Sepuluh bulan silam
Taman kota sedang ramai-ramainya, orang lalu-lalang berdatangan. Langit begitu cerah, sinarnya mengintip di sela-sela dedaunan. Aku asyik dengan laptop untuk melanjutkan projek novel yang sedang kugarap, sembari menunggu datangnya 'kekasih'. Novel yang bercerita tentangnya sedang kurangkai, yang sebentar lagi akan memasuki tahap penyelesaian.
"Hai. Sudah lama, ya?" tanya Kienna lalu duduk di sebelahku. "Maaf banget. Tadi jadwal mengajarnya sedikit ngaret, jadi agak telat datengnya."
Kututup laptop, seraya memandang wajahnya yang menawan. Aku tersenyum, menggeleng. "Aku yang seharusnya minta maaf sudah mengajakmu kencan saat jam mengajar masih berlangsung."
"Nggak apa-apa, Kak."
"Mau istirahat dulu atau langsung pergi?" tanyaku.
"Istirahat sebentar, deh," jawabku mengusap keringat yang menggenang pada dahinya.
Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, rupanya sebotol minuman. Diteguknya botol minuman tersebut, lalu memasukkan kembali ke dalam tas.
"Naskah novelku sudah hampir selesai, Kie," ujarku.
Kienna memandangku. "Wah? Serius? Aku ikut senang, Kak. Semoga cepat selesai proyek novelnya, nanti aku bakal jadi orang pertama yang beli bukunya."
"Novel ini bercerita tentangmu, Kie," ungkapku.
"Berarti aku akan kebagian royaltinya nanti, ya, Kak," kataku tertawa renyah.
Aku kembali tersenyum. "Kamu bisa aja. Tenang nanti kamu dapat bagian royalti, asal kamu selalu denganku."
Kami tertawa. Langit berubah menjadi mendung. Sebelum hujan turun, aku bergegas mengajak Kienna pergi dari sini. Aku menggandeng tangannya menuju sebuah mall yang letaknya tidak jauh dari taman kota. Beberapa hari lalu, kami sepakat untuk pergi menonton film yang sedang ramai di bioskop.
***
Dua belas bulan silam
Kereta yang kami tumpangi baru saja berhenti di Stasiun Jakarta Kota. Terdapat empat rangkaian kereta yang sedang menunggu giliran pergi meninggalkan stasiun. Aku nekat mengajak Kienna pergi ke suatu tempat yang pernah kukunjungi sewaktu kuliah dahulu, tatkala mentari mulai berani menampakkan dirinya di cakrawala.
"Sebenarnya kita mau ke mana, sih?" tanya Kienna sembari berjalan di sebelahku. Tas berisi kamera yang menggantung di bahunya tak lepas dari genggamannya.
"Suatu tempat yang belum pernah kaukunjungi."
Setelah menumpang angkutan umum untuk sampai di tempat tujuan, kami beranjak ke sebuah pintu masuk dari tempat ini. Di sana, kami harus membayar sekitar Rp5.000 per orang agar dapat masuk ke dalam. Aku merogoh kantungku dan mengambil uang Rp10.000.
Sebuah tulisan besar terlihat jelas, Pelabuhan Sunda Kelapa, Kienna akhirnya paham ke mana aku akan mengajaknya, meski ia tak begitu tahu mengapa aku mengajak ke tempat ini.
"Kakak ingin mengajakku ke Kepulauan Seribu?" tanyanya.
"Sejak kapan pelabuhan ini bisa mengangkut penumpang, Kie," kataku tertawa, "pelabuhan ini hanya mengangkut barang aja, coba kamu lihat banyak banget, 'kan, kapal barang yang ada di sini?"
Ia mengangguk pelan. "Tapi, kenapa kakak ngajak aku ke sini? Jujur aku masih bingung, 'loh."
Aku tak menjawab, namun kutarik tangannya pelan. Kami kembali berjalan sekitar 100 meter ke sebuah jajaran sampan yang memang disewakan untuk pengunjung. Awalnya ia sangat takut ketika kuajak untuk menaiki sampan tersebut, namun aku berhasil membujuknya.
"Nanti kalo jatuh gimana, Kak?" tutur Kienna ketakutan.
"Tenang aja."
Sang nakhoda sampan pun mulai mengemudikan menelusuri bibir laut yang digenangi sampah. Meski sangat miris, pemandangan laut di depan tidak boleh dilewatkan. Kulihat Kienna masih takut sehingga hanya diam di atas sampan, sesekali aku jahil terhadapnya dengan sedikit menggoyang-goyangkan sampan ini.
"Saat kuliah dulu, ada tugas meliputi suatu tempat, entah kenapa aku tertarik dengan tempat ini," tandasku.
"Tapi, sampah-sampahnya cukup memprihatinkan, ya, Kak. Padahal, tempatnya bagus, loh!" serunya.
"Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan tertua di Indonesia, usut punya usut, tempat ini yang jadi cikal bakal terbentuknya Jakarta. Sudah berdiri sejak abad ke-5, dan sampai sekarang masih berfungsi sebagai pelabuhan dagang, alias tempat 'berkumpulnya' kapal barang dari berbagai tempat," jelasku yang didengar begitu baik oleh Kienna.
Tak lama kami berhenti di dekat sebuah kapal besar yang memang terparkir di ujung dermaga. Kapal tersebut sudah tidak digunakan lagi, namun masih menampung di atas laut. Kondisi kapal yang masih bagus membuat kami ingin naik ke atas kapal itu.
"Ini kapalnya emang sengaja ditaroh di sini, ya, Kak?"
"Kayaknya, sih, begitu, Kie. Kapalnya padahal masih bagus, ya, tapi udah nggak digunakan lagi."
Langit perlahan berubah menjadi jingga tatkala senja mulai menyapa. Aku mengenggam tangan Kienna. Jantungku berdebar kala kami menirukan adegan ikonik dari sebuah film "Titanic". Ketika Kienna merentangkan tangan dan mengembus napasnya, aku mulai membisikkan sesuatu kepadanya, "Kienna, I Love You!"
***
Lima belas bulan silam
Nada sambung ponselku berdering ketika sedang melanjutkan proyek novelku. Setelah kulihat ternyata Gio memanggilku, ia ingin diriku menghampirinya di kedai kopi favorit. Beberapa menit kemudian aku sudah berada di tempat yang memang jaraknya cukup dekat dengan rumah. Di sana, sudah ada Gio, Miko, Thalita, dan satu gadis yang tidak kukenal namanya, namun tidak asing bagiku. Kuhampiri mereka yang sedang asyik berbincang.
"Loh, kamu yang waktu itu di seminar kepenulisan, 'kan?" sontakku menunjuk gadis itu.
"Jadi, kalian udah saling kenal?" tanya Thalita tak menyangka karena aku dan gadis itu.
"Udah kenal, tapi belum sempat tanya nama waktu itu. Pertama kali ketemu di seminar beberapa bulan lalu," ungkapku.
"Dunia sempit, ya," ujar Thalita.
Gadis itu mengulurkan tangan, "Kienna."
"Namaku Pramudya. Panggil aja Pram," ujarku.
"Namanya seperti penulis Bumi Manusia, Kak," tutur Kienna tertawa kecil.
Selanjutnya aku ikut duduk dan bercengkrama bersama mereka. Tak kusangka bahwa Kienna adalah teman dekat Thalita ketika SMA dahulu. Gio dan Miko, yang mengetahui kisah asmaraku yang selalu berujung tragis, selalu berusaha menjodoh-jodohkan diriku dengan Kienna. Maklum saja, kami memiliki hobi yang sama, yakni menulis. Dari sinilah aku tahu bahwa Kienna adalah guru di suatu lembaga les privat. Ia belum dapat mengajar di sekolah-sekolah karena belum melanjutkan S-2.
"Pram, dulu lu pengin banget jadi guru, 'kan, ya?" tanya Gio.
"Iya. Emang kenapa?"
"Ya, siapa tahu, setelah cita-cita jadi guru gagal tercapai, punya jodoh yang profesinya guru nggak boleh gagal dong," ledeknya.
Miko dan Thalita ikut tertawa, sementara Kienna tersipu malu. Gio terus-terusan meledekku, sesekali Miko juga begitu. Entah mengapa diriku merasa sesuatu yang berbeda, timbul benih-benih perasaan pada Kienna. Namun, aku belum begitu yakin bahwa cinta sudah bersemi kepadanya.
"Kenapa jantung ini berdebar-debar, ya?" pikirku dalam hati.
"Hey. Lu kenapa, Pram?" teriak Miko.
"Nggak apa-apa."
Jantungku semakin berdebar-debar ketika Kienna melukis senyumnya di hadapanku. Rasanya seperti terbang menembus cakrawala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H