Semuanya meluap. Traumaku, kenangan buruk itu, meledak seketika pada waktu yang kurasa tepat. Seketika semua terasa ringan. Beban yang selama ini mengganjal, terangkat dalam sekejap. Hingga, Rolang meneruskan.
"Iya, itu, paham kan lo sekarang. Kita nggak akan pernah menyatu, Bego. Lo sadar nggak sih, kalau kita ini roda. Pas Didin ngegas ke depan, gue ngejer elo, tapi malah lo yang menjauh. Sedangkan pas Didin mundur, gue udah nyerah, malah elo yang ngejer gue balik. Sebenarnya lo itu mikir nggak sih? Emang ya, elo gaada bedanya ama Didin."
Penjelasannya cukup buatku tertegun. Untuk saat pertama, kurasa seperti ada yang salah. Sampai pada satu renungan, ternyata benar. Semua itu benar.Â
Selama ini, nyatanya aku tidak memiliki jalan pikir seperti itu.Â
Sebentar. Tungggu. Hendak berpikir bagaimana dan seperti apa. Otak pun aku tak punya. Apalagi sebuah kisah asmara. Apa yang mau diharapkan dari sebuah roda sepeda motor.Â
Sekali lagi, itu memang benar. Jadi aku turut berbelasungkawa. Pada diriku. Dunia memang terkadang tidak berlaku adil untuk sosok-sosok tertentu.Â
Ya Tuhan, mengapa Kau ciptakan aku sebagai roda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H