Mohon tunggu...
Abby Crisma
Abby Crisma Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba Allah Biasa | Anak'e Ibu | Citizens

Simply, writing for relaxing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merayakan Buang Air

17 Januari 2023   14:15 Diperbarui: 12 Februari 2023   14:27 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Palia dan Dalit (Photo by Renato Foti via Getty Images)

"Omah, omah, sini bentar dong"

Sekumpulan remaja, berlari-lari kecil dari luar rumah menuju ruang keluarga untuk menghampiri neneknya yang mereka panggil Omah. Saat itu, Omah sedang membersihkan habis debu dari tumpukan buku di rak menggunakan seikat bulu ayam yang didominasi warna coklat. 

Tumpukan tersebut kebanyakan berisi kitab bertema pengembangan diri dan berbagai topik psikologi lainnya. Wajar saja, Omah adalah seorang pensiunan psikolog. Adapun almarhum suami beliau alumni sekolah kedokteran, yang kemudian berprofesi sebagai psikiater.

"Iya sebentar, Omah kesana," balas Omah lembut persis seperti intonasi para lansia yang bijak, sembari meletakkan sapu bulu.

Omah pun menghampiri panggilan itu. Diambilnya kursi oleh remaja-remaja tersebut, yang ternyata adalah cucu-cucu kesayangan Omah. Kursinya kemudian disiapkan untuk Omah, sebagai tempat bersantai usai melakukan pekerjaan rumah.

 "Terima kasih, cucu-cucu Omah memang baik dan pinter semua," puji Omah kepada cucu-cucu kesayangannya.

Baca juga: Curse of Mine

Itupun benar, mereka merupakan orang-orang yang cerdas. Mereka adalah Dadang, Sujoni, dan Ajeng. Para remaja yang baru menginjak fase dewasa awal. Ada yang baru mengalami a quarter life crisis, begitupun sebaliknya. 

Progres pendewasaan tiap orang memang berbeda-beda. Itu juga karena mereka memiliki perbedaan usia, meskipun usia mereka masing-masing tidak terpaut sangat jauh.  

Dadang dan Sujoni pada usia yang sedang merasakan kenikmatan hidup dunia perkuliahan. Keduanya berkuliah di kampus negeri yang paling bergengsi. Intinya tiada banding deh. Setelah liburan semester ini, Dadang menginjak semester empat dan Sujoni, sebagai maba alias mahasiswa baru, akan memasuki semester yang kedua. 

Adapun Ajeng, satu-satunya cucu yang gadis, lagi berjuang untuk semester terakhir di bangku SMA. Dia berencana akan melanjutkan di kampus yang sama dengan kakaknya. Itu memang karena Ajeng merasa pantas, setelah semua prestasi dan nama baik yang dia berikan untuk sekolah. 

Para cucu duduk melingkar, menghadap Omah yang sedang relaksasi di kursi. Dadang pun menyolek tangan Omah, lalu menggodanya. Dengan bercanda, ia memohon kepada Omah, agar beliau berkenan memberikan dongeng seperti yang mereka alami semasa kecil. 

"Mah, Omah, jadi rindu deh denger dongeng Omah, kayak waktu kita masih kecil dulu," ucap Dadang bahagia memulai pembicaraan.

"Iya Omah, dongengin lagi dong, cerita favorit kita itu loh Mah," lanjut Ajeng antusias.

Sujoni menyambung terheran, "Yang mana sih, kok aku lupa ya?"

"Yaudah, mending denger ulang cerita Omah aja deh, nanti nggak seru kalo gue yang nyeritain," Ajeng menjawab sembari tertawa kecil dan melirik tipis Sujoni.

Mengetahui antusiasme cucunya, Sang Omah pun bersedia untuk menceritakan kembali kisah tersebut kepada mereka. Selain sebagai hiburan keluarga, ini kesempatan yang bagus buat Omah untuk recalling, guna melatih daya ingat dan menghambat kepikunannya.

"Hehehe," suara tawa serak seorang lansia. 

"Baik kalau gitu, apa sih yang nggak buat kalian. Jadi, semua itu berawal dari..........," lanjut Omah memulai kisahnya.    

