Dari kejauhan, Pak Sudra melihat Paria dan Dalit memasuki satu pemukiman. Tempat bermukim yang semi-permanen, pada beberapa bagian sudah ditembok dan sisi lainnya berdinding seng yang cukup tebal. Atasnya pun hanya beratapkan asbes bekas.
Melanjutkan rencananya, dia mendekat dan segera berlari menuju lubang pintu tanpa tutup tersebut. Ia mencoba berlagak mengagetkan, seperti seorang petugas keamanan yang memergoki pencuri.Â
"Hiyaaa, hayo loh ngapain kalian?" usaha Pak Sudra memergoki.
Tiada timbal-balik. Paria dan Dalit tidak kaget sama sekali. Sejenak tercipta keheningan yang canggung. Namun tidak lama berselang, seketika keheningan itu pecah oleh Paria, dengan pertanyaan yang dia lontarkan.
"Bapak mengikuti kami ya?", tanya Paria bingung.
Pak Sudra merasa kikuk, mendengar pertanyaan tersebut sekaligus menyadari bahwa nyatanya ia juga sedang bertingkah aneh, tak ada bedanya dengan kedua bocah tersebut. Dia pikir mengapa harus menguntit, padahal bisa saja langsung bertanya kepada mereka supaya lebih jelas.
Pak Sudra menjawab agak gagap, "I-i-iyaa, bapak mengikuti kalian." Akhirnya ia pun berterus terang, "Habis bapak penasaran. Sebetulnya kalian membayar jamban bapak untuk buang air bukan sih?"
Dalit menjawab dengan senyum tipis, "Bener kok Pak. Terus, buat apa lagi kalo bukan buang air?"
"Maksud bapak, kenapa kudu tujuh kali sehari Bocah. Terus tadi, bapak nggak ada tuh dengar suara kalian kencing atau BAB, yang ada kalian asik ngobrol," jelas Pak Sudra pelan, namun diikuti rasa penasaran yang tergesa.
Dalit pun segera membalas, yang awalnya senyum kini beralih menjadi tawa lebar, "Oalah, bapak juga sampai menguping kita ya hahahaha."
Mendengar candaan itu, Pak Sudra kicep. Antara lucu dan malu. Namun, keingintahuan yang berkepanjangan mampu menutup rasa malunya.