Oleh : Abdul Hakim
Tema : Produksi
Sebelum membahas terkait dengan produksi dalam Islam, ada baiknya jika kita juga mengetahui definisi atau arti dari produksi itu sendiri. Produksi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata produce yang berarti menghasilkan, membuat, dan menciptakan. Sedangkan arti kata produksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mengeluarkan suatu hasil.Secara terminologi atau istilah produksiadalah suatu kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen atau penjualnya. Kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam pada akhirnya mengecil pada kegiatan manusia dan eksistensinya, yaitu mengutamakan harkat kemuliaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.
Produksi, distribusi, dan konsumsi sebenarnya adalah suatu rangkaian kegitan ekonomi yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya memang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, namun harus diakui memang produksi merupakan dasar utama dari kegiatan itu. Tidak akan ada kegiatan distribusi dan bahkan konsumsi tanpa adanya kegiatan produksi. Dalam pandangan Islam, semua yang ada dalam dunia ini adalah milik Allah SWT, hal ini sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan Dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kamu yang berpikir. (Q.S. Al-Jasiyah ayat 13).
Dapat diterjemahkan tersendiri bahwasanya maksud dari ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT adalah pemilik absolut segala yang ada di dunia aini. Kemudian juga dengan diyakini oleh umat Islam bahwa Allah adalah pemilik absolute semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak hanya bertujuan duniawi, tetapi juga bertujuan pada kehidupan akhirat kelak.
Pada prinsipnya Islam lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan dari beberapa orang saja yang memiliki suatu kekuasaan dan uang, sehingga menjadikannya mempunyai daya beli yang lebih baik dan bersainguntuk selalu menjadi yang utama. Oleh karena itu, bagi Islam produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif (jumlah) maupun kualitatif (mutu yang terkandung di dalamnya) tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada di suatu negara.
Kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Kegiatan produksi yang kita lakukan harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan distribusi dan konsumsi. Kegiatan distribusi harus memiliki tenaga yang cukup dalam menyetorkan barang dari suatu wilayah ke wilayah lain sehingga dapat merata, sedangkan konsumsi juga harus sewajarnya sesuai dengan kebutuhan dan bukan hanya berdasar pada keinginan yang tiada habisnya. Tujuan dari kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang dapat memberikan suatu mashlahah maksimum bagi konsumen yang memang telah ditargetkan dan diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat(tidak pilih-pilih), menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya sesuai dengan batas kewajaran, menyediakan persediaan barang atau jasa di masa depan, sehingga tidak terjadi kekurangan tenaga dan barang, dan memenuhi suatu kewajiban bagi kegiatan sosial kemasyarakatan dan ibadah kepada Allah SWT.
Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi Muhammad SAW menggunakan konsep produksi dalam makna yang luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia dan hanya berdasarkan pada keinginan manusia yang tidak pernah terpuaskan, karenanya, jika berdasarkan dengan keinginan, maka tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Namun demikian, Al-Qur’an memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya bagi manusia untuk berusaha dan memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi dalam mengejar kehidupan ekonomi. Dengan memberikan landasan moral dan rohani bagi manusia, membuat sifat manusia yang pada awalnya tamak dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali dan bersosial antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.
Dalam Surah Al-Ma’arij ayat 19 dijelaskan bahwasannya terdapat beberapa sifat yang alami dari manusia yang menjadi dasar dari semua kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, yaitu:
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (Q.S. Al-Ma’arij ayat 19).
Sifat tamak dalam diri manusia membuat manusia itu sangat mudah berkeluh kesah, tidak sabar, dan gelisah dalam perjuangan mendapatkan kekayaan. Dengan begitu, maka akan memacu manusia untuk melakukan kegiatan yang produktif. Manusia akan giat untuk memuaskan kebutuhannya yang terus bertambah, sehingga berakibat kepada manusia yang cenderung melakukan kerusakan (mafsadat) di muka bumi ini. Dari sifat dasar manusia yang tamak itu pula menyebabkan manusia memiliki dorongan yang kuat dan bimbingan serta arahan yang benar dan selalu berusaha agar menjadikan manusia kembali memiliki sifat-sifat mulia atau baik. Kemajuan yang dicapai oleh manusia akan terus berlanjut sepanjang mereka terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Daya cipta yang tinggi akan terus menghasilkan produk-produk baru dan metode atau serta teknik produksi yang makin bagus dan sempurna, sehingga mampu menjaga taraf hidup manusia seiring dengan perubahan zaman. Sifat-sifat dasar manusia dijelaskan oleh Allah dalam Surah yang lain, yaitu:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga).” (Q.S. Al-Imran ayat 14).
