Mbak Lala:Â "Cukuuup, Din, cukup. Kita sepertinya emang nggak akan pernah ditakdirkan bersatu."
Njleb. Didin pun terdiam. Dia menundukkan kepala untuk sementara waktu. Air matanya menetes pelan, hingga akhirnya tak tertahankan, dan mengalir bagai arus sungai Niagara.
Entah mengapa. Seketika mendengar kalimat terakhir mbak Lala, akupun ikutan makjleb. Benar, kalimat itu. Ternyata bakal keluar dari sosok yang lain. Pikiranku pun sesaat berhenti bekerja. Semua memori buruk yang tertimbun selama ini, terangkat hanya gara-gara situasi tersebut.
Kukira aku adalah sosok kuat dan sabar, mampu menahan kicauan busuk semacam itu 1000 kali sehari. Namun setelah apa yang terjadi barusan, diriku ternyata masih sosok yang rapuh. Semua kenangan itu, amarah, segalanya berkumpul jadi satu dan siap untuk diledakkan entah bagaimana caranya. Sampai pada akhirnya....
"Hey hey Ropan, lo denger nggak kata si Lala barusan," bentak Rolang.
Aku hanya bisa terdiam. Segala trauma membuatku hening tanpa kata.
"Woy, jawaaab Ropan, apa lo udah budeg yaa," bentak Rolang semakin keras.
Syaraf dan otot mulutku masih belum bisa bergerak, meskipun sudah kuupayakan tuk menghendakinya.
"Udah laahhh Pan, kita iniii....."
"NGGAK AKAN PERNAH MENYATU!!!"
Teriakku dan Rolang berbarengan. Kami saling membentak satu sama lain. Itu keluar sekencang-kencangnya. Â
Lalu ku tanya lagi dengan tegas, seraya suguhkan air mata.Â