***

Jadi, kisah ini berawal dari sebuah latar, kawasan kumuh di tengah kota yang padat akan pemukiman penduduk. Saluran irigasi seringkali ditemukan tidak lancar, karena pendangkalan dan terhambat oleh sampah masyarakat yang melimpah ruah. 

Begitu juga area Mandi Cuci Kakus (MCK). Para penduduk terutama, kurang memerhatikan kebersihan dari jamban mereka masing-masing. Tak heran banyak jamban yang tampak sudah mampet, hingga kotoran dari dalam terlihat melayang di atas lubang closet. Maka dari itu, yang menjadi penolong bagi mereka adalah keberadaan jamban umum, berjejer tiga kamar, yang terletak pas dipinggir jalan. 

Dibanding jamban pribadi yang dimiliki setiap penduduk, jamban umum lebih reguler dibersihkan. Itu ada petugasnya sendiri, yang sebetulnya juga merangkap sebagai owner.  Mohon maaf, dia memang meraup nafkah hanya dari penyewaan itu.

Tidak membersihkan, berarti tidak ada pemasukan. Mereka membayar untuk tempat yang lebih bersih. Kalau masih kotor, lebih baik mereka buang air di jamban mereka masing-masing. Namun walau rutin dibersihkan, motif kerak di keramik dan cor-coran jamban tetap tidak terhindarkan, yang mungkin terlihat menjijikkan bagi beberapa pasang mata.

"Aku pake yang tengah, kamu yang kiri aja."

"Oke, siap Par."

 Itu suara mereka, para bocah ingusan, Paria dan Dalit. Langganan jamban umum milik Pak Sudra. 

Kedua bocah tersebut, yang walaupun sebetulnya tidak berusia bocah lagi, sudah berlari dari arah yang jauh dan memang sengaja menuju jamban itu. Mengetahui semua kamar jamban kosong, keduanya lantas nyelonong masuk tanpa izin terlebih dahulu kepada si pemilik. Maklum, pelanggan setia. 

"Oy bocah ingusan, udah berapa kali kalian berkunjung hari ini. Bosan aku melihat kalian," ucap Pak Sudra sedikit geram, namun dengan suasana guyon.

Keduanya sontak teriak bersamaan, "Tujuh kali Pak!"

Pak Sudra tidak peduli. Dia tinggalkan saja kedua bocah tersebut ketika tidak ada hal lain lagi yang perlu dibicarakan. Masa bodoh dengan apa yang mereka kerjakan di dalam sana. 'Orang gila' kali, yang penasaran dengan seseorang yang sedang buang air. 

Pak Sudra hanya akan kembali untuk meminta upah sewa, ketika mereka berdua telah selesai dengan urusannya di dalam sana. Begitu lah terus rutinitas Pak Sudra terulang, setiap kedua bocah tersebut berkunjung. 

Benar-benar merepotkan. Apa gerangan manusia dalam kondisi normal, bisa sampai tujuh kali sehari berkunjung ke jamban. Dan uniknya, ini jamban umum. Jamban umum loh. 

Kalau diperhatikan, anehnya lagi, wajib hukumnya bagi mereka menggunakan dua kamar jamban yang saling berdempetan. Tidak pernah diantara mereka menyisakan kamar di tengah. Karena kamar jamban berjejer tiga, salah satu di antara Paria atau Dalit pasti mengisi jamban yang tengah. Untuk sisanya, terserah. 

Mereka bisa menghabiskan waktu yang tidak wajar di dalam sana, sekitar 20-40 menit. Buang air kecil ditambah buang air besar yang normal saja, paling selama-lamanya ya 10 menit.  

Dengan segala kanehan tersebut, Pak Sudra sempat dibikin penasaran sejadi-jadinya. 

Sampai pada satu puncak kegusaran, dia memutuskan menarik kata-katanya, untuk tidak 'bodo amat' lagi dan segera mencari tahu apa yang sebetulnya mereka kerjakan selama ini. Dia bahkan tidak takut lagi dipanggil dengan definisinya sendiri sebagai 'orang gila'. 

