"Sejak kapan pelabuhan ini bisa mengangkut penumpang, Kie," kataku tertawa, "pelabuhan ini hanya mengangkut barang aja, coba kamu lihat banyak banget, 'kan, kapal barang yang ada di sini?"
Ia mengangguk pelan. "Tapi, kenapa kakak ngajak aku ke sini? Jujur aku masih bingung, 'loh."
Aku tak menjawab, namun kutarik tangannya pelan. Kami kembali berjalan sekitar 100 meter ke sebuah jajaran sampan yang memang disewakan untuk pengunjung. Awalnya ia sangat takut ketika kuajak untuk menaiki sampan tersebut, namun aku berhasil membujuknya.
"Nanti kalo jatuh gimana, Kak?" tutur Kienna ketakutan.
"Tenang aja."
Sang nakhoda sampan pun mulai mengemudikan menelusuri bibir laut yang digenangi sampah. Meski sangat miris, pemandangan laut di depan tidak boleh dilewatkan. Kulihat Kienna masih takut sehingga hanya diam di atas sampan, sesekali aku jahil terhadapnya dengan sedikit menggoyang-goyangkan sampan ini.
"Saat kuliah dulu, ada tugas meliputi suatu tempat, entah kenapa aku tertarik dengan tempat ini," tandasku.
"Tapi, sampah-sampahnya cukup memprihatinkan, ya, Kak. Padahal, tempatnya bagus, loh!" serunya.
"Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan tertua di Indonesia, usut punya usut, tempat ini yang jadi cikal bakal terbentuknya Jakarta. Sudah berdiri sejak abad ke-5, dan sampai sekarang masih berfungsi sebagai pelabuhan dagang, alias tempat 'berkumpulnya' kapal barang dari berbagai tempat," jelasku yang didengar begitu baik oleh Kienna.
Tak lama kami berhenti di dekat sebuah kapal besar yang memang terparkir di ujung dermaga. Kapal tersebut sudah tidak digunakan lagi, namun masih menampung di atas laut. Kondisi kapal yang masih bagus membuat kami ingin naik ke atas kapal itu.
"Ini kapalnya emang sengaja ditaroh di sini, ya, Kak?"