Dalam sistem produksi Islam, konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas. Konsep dasar kesejahteraan ekonomi dalam Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang kita miliki yang diakibatkan oleh meningkatnya produktifitas kita yang berasal dari barang-barang atau bahan-bahan yang bermanfaat dan didapatkan dari pemanfaatan sumber-sumber daya secara maksimum dan efektif, sehingga tidak menghabiskan sumber daya alam yang ada. Dengan demikian, perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti meningkatnya pendapatan, yang dapat diukur dari segi uang, tetapi juga perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan diri kita dengan usaha minimal dengan tetap memperhatikan tuntunan perintah-perintah dalam Islam tentang konsumsi, sehingga nantinya tidak menjadi seseorang yang konsumtif. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad dalam hadits beliau, yaitu:
عَنِ المِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ(يَدِهِ» (رَوَاهُ الْبُخَارِى
Artinya: “Dari Miqdam R.A. dari Rasulullah SAW ia bersabda: tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan hasil kerja (produksi)nya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud AS mengkonsumsi dari hasil kerjanya sendiri.” (H.R. Al-Bukhari).
Oleh karena itu, bagi masyarakat Islam (Muslim) kenaikan volume produksi saja tidak akan menjamin kesejahteraan masyarakat secara maksimum. Kualitas dari barang-barang yang diproduksi haruslah mengikuti pada perintah atau anjuran dari Al-Qur’an dan Sunnah (Hadits Nabi Muhammad SAW), juga harus diperhitungkan dalam menentukan kesejahteraan ekonomi. Demikian pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan yang terjadi dalam hubungannya dengan perkembangan ekonomi, yaitu bahan-bahan makanan dan minuman yang terlarang.
Oleh karena itu, sistem produksi dalam Islam harus berdasarkan dan dikendalikan oleh prinsip yang objektif dan subjektif, prinsip yang objektif akan terlihat dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang, sedangkan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadits atau Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kita sebagai seorang Muslim haruslah selalu mencerminkan perilaku produktif dalam segala kehidupan kita, jangan sampai dalam satu hari kita lebih banyak waltu untuk tidur dan kurang dalam beraktifitas secara produktif. Berlaku produktif bukan saja dilakukan oleh orang-orang dewasa, namun kita juga sebagai mahasiswa atau siswa dalam berbagai tingkatan usia dapat melakukan hal-hal yang produktif, seperti halnya menulis artikel, membantu orang tua, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, dan melakukan hal-hal lainnya yang di sana dapat menghasilkan segala sesuatu yang baik menurut syariat Islam. Rasulullah SAW dalam hadits beliau bersabda:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا، فَإِنْ لَمْ(يَسْتَطِعْ أَنْ يَزْرَعَهَا وَعَجَزَ عَنْهَا، فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، وَلَا يُؤَاجِرْهَا إِيَّاهُ» (رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: “Dari Jabir R.A. berkata, Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu menanami, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah menyewakannya.” (H.R. Muslim).
Hadits di atas memberikan kita penjelasan bahwa kita harus produktif sebagai manusia, tanah saja oleh Nabi Muhammad berdasarkan syariat Islam haruslah produktif dan menghasilkan, apalagi manusia, yang merupakan makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah secara sempurna, sebagai suatu keharusan bagi kita untuk selalu melakukan kegiatan-kegiatan produktif yang tidak hanya bermanfaat bagi diri kita sendiri, namun juga bermanfaat bagi orang lain atau lingkungan. Hal ini sesuai dengan prinsip dari agama Islam, yaitu sebagai rahmatan lil alaminyang berarti rahmatan bagi semesta alam.
Dalam kehidupan ini juga, sebagai seorang Muslim kita tidak boleh mengandalkan hidup kita pada orang lain dengan cara meminta-minta, kita sebagai seorang Muslim harus dapat hidup mandiri dan selalu belajar dan belajar menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ» (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)