Keinginan dari manusia yang tidak terbatas agar selalu dipenuhi dan memuaskan keinginan semakin lama akan semakin tinggi. Karena itu jika tidak terdapat arahan dari segi moral dan rohani yang baik, hal itu akan mendorong dan memaksa manusia melakukan kerusakan di muka bumi, seperti yang terjadi saat ini. Al-Qur’an memberikan pandangan hidup yang seimbang. Di satu sisi Islam membantu pertumbuhan yang sehat dan baik bagi masyarakat. Di sisi lainnya Islam juga memberikan rangsangan terhadap adanya aktivitas yang produktif. Karena itu Islam membuka seluas-luasnya kesempatan bagi riset dan penelitian yang sekiranya dapat meningkatkan kesejahteraan manusia di muka bumi ini. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ(أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ»(رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: "Dari Abu Hurairah R.A. berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: hendaklah seseorang di antara kalian berangkat pagi-pagi sekali mencari kayu bakar, lalu bersedekah dengannya dan menjaga diri (tidak minta-minta) dari manusia lebih baik daripada meminta kepada seseorang baik diberi ataupun tidak. Tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah. Mulailah (memberi) kepada orang yang menjadi tanggung jawabmu." (H.R. Muslim).
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa manusia dianjurkan untuk selalu berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang salah satunya dengan cara berproduksi. Produksi secara sederhana adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi bahan yang mentah untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan dan berguna untuk kemaslahatan ummat. Yang dimaksud dengan “memproduksi” yang bisa dilakukan manusia tidak sampai pada merubah substansi atau bentuk asli benda. Yang dapat dilakukan manusia dalam proses produksi adalah berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkannya atau mengeksploitasinya (ekstraktif). Setelah proses produksi selesai, maka akan dilakukan pemindahan dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya atau dapat juga menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang (dengan maksud bukan untuk menimbunnya) atau mengolahnya dengan memasukkan bahan-bahan pembuat tertentu, menutupi kebutuhan tertentu, atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya sesuai dengan keinginan kita, dengan melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan lain sebagainya. Hal itu semua hanya membuat kita mengubah kondisi materi, sehingga pada kondisi yang barupun substansinya (unsur aslinya) tetap tidak berubah.
Prinsip fundamental atau yang mendasar yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Bahkan dalam sistem ekonomi yang kapitalisterdapat himbauan untuk memproduksi barang dan jasa yang didasarkan atas asas kesejahteraan ekonomi masyarakat pada umumnya. Keunikan dari konsep Islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan atau realitas bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum yang lebih luas dan yang menyangkut persoalan-persoalan moral, pendidikan, agama, dan banyak hal lainnya yang lebih luas unsur kehidupannya. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dari segi “uang”.
Dalam sistem produksi Islam, konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas. Konsep dasar kesejahteraan ekonomi dalam Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang kita miliki yang diakibatkan oleh meningkatnya produktifitas kita yang berasal dari barang-barang atau bahan-bahan yang bermanfaat dan didapatkan dari pemanfaatan sumber-sumber daya secara maksimum dan efektif, sehingga tidak menghabiskan sumber daya alam yang ada. Dengan demikian, perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti meningkatnya pendapatan, yang dapat diukur dari segi uang, tetapi juga perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan diri kita dengan usaha minimal dengan tetap memperhatikan tuntunan perintah-perintah dalam Islam tentang konsumsi, sehingga nantinya tidak menjadi seseorang yang konsumtif. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad dalam hadits beliau, yaitu:
عَنِ المِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ(يَدِهِ» (رَوَاهُ الْبُخَارِى
Artinya: “Dari Miqdam R.A. dari Rasulullah SAW ia bersabda: tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan hasil kerja (produksi)nya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud AS mengkonsumsi dari hasil kerjanya sendiri.” (H.R. Al-Bukhari).
Oleh karena itu, bagi masyarakat Islam (Muslim) kenaikan volume produksi saja tidak akan menjamin kesejahteraan masyarakat secara maksimum. Kualitas dari barang-barang yang diproduksi haruslah mengikuti pada perintah atau anjuran dari Al-Qur’an dan Sunnah (Hadits Nabi Muhammad SAW), juga harus diperhitungkan dalam menentukan kesejahteraan ekonomi. Demikian pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan yang terjadi dalam hubungannya dengan perkembangan ekonomi, yaitu bahan-bahan makanan dan minuman yang terlarang.
Oleh karena itu, sistem produksi dalam Islam harus berdasarkan dan dikendalikan oleh prinsip yang objektif dan subjektif, prinsip yang objektif akan terlihat dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang, sedangkan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadits atau Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kita sebagai seorang Muslim haruslah selalu mencerminkan perilaku produktif dalam segala kehidupan kita, jangan sampai dalam satu hari kita lebih banyak waltu untuk tidur dan kurang dalam beraktifitas secara produktif. Berlaku produktif bukan saja dilakukan oleh orang-orang dewasa, namun kita juga sebagai mahasiswa atau siswa dalam berbagai tingkatan usia dapat melakukan hal-hal yang produktif, seperti halnya menulis artikel, membantu orang tua, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, dan melakukan hal-hal lainnya yang di sana dapat menghasilkan segala sesuatu yang baik menurut syariat Islam. Rasulullah SAW dalam hadits beliau bersabda:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا، فَإِنْ لَمْ(يَسْتَطِعْ أَنْ يَزْرَعَهَا وَعَجَزَ عَنْهَا، فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، وَلَا يُؤَاجِرْهَا إِيَّاهُ» (رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: “Dari Jabir R.A. berkata, Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu menanami, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah menyewakannya.” (H.R. Muslim).
Hadits di atas memberikan kita penjelasan bahwa kita harus produktif sebagai manusia, tanah saja oleh Nabi Muhammad berdasarkan syariat Islam haruslah produktif dan menghasilkan, apalagi manusia, yang merupakan makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah secara sempurna, sebagai suatu keharusan bagi kita untuk selalu melakukan kegiatan-kegiatan produktif yang tidak hanya bermanfaat bagi diri kita sendiri, namun juga bermanfaat bagi orang lain atau lingkungan. Hal ini sesuai dengan prinsip dari agama Islam, yaitu sebagai rahmatan lil alaminyang berarti rahmatan bagi semesta alam.
Dalam kehidupan ini juga, sebagai seorang Muslim kita tidak boleh mengandalkan hidup kita pada orang lain dengan cara meminta-minta, kita sebagai seorang Muslim harus dapat hidup mandiri dan selalu belajar dan belajar menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ» (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Artinya: "Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: barang siapa meminta-minta harta pada orang lain dalam rangka untuk memperbanyak (hartanya), sesungguhnya ia meminta bara api (neraka), maka hendaklah ia mempersedikit atau menguranginya." (H.R. Muslim).
Oleh karena itu berdasarkan hadits di atas, kita seorang Muslim jika masih dapat melakukan segala sesuatunya sendiri dan dapat berusaha dalam menajalani hidup ini, setidaknya dari hal yang kecil kita harus berusaha memenuhi kebutuhan kita sendiri secara mandiri. Jika kita diberikan tubuh yang sehat dan kuat, kita harus mampu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu karunia Allah SWT dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif. Nabi Muhammad SAW juga memberikan kecaman terhadap orang-orang yang tidak mau berusaha dan hidup mandiri dengan kecaman yang nyata dan menakutkan, yaitu neraka. Namun harus kita ingat bahwa dalam melakukan kegiatan produksi kita tidak boleh melalaikan prinsip-prinsip dasar dalam Islam, yaitu tetap menjaga alam agar lestari dan tidak merusak alam dalam melakukan kegiatan produksi.
Kegiatan produksi yang kita lakukan harus memenuhi tujuan dari produksi secara Islam, yaitu:
- Memenuhi kebutuhan setiap individu. Di dalam ekonomi Islam, kegiatan produksi menjadi sesuatu hal yang unik dan spesial, sebab di dalamnya terdapat faktor-faktor itqan (profesionalitas) yang dicintai Allah dan kebaikan yang diwajibkan Allah SWT atas segala sesuatu. Pada tingkat pribadi Muslim, tujuannya utama atau dasarnya adalah merealisasi pemenuhan kebutuhan bagi dirinya sendiri.
- Merealisasikan kemandirian umat, hendaknya umat Muslim memiliki berbagai kemampuan, keahlian, dan prasarana atau alat yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual. Jadi kita tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat keduniawian, namun juga selalu diiringi dengan ibadah-ibadah yang bernilai spiritual dalam melakukan hal-hal yang bersifat produktif.
Semoga segala hal yang kita lakukan dalam proses produksi mendapatkan berkah dari Allah dan dapat memberikan manfaat kepada seluruh umat di dunia ini. Perlu diingat bahwa dalam melakukan kegiatan yang bersifat produktif, kita harus mengutamakan prinsip kesejahteraan ekonomi yang berlandaskan kesejahteraan sosial atau masyarakat yang luas.
Ditulis oleh: Abdul Hakim
Kelas: ES4
Jurusan: Ekonomi Syariah
Fakultas: Ekonomi dan Bisnis Islam
IAIN Jember.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H