Hengki kembali melayangkan pendapatnya secara serius. "Kalo dipikir-pikir, pacaran di pondok tuh letak haramnya di mana, ya?"
"Menurut gua, sih, gak ada," jawabku. Aku menerka, sepertinya obrolan ini akan menghasilkan diskusi yang menarik. Aku jadi lebih antusias.
"Nah, coba bayangin. Kita ketemu santriwati cuma di jam sekolah. Duduk pun dipisah; cewek sama cewek, cowok sama cowok. Hampir gak pernah ada kesempatan buat berdua. Pegangan tangan, gak akan bisa. Apalagi ciuman, boro-boro! Terus di mana letak haramnya pacaran di pondok?" Hengki terlihat menumpahkan seluruh uneg-unegnya.
Beberapa detik, aku menyiapkan susunan argumen di kepalaku. "Begini, Ki. Pondok ini merupakan lembaga pendidikan, kan?"
"Iya, sepakat."
"Pondasi argumen gue itu dulu. Sekarang, coba kita berpikir terbalik."
"Maksudnya?"
"Seandainya, nih, di pondok, yang dasarnya adalah lembaga pendidikan, lalu membolehkan santri untuk pacaran. Lu kebayang gak, akan seperti apa gaya hidup santri?"
Hengki tertegun sejenak. "Akan lebih liar pasti. Dilarang aja masih bisa ngakalin."
"Tau insiden kemaren, kan?" Aku bertanya.
"Apa tuh?"