Perang Hitu dan HoamualÂ
Pemimpin rakyat Hitu, Kakiali, tak senang dengan apa yang dilakukan oleh Belanda. Dia menjalin kerjasama dengan Makassar dan Ternate untuk meruntuhkan kekuasaan Belanda di Maluku.
Pada tahun 1634 Kakiali bergerilya melawan Belanda. Ia membawa pasukannya ke pegunungan. Dalam tahun ini, Makassar mengimkan bantuan kepada Hitu 43 jung yang membawa 2.000 prajurit mendarat di Hoamoal. Namun dengan tipu muslihat, Kakiali ditangkap di atas korakora Belanda. Ini menambah kebencian rakyat Hitu terhadap Belanda, tulis Keuning (1973). Â Â
Rakyat Hitu menarik diri ke benteng Wawani di pegunungan. Sementara itu pemuka Islam Hitu, Imam Rijali, berangkat ke Seram untuk membeli mesiu dan peluru dari para pedagang di sana.
Rakyat Hitu mendapat bantuan dari Ternate 400 pasukan bersenjata lengkap yang mengambil posisi di pantai Wawani. Mereka memukul mundur pasukan Belanda, yang terdiri dari 150 serdadu Belanda dan 800 pribumi, pimpinan van den Hoevel (de Graaf, 1977). Â
Setelah Kakiali dibebaskan oleh Belanda, dia membeli cengkih dari penduduk lokal yang sebagian besar dijual kepada pedagang Nusantara. Tindakan ini membuat Belanda tidak senang kepada Kakiali.
Kakiali terus mencari bantuan dari luar Hitu. Ia menikah dengan putri penguasa Ternate di Ambon dan mengadakan hubungan rahasia dengan Ternate. Ia pun mengirim utusan ke Makassar untuk merancang strategi mengusir Belanda dari Maluku.
Melihat kondisi itu, van Diemen kembali ke Ambon dengan 17 kapal membawa 2.000 serdadu. Mereka menghancurkan 60 kapal dagang asing di Kambelo. Namun, ssaha menangkap Kakiali tidak berhasil. Pemimpin perlawanan rakyat Hitu itu bersembunyi di Gunung Wawani (de Graaf 1977).
Kakiali sangat gigih melawan Belanda, dengan bantuan orang-orang Makassar dan Buton. Namun akhirnya ia dibunuh oleh seorang Spanyol yang disuruh oleh Belanda pada 16 Agustus 1643. Setelah itu, Belanda juga menahan dan menghukum mati pemimpin rakyat Hitu yang lain, yakni Telukabessi, pada 3 September 1643.
Para pengikut Telukabessi hijrah ke Buton. Di sana mereka mendapat perlindungan dari sultan Buton. Mereka ditempatkan di gugusan kepulauan yang jauh dari pusat kekuasaan Buton (Wolio) agar tidak diketahui Belanda yang saat itu punya hubungan dengan Buton. Kepulauan tersebut kemudian dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi (Toekangbesi Eilanden), menurut tradisi lisan tempatan diadopsi dari nama pemimpin perlawanan Hitu, Kapitan Telukabessi.