Pada 31 Januari 1652, Sultan Ternate Mandarsyah menandatangani kontrak dengan Belanda. Isinya antara lain menyebutkan, bahwa Belanda akan mendukung dan menumpas semua pemberontakan yang mengancam kewibawaan Mandarsyah dengan syarat ia harus melarang penanaman cengkih di seluruh wilayah Ternate, termasuk Hoamoal. Â
Pohon-pohon cengkih yang sudah dimusnahkan tidak boleh ditanami lagi. Hanya di pulau Ambon dan daerah yang dikuasai Belanda boleh ada perkebunan cengkih. Kekuasaan Ternate atas Hoamoal dan daerah lainnya diserahkan kepada Belanda. Sebagai gantinya, maka Sultan Mandarsyah memperoleh ganti rugi 12.000 real setiap tahun (de Graaf, 1977). Â Â
Kendati Belanda berusaha memonopoli perdagangan cengkih di Hoamual, kapal-kapal kecil Makassar menyusup di antara pulau-pulau dari Selayar, Buton, Sula, Kelang, dan Manipa tiba di pantai barat Hoamoal. Dengan rute sebaliknya, kapal-kapal tersebut kembali ke Makassar membawa banyak cengkih dari Hoamual (Graaf, 1977).
Belanda pun tidak tinggal diam. Pada 30 Juni 1652 de Vlaaming ke pantai barat Hoamoal untuk mengejar para pemberontak. Selama 30 hari, ia pada akhirnya berhasil menguasai seluruh Hoamoal.
Tak lama kemudian kapal-kapal dari Makassar tiba di pantai Assahudi, sebuah kubu di pantai barat Hoamoal. Mereka ke pegunungan membangun benteng, yang diperkuat oleh 300 serdadu Makassar dan 250 orang Melayu. Â
De Vlaaming membujuk orang-orang Makassar agar kembali ke Makassar, namun mereka tidak setuju. Ketika de Vlaaming menuju Batavia, armada Makassar kedua berlayar menuju Ambon. Mendengar berita itu, pasukan Belanda memperkuat posisi di Ambon. Sementara itu, orang-orang Makassar bebas bergerak di Assahudi. Mereka membangun benteng pertahanan di La-ala yang diperkuat oleh 300 orang Makassar. Â
Pada tahun 1655, de Vlaaming kembali dari Batavia membawa satu armada yang terdiri dari 500 serdadu. Dengan kekuatan itu, ia bertolak dari Ambon menaklukan La-ala dan Assahudi. Setelah itu, Belanda menguasai perdagangan cengkih di Hoamal (de Graaf, 1977).
Pengosongan Hoamual
Pasca penyerangan de Vlaaming, penduduk Hoamual dan Seram Besar masih bertahan di Luhu. Mereka tak mau meninggalkan tanah leluhurnya.
Sementara itu, Belanda sedang bersiap untuk menghancurkan seluruh perkebunan cengkih di Hoamual. Tujuannya adalah agar produksi cengkih hanya terkonsentrasi di Pulau Ambon dan Lease.