"Namanya seperti penulis Bumi Manusia, Kak," tutur Kienna tertawa kecil.
Selanjutnya aku ikut duduk dan bercengkrama bersama mereka. Tak kusangka bahwa Kienna adalah teman dekat Thalita ketika SMA dahulu. Gio dan Miko, yang mengetahui kisah asmaraku yang selalu berujung tragis, selalu berusaha menjodoh-jodohkan diriku dengan Kienna. Maklum saja, kami memiliki hobi yang sama, yakni menulis. Dari sinilah aku tahu bahwa Kienna adalah guru di suatu lembaga les privat. Ia belum dapat mengajar di sekolah-sekolah karena belum melanjutkan S-2.
"Pram, dulu lu pengin banget jadi guru, 'kan, ya?" tanya Gio.
"Iya. Emang kenapa?"
"Ya, siapa tahu, setelah cita-cita jadi guru gagal tercapai, punya jodoh yang profesinya guru nggak boleh gagal dong," ledeknya.
Miko dan Thalita ikut tertawa, sementara Kienna tersipu malu. Gio terus-terusan meledekku, sesekali Miko juga begitu. Entah mengapa diriku merasa sesuatu yang berbeda, timbul benih-benih perasaan pada Kienna. Namun, aku belum begitu yakin bahwa cinta sudah bersemi kepadanya.
"Kenapa jantung ini berdebar-debar, ya?" pikirku dalam hati.
"Hey. Lu kenapa, Pram?" teriak Miko.
"Nggak apa-apa."
Jantungku semakin berdebar-debar ketika Kienna melukis senyumnya di hadapanku. Rasanya seperti terbang menembus cakrawala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H