yang jadi kebanggaan

lembah dan lereng-lereng curam

jadi simbol dari citra abadi kesejatian

Dan pada tiap gerak perubahn

dari tandus kepada kesuburan

dari duka kepada senandung keriangan

melambar lestari neraca keseimbangan

bayangan hakiki kebijakan sang Jantung Kehidupan

prosesi pemujaan yang menuntun segala ke rumah Keabadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun