Tilulit tilulit, tilulit tilulit, tilulit tilulit
"Iya, halo, ada apa Beb? Ngomong sesuatu? Disini aja kan bisa Beb? Aku kesana nih? Yaudah yaudah, tunggu, aku kesana yaa? Oke, tunggu aku."
Begitulah terdengar samar-samar dari kejauhan, suara percakapan pemuda dengan seseorang melalui gawainya. Dari percakapannya sih, kurasa dia sedang mengalami masalah dengan pacarnya. Aku turut berbelasungkawa.
Baiklah, panggil saja pemuda itu Didin. Sosok berusia 26 tahun, berkulit sawo matang, dan pendek. Parasnya pun jelek tidak, rupawan juga tidak. Pinter? Mungkin relatif. Tapi dia saja cuma seorang lulusan SMP.
Pemuda yang biasa saja ini hanya berprofesi sebagai tukang ojek online alias ojol. Perusahaan tempat ia bekerja dikenal dengan Gejek. Dengar-dengar sih, Gejek adalah singkatan dari 'Geger Ojek'. Konon katanya, tukang ojek yang berafiliasi dengan perusahaan ini, hobinya suka ngajak geger customer.
Iya maksudku, tugas itu memang arahan dari perusahaan Gejek sendiri. Mereka mewajibkan pasukan ojeknya untuk memperkenalkan metode baru dalam dunia per-ojol-an. Namun jangan salah sangka. Bukan malah berkurang, customer mereka cenderung makin naik jumlah. Sependek pengetahuanku sih, founder Gejek terinspirasi dari warung makan Karen's Dinner, yang sudah berdiri lebih dulu enam tahun silam.
Ohya, sebelumnya perkenalkan, namaku Ropan, alias Roda Depan. Dan, ini pasanganku...
"Isshh, apaan sih lo!"
Maaf, dia karakternya memang pemarah. Sehari-hari emosinya eksplosif. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba sering ngebentak aku saja. Jadi harap maklum.
Baik, tentunya kalo aku Depan, maka pasanganku adalah Roda Belakang. Cukup panggil Rolang saja, jangan yang lain. Nanti dia bisa marah loh.
Kami berdua sebenarnya adalah pasangan roda dari motor si pemuda biasa yang aku ceritakan sebelummya. Yup, si Didin. Itulah mengapa kami tahu seluk-beluk tentangnya, dari riwayat hidup, perawakan, karir, bahkan sampai kisah percintaan dia.
Terutama nih kisah asmara. Kami berdua sebetulnya heran, kok ada cewek secantik mbak Lala, mau sama si Didin.
"Elo doang yang heran, gue mah kagak," sahut Rolang dengan lantang.
"Apa sih, Yang, aneh banget tiba-tiba ngamuk. Tunggu aku selesain ceritanya dong," balasku pelan.
Maksudku nih, sesosok pemuda pendek, gelap, tidak pinter, biasa aja, dan hanya berprofesi sebagai ojek, bisa dapat cewek semapan dan seayu mbak Lala. Kalau aku pernah dengar saran, cari pasangan itu yang sekufu. Dunia memang terkadang tidak adil untuk sosok-sosok tertentu.
"Ya emang bener, dan ketidakadilan itu ada pada diri gue sekarang ini. Emang Tuhan nggak adil sama gue," teriak Rolang nimbrung.
Biarkan saja dia mengoceh. Aku sudah biasa dengan kicauan tersebut. Bahkan dalam sehari, sempat kuhitung ocehan itu hingga 1000 kali. Apalagi satu ucapan dia yang seperti in-i........
"....udah lah, kita nggak akan pernah menyatu hey Ropan," sambung Rolang dengan kasar, yang terjadi secara insidental.
Nah, kalimat itu maksudku. Akhirnya keluar juga kan dari dia sendiri tanpa harus aku yang menjelaskan ke kalian. Bahkan cuma sehari saja , telingaku tak pernah lepas dari suara memuakkan itu. 'Tak kan pernah nyatu?' Apaan coba.
Aku yang sabar, senantiasa mempertahankan dan menjaga hubungan, namun dia selalu mengulang dan mengulang. Bayangkan saja, bila kalian mencoba bertahan sebaik mungkin, namun pasangan kalian kekeuh untuk mengakhiri? Bayangkan saja dulu!
Broommmm, brooommm, broommmm
Begitu Suara motor Didin ketika di-gas.
"Kayaknya kita bakal menuju rumah mbak Lala," kataku kepada Rolang.
"Bodo amat," jawab Rolang sinis.
Selama di perjalanan, aku dan Rolang tidak saling berbicara sama sekali. Kami melaju dan berputar kencang seperti biasa, mengantarkan Didin menuju rumah mbak Lala.
Sesampainya di sana, si Didin segera turun dari motornya yang diparkir dengan standar satu di pekarangan. Terjadilah sebuah dialog di teras rumah, yang kurang lebih seperti ini isinya.
Mbak Lala:Â "Din, aku mau bilang sesuatu."
Didin: "Mau ngomong apa toh, La, kok serius amat."
Mbak Lala: "Maaf, aku sudah dijodohkan, Din."
Didin:Â "Hah? Terus hubungan kita gimana? Aku gimana?"
Mbak Lala: "Kamu masih bisa dapat pasangan yang jauh lebih baik daripada aku, Din."
Didin: "Tunggu, kok tiba-tiba banget sih, La. Ini serius? Aku nggak mimpi kan? Apa kamu nggak mikirin perasaan aku? Kamu yakin kalau kamu bakal bener-bener lebih milih dii-a........"
Mbak Lala:Â "Cukuuup, Din, cukup. Kita sepertinya emang nggak akan pernah ditakdirkan bersatu."
Njleb. Didin pun terdiam. Dia menundukkan kepala untuk sementara waktu. Air matanya menetes pelan, hingga akhirnya tak tertahankan, dan mengalir bagai arus sungai Niagara.
Entah mengapa. Seketika mendengar kalimat terakhir mbak Lala, akupun ikutan makjleb. Benar, kalimat itu. Ternyata bakal keluar dari sosok yang lain. Pikiranku pun sesaat berhenti bekerja. Semua memori buruk yang tertimbun selama ini, terangkat hanya gara-gara situasi tersebut.
Kukira aku adalah sosok kuat dan sabar, mampu menahan kicauan busuk semacam itu 1000 kali sehari. Namun setelah apa yang terjadi barusan, diriku ternyata masih sosok yang rapuh. Semua kenangan itu, amarah, segalanya berkumpul jadi satu dan siap untuk diledakkan entah bagaimana caranya. Sampai pada akhirnya....
"Hey hey Ropan, lo denger nggak kata si Lala barusan," bentak Rolang.
Aku hanya bisa terdiam. Segala trauma membuatku hening tanpa kata.
"Woy, jawaaab Ropan, apa lo udah budeg yaa," bentak Rolang semakin keras.
Syaraf dan otot mulutku masih belum bisa bergerak, meskipun sudah kuupayakan tuk menghendakinya.
"Udah laahhh Pan, kita iniii....."
"NGGAK AKAN PERNAH MENYATU!!!"
Teriakku dan Rolang berbarengan. Kami saling membentak satu sama lain. Itu keluar sekencang-kencangnya. Â
Lalu ku tanya lagi dengan tegas, seraya suguhkan air mata.Â
"IYA KAN?"
Semuanya meluap. Traumaku, kenangan buruk itu, meledak seketika pada waktu yang kurasa tepat. Seketika semua terasa ringan. Beban yang selama ini mengganjal, terangkat dalam sekejap. Hingga, Rolang meneruskan.
"Iya, itu, paham kan lo sekarang. Kita nggak akan pernah menyatu, Bego. Lo sadar nggak sih, kalau kita ini roda. Pas Didin ngegas ke depan, gue ngejer elo, tapi malah lo yang menjauh. Sedangkan pas Didin mundur, gue udah nyerah, malah elo yang ngejer gue balik. Sebenarnya lo itu mikir nggak sih? Emang ya, elo gaada bedanya ama Didin."
Penjelasannya cukup buatku tertegun. Untuk saat pertama, kurasa seperti ada yang salah. Sampai pada satu renungan, ternyata benar. Semua itu benar.Â
Selama ini, nyatanya aku tidak memiliki jalan pikir seperti itu.Â
Sebentar. Tungggu. Hendak berpikir bagaimana dan seperti apa. Otak pun aku tak punya. Apalagi sebuah kisah asmara. Apa yang mau diharapkan dari sebuah roda sepeda motor.Â
Sekali lagi, itu memang benar. Jadi aku turut berbelasungkawa. Pada diriku. Dunia memang terkadang tidak berlaku adil untuk sosok-sosok tertentu.Â
Ya Tuhan, mengapa Kau ciptakan aku sebagai roda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H