Harinya tiba. Kunjungan ini tepat menjadi yang ke-7 atau yang terakhir dari kedua bocah itu. Dilengkapi dengan ributnya klakson motor dan mesin kendaraan umum yang berlalu-lalang melintas, suara hempasan pintu terdengar dari kedua bocah itu, yang diketahui sudah berlari dari kejauhan. Seperti biasa, mereka datang dengan raut muka yang riang.

"Dddarrrrrrr," hempas keras dari kedua bocah tersebut menutup pintu jamban.

Pak Sudra sudah berada pada posisinya sedari tadi, tetap berlagak santai, dan mencoba menyapa mereka sewajarnya yang dia lakukan sehari-hari.

Pak Sudra basa-basi, menyapa mereka yang sudah di dalam jamban, "Hey kalian, ini yang terakhir ya?"

"Iya Pak," Dalit menyahut dengan suara yang jelas.

Paria pun teriak bertanya dari dalam jamban, "Emang kenapa Pak?"

"Nggak ada, nanya-nanya doang, kayak biasanya," jawab Pak Sudra berpura-pura.

Dia membiarkan kedua bocah untuk beberapa saat, sebelum melancarkan aksinya. Pak Sudra berencana akan 'menguping' ke arah jamban mereka berdua demi membuktikan, sebetulnya apa yang membuat mereka betah dan berlama di lokasi kotor semacam itu.

Momen yang tepat tiba, dan aksinya pun dimulai. Pak Sudra maju perlahan, meminimalisir hentakan, dan mulai menguping secara diam-diam. Ternyata itu belum terdengar.

Bising lalu-lintas yang padat merayap mengganggu fokus pendengaran Pak Sudra. Alhasil, dia agak menunduk dan memaksa salah satu telinganya untuk menempel pada tembok penyekat yang memisahkan kedua jamban mereka. 

Sekarang, itu cukup terdengar. Namun sayang, dia tidak mendapati suara air kencing yang memancur. Suara orang mengejan atau cemplungan tahi ke air di closet pun juga tidak terdengar. 

Namun ada sedikit yang Pak Sudra ketahui. Kedua bocah tersebut berdiskusi tentang topik-topik yang tak lazim. Sedangkan, yang berhasil Pak Sudra tangkap dari dialog mereka cuma kata yang terpisah-pisah, bukan kalimat padu dan jelas. Itu pun bahkan terdengar samar-samar. 

Hingar-bingar perkotaan benar-benar mengganggu telinga dia yang satunya.

"Jual.... Bagaimana.... Distribusi.... Mending.... Rugi nanti... Ayolaahh.. Kalau seperti ini... Teorinya kayak apa.... Kalimatnya disusun..... beasiswa...... deadline kapan.... jangan sampe.... hahahaha...... lucu juga........ Aku punya ide," beberapa kata yang berhasil ditangkap dan dimengerti Pak Sudra.

Dari hasil investigasi tersebut, Pak Sudra pun menyimpulkan. Selama ini, mereka berdua membayar jamban umum hanya untuk bercakap saja. Tapi apa asumsi aneh tersebut sudah benar. Belum ada yang bisa dipahami olehnya sejauh ini. Makin kesini, yang ada malah semakin aneh.

Belum hilang rasa penasaran, Pak Sudra pun menghentikan aksi menguping dan menunggu mereka kelar. Dia memiliki rencana lanjutan, untuk membuntuti lalu memergoki mereka. Akan menuju kemana mereka usai dari jamban.

Setelah cukup lama, pintu jamban terbuka lagi. Kedua bocah membayar dulu seperti biasanya, dan pergi meninggalkan. Pak Sudra mulai mengikuti mereka diam-diam. Ia belum bisa membayangkan, entah seperti apa jawaban dibalik ketidak logisan ini semua.

Tiba lah di kawasan pinggiran kota yang tampak semakin padat, namun tidak terlalu ramai dan bising. Area tersebut didominasi pemukiman kumuh dan liar, serta beberapa rusun tua.

Dari kejauhan, Pak Sudra melihat Paria dan Dalit memasuki satu pemukiman. Tempat bermukim yang semi-permanen, pada beberapa bagian sudah ditembok dan sisi lainnya berdinding seng yang cukup tebal. Atasnya pun hanya beratapkan asbes bekas.

Melanjutkan rencananya, dia mendekat dan segera berlari menuju lubang pintu tanpa tutup tersebut. Ia mencoba berlagak mengagetkan, seperti seorang petugas keamanan yang memergoki pencuri. 

"Hiyaaa, hayo loh ngapain kalian?" usaha Pak Sudra memergoki.

Tiada timbal-balik. Paria dan Dalit tidak kaget sama sekali. Sejenak tercipta keheningan yang canggung. Namun tidak lama berselang, seketika keheningan itu pecah oleh Paria, dengan pertanyaan yang dia lontarkan.

"Bapak mengikuti kami ya?", tanya Paria bingung.

Pak Sudra merasa kikuk, mendengar pertanyaan tersebut sekaligus menyadari bahwa nyatanya ia juga sedang bertingkah aneh, tak ada bedanya dengan kedua bocah tersebut. Dia pikir mengapa harus menguntit, padahal bisa saja langsung bertanya kepada mereka supaya lebih jelas.

Pak Sudra menjawab agak gagap, "I-i-iyaa, bapak mengikuti kalian." Akhirnya ia pun berterus terang, "Habis bapak penasaran. Sebetulnya kalian membayar jamban bapak untuk buang air bukan sih?"

Dalit menjawab dengan senyum tipis, "Bener kok Pak. Terus, buat apa lagi kalo bukan buang air?"

"Maksud bapak, kenapa kudu tujuh kali sehari Bocah. Terus tadi, bapak nggak ada tuh dengar suara kalian kencing atau BAB, yang ada kalian asik ngobrol," jelas Pak Sudra pelan, namun diikuti rasa penasaran yang tergesa.

Dalit pun segera membalas, yang awalnya senyum kini beralih menjadi tawa lebar, "Oalah, bapak juga sampai menguping kita ya hahahaha."

Mendengar candaan itu, Pak Sudra kicep. Antara lucu dan malu. Namun, keingintahuan yang berkepanjangan mampu menutup rasa malunya.

"Sudah sudah. Sebenarnya kalian ngapain sih, cepet beri tahu Bapak?", tanya Pak Sudra tidak sabar.

"Yaa Bapak sudah bener tadi, kami buang air Pak. Kencing sama berak," jawab Paria usil.

"Sampai 40 menit-an gitu di dalem jamban? Aneh ya kalian," jawab Pak Sudra    

Paria dan Dalit pun memutuskan untuk menjelaskan semuanya, tetap dengan karakter mereka yang ceria dan ekspresif, namun sedikit usil.

"Jadi Pak, kita itu buang air sungguhan. Bapak bisa lihat sendiri tempat berteduh ini, cuma ada dapur sama ruang utama ini. Makanya kita sewa punya Bapak," jelas Paria.

Paria segera melanjutkan, "Yang wajar-wajar saja Pak, kita buang air besar 2-3 kali sehari, buang air kecil 4-7 kali sehari. Selagi buang air dan beberapa waktu setelahnya, kita pake ngobrol bareng deh."

"Ngobrol?", tanya pria pemilik jamban itu lagi.

"Kita ngobrol apapun Pak. Tapi akhir-akhir ini sih, lebih sering bahas ide buat buka usaha kecil-kecilan. Sama lagi ngebantu nih Si Dalit, buat daftar beasiswanya . Kita capek hidup serba tidak kecukupan kayak gini, Pak. Pekerjaanku yang sekarang saja masih belum cukup," jelas Paria lebih detail.

Tanda-tanya di dalam pikiran Pak Sudra masih belum tuntas. Ada beberapa hal ganjal yang mendekam dan perlu diperjelas lagi oleh mereka.

Pak Sudra pun meneruskan, "Tunggu. Kenapa harus di jamban? Nggak ada tempat lain apa yang lebih nyaman buat membahas masalah-masalah kalian? Maksud Bapak, jadi selepas kalian buang air ya langsung keluar. Kuat kalian mencium aroma busuk di dalam sana?"

"Entah Pak, pikiran-pikiran kita rasanya lebih mengalir gitu pas di sana, apalagi saat buang air. Inspirasi dan ide yang tak terduga tiba-tiba keluar begitu saja tanpa harus dipikir keras. Kita juga bawa catatan kecil kok, buat nulis ide-idenya. Yah, supaya nggak lupa aja," ujar Dalit sambil bercanda menjelaskan pengalamannya selama ini.

Cukup sudah bagi Pak Sudra. Rasa penasarannya musnah tanpa jejak. Pengalaman yang unik, sekaligus aneh bagi dia. Bahkan dia sendiri tidak memahami apa yang sedang dimaksud oleh kedua bocah tersebut. Sampai suatu ketika, dia berpamitan dan melanjutkan harinya sebagai pengusaha penyewaan jamban umum.

***

Kembali ke situasi keluarga harmonis, antara Omah dan cucu-cucunya.

"Hahaha, part yang paling bikin ngakak sih, pas Pak Sudra pulang dengan tangan hampa. Udah effort lebih buat investigasi, eh ternyata dia sendiri nggak paham sama hasil investigasinya," respon Dadang sembari ketawa.

"Bener, sama setiap kali Paria dan Dalit datang ke jamban umum. Kenapa harus dilempar sih pintunya, usil amat emang tuh bocah dua hahaha," lanjut Ajeng dengan ceria.

Sujino pun berusaha masuk ke dalam suasana yang ringan tersebut, namun dengan intonasi dan bahasan yang agak berat.

"Tapi jujur sih, sejak pertama kali denger dongeng Omah ini, semenjak saat itu aku praktekin tuh cara si Paria sama Dalit. Bahkan masih sampe kuliah sekarang. Dan, it works. Emang bener ya, pas kita mandi atau buang air, tahu-tahu ada aja inspirasi yang terlintas."

"Bener, bener, setuju. Aku juga," lanjut Dadang dan Ajeng membenarkan.

Omah juga ikut mengomentari percakapan ringan dari cucu-cucu kesayangannya, dengan bahasan yang jauh lebih berat dari apa yang disampaikan Sujino sebelumnya.

"Hehehe, kira-kira tahu nggak kenapa? Karena sewaktu kita di kamar mandi, kita cuma fokus sama aktivitas yang bahkan sudah kita ulangi ribuan kali. Dari kecil sampai gede sekarang, sudah berapa kali kalian mandi dan buang air?"

Omah melanjutkan penjelasannya dengan kalem dan perlahan, lalu diakhiri dengan cekikikan. 

"Nah, otak kita bakal rileks dan tidak terbebani dengan rutinitas yang sudah diluar kepala itu, apalagi diikuti dengan suasana hati kita yang makin santai. Situasi seperti ini yang bakal buat otak leluasa menjelajah lebih luas, di luar kebiasaan kita. Makanya, seringkali terlintas ide-ide baru di kamar mandi, yang bahkan jarang terpikirkan di kehidupan normal kalian kan? Hihihihi." 

"Jadi, Paria dan Dalit tuh cerdas banget. Cucu-cucu Omah juga, sampe bawa note kecil setiap masuk ke kamar mandi hehehe," canda Omah.

"Hahahaha, semua ini gara-gara Omah sih dulu," balas ketiga cucunya dengan selepas-lepasnya tawa.

Seusai tawa mereda, Omah sempat menyampaikan sesuatu lagi di akhir. Menurut beliau, penjelasan yang panjang lebar tadi sejatinya bukan lah simpulan dari dongeng  tersebut. Beliau memberi tahu kepada cucu-cucunya bahwa, dalam kehidupan ini, bukan cuma hal-hal besar yang layak kita beri apresiasi. 

Kebiasaan dan capaian kecil, simpel, yang membawa kita menuju ke tempat lebih besar, juga berhak untuk dihargai dan dirayakan, layaknya Paria dan Dalit merayakan buang air.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun