Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Tanpa Judul - Chapter 1

8 Mei 2024   18:29 Diperbarui: 8 Mei 2024   18:31 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah berhasil menerbitkan buku perdana, aku terus mendapatkan undangan sebagai narasumber acara launching buku. Sudah puluhan acara kuhadiri, namun ia--alasanku membuat buku--tidak pernah datang menyaksikan. Aku merasa hilang di tengah keramaian. Dia yang selalu menjadi inspirasiku menulis, bahkan buku perdanaku menceritakan tentang pertemuanku dengannya beberapa bulan lalu. Banyak pembaca yang menginginkanku untuk meneruskan cerita pada buku perdana itu, namun aku belum memikirkan hal itu. Berhari-hari kucoba untuk memulainya kembali, namun sia-sia. 

Siang tadi, kubaca lagi buku itu, agar aku bisa menemukan ide untuk lanjutan ceritanya. Namun, aku malah terjebak pada masa lalu. Aku hanyut pada lamunan, bagaimana aku selalu bersamanya di mana pun dan kapan pun. Menjelang sore, aku beranjak ke sebuah kafe dekat rumah, bertemu dengan sahabatku, Gio dan Miko. Mereka mengajakku menyesap kopi spesial dari kafe ini. Cuaca di luar tidak begitu bersahabat, langit mendung disertai angin terus menyelimuti. 

"Gua liat postingan instagram lu pada minta lanjutan ceritanya, Pram?" tanya Gio.

"Iya. Gua liat juga tadi," sambung Miko. 

"Sebenarnya gua mau buat lanjutan ceritanya, tapi kalian semua tau dari mana inspirasi gua menulis pada buku pertama, 'kan?" pekikku sembari menyesap kopi. 

Mereka terdiam. Miko mengalihkan topik pembicaraan. "Acara launching buku di daerah Sudirman kapan?" 

"Dua hari lagi. Kalian bisa datang ke sana?" 

"Kebetulan gua libur, kemungkinan bisa datang. Nanti gua ajak Thalita juga," jawab Miko. 

"Gua akan datang, Pram." 

Hujan akhirnya turun juga. Angin kencang membuat pepohonan bergoyang-goyang. Beberapa pengendara memilih berteduh sejenak karena khawatir dengan cuara ekstrem yang sedang berlangsung. 

______________

Tiga bulan silam

Aku masih ragu mengirimkan naskah novel yang telah dibuat beberapa bulan lamanya. Telunjukku menari di atas tombol enter, tapi tidak kunjung menekannya. Kemarin aku melihat ada sebuah penerbitan yang membuka promo gratis terbit, aku tergiur dan mencoba untuk menerbitkan di sana. Setelah kurapikan seluruh naskah yang kupunya, aku mulai menyiapkan segala persyaratan yang diminta, seperti sinopsis, desain sampul, dan lain-lain.

Namun, hari ini, aku pusing memikirkan apakah harus kukirim atau tidak. Segala perjuangan dalam menulis buku ini terus berputar dalam pikiranku, serta seseorang yang kujadikan inspirasi terus terbayang. Di mana dia? Aku rindu dia. Kubuka lagi ruang obrolan bersamanya di WhatsApp. Beberapa pesan belum juga dibaca olehnya. Telunjukku mulai merangkai kata-kata baru, yang mungkin juga tidak akan dibaca olehnya.

 

Aku masih berharap kau baik-baik saja di sana. Aku juga masih berharap dengan pertemuan denganmu lagi. Pesan-pesan sebelumnya yang belum kaubalas juga, anggap saja telah kaubaca. Kautahu aku menuliskan buku untukmu, jauh sebelum kauhilang entah ke mana. Kini, aku sedang mencoba mengirimnya ke sebuah penerbit. Aku tergiur dengan promo gratis yang dibuatnya. 

Selain memberi tahu mengenai buku, aku juga ingin kautahu bahwa selalu ada doa yang kusematkan untukmu. Namun, jika tidak ada doa yang terkabul, aku akan tetap menunggumu. Kienna, apa kau tidak bisa memberi tahu kepadaku mengenai keberadaanmu saat ini? Jawaban itu sudah membuatku tenang. Sungguh. Aku hanya ingin tahu apakah dirimu masih ada di bumi atau tidak. 

-- Tertanda, Pramudya.

Akhirnya setelah 'curhat' satu arah dengan Kienna, aku berani menekan tombol enter. Telunjuk yang sedari tadi menari di atasnya seketika luluh dibuatnya. Mungkin Kienna tidak akan pernah membaca pesan singkatku lagi, namun tindakan tadi membuatku lebih tenang dari sebelumnya. Tak butuh lama naskahku sudah masuk daftar terbit. Entah ini mimpi atau tidak, yang pasti ada pemberitahuan email yang masuk kepadaku.

_____________

Lima bulan silam

Naskah yang kubuat telah tuntas. Dua ratus delapan puluh tiga halaman tersusun rapi. Di dalamnya terdapat kata-kata yang menceritakan bagaimana indahnya kebersamaanku dengan wanita pujaan, Kienna. Gadis cantik yang kutemui kala menghadiri seminar kepenulisan beberapa bulan silam.

"Akhirnya naskah ini selesai juga," kataku dalam hati.

Kututup laptop hitamku, lalu merenggangkan badan yang agak pegal. Setelah itu, aku menelepon Gio dan Miko untuk mengajaknya bersantai di kedai kopi favorit kami. Di sana, kami bercerita banyak, khususnya tentang diriku yang baru saja menyelesaikan proyek novelku.

"Jadi, udah selesai novel lu?" tanya Miko.

"Udah," jawabku singkat.

"Berapa bab yang lu buat, Pram?" tanya Gio.

"23 bab, kira-kira jumlahnya 283 halaman."

"Banyak juga, ya, cerita apa aja lu di situ," ujar Gio tertawa.

"Itu cerita tentang lu sama Kienna, 'kan, ya?" sambar Miko.

Ucapan Miko kembali membuatku terbayang dengan kenangan bersama Kienna. Entah sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya. Ia dan keluarganya sudah pindah rumah, pesan dan teleponku tidak kunjung dibalas. Rumahnya sudah ditempati orang lain, bahkan sahabat terdekatnya pun tidak tahu ke mana dirinya pergi. Yang kudapat dari tetangganya adalah Kienna bersama keluarganya pamit pindah rumah, namun mereka tidak tahu pindah ke mana.

"Eh, sorry. Lu jadi keinget Kienna lagi," kata Miko bersalah.

"Nggak masalah, Mik. Wajar aja gua tiba-tiba keinget dia, soalnya isi cerita buku gua, 'kan, tentang dia," ungkapku.

Gadis itu memang luar biasa. Datang tanpa permisi, pergi tanpa pamit. Ia berhasil membuatku kembali terjatuh saat sudah berhasil bangkit dari luka lama. Ia berhasil membuatku hancur kembali saat sudah berhasil pulih dari luka lama. Beruntung, ketika itu semua terjadi, masih ada sahabat yang menahanku agar tidak terlalu dalam jatuh ke lubang yang sama.

"Judulnya apa?" tanya Gio.

"Kisah Tanpa Judul."

______________

Delapan bulan silam

Aku merasa ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku kepada Kienna, gadis pujaan yang berhasil meluluhkan hatiku yang begitu keras. Sejak pertemuan pertama kami pada sebuah acara seminar kepenulisan, aku selalu berusaha untuk mendekatinya. Hari demi hari telah kami lalui bersama, berdiskusi mengenai novel yang sedang kubuat, makan berdua di sebuah kafe, dan sebagainya.

Sepeda motor milikku sudah menjadi saksi perjalanan diriku dengan Kienna menelusuri jalanan ibu kota. Bahkan, pernah suatu waktu kami mengelilingi Jakarta dari pagi hingga sore hari tanpa tujuan. Hal tersebutlah yang membuat diriku yakin bahwa Kienna adalah orang yang tepat untuk mengisi kembali kosongnya hatiku.

"Permisi...." sahutku di depan rumah Kienna. "Kienna!"

Beberapa kali kuucapkan kata tersebut, namun tak kunjung ada jawaban dari orang di dalam luar. Hampir sepuluh menit diriku berdiri di depan rumahnya hingga akhirnya seseorang keluar dari rumah tersebut. Tapi, orang yang keluar sama sekali tidak kukenal, bahkan tidak pernah kulihat ketika aku berkunjung ke rumahnya.

"Maaf, cari siapa, ya?" tanya orang itu.

"Kienna. Apa dia ada di dalam?"

"Maksudnya, orang yang dulu tinggal di rumah ini, ya?"

Aku semakin tidak mengerti dengan ucapan orang itu. "Iya. Apa ada Kienna?"

"Pemilik rumah sebelumnya sudah pindah, sekarang sudah ditempati oleh saya dan keluarga."

"Pindah!" kataku terkejut, "kalo boleh apa tau pindahnya ke mana?"

"Maaf, saya tidak tahu."

Orang tersebut masuk ke dalam rumah, meninggalkan diriku yang masih bingung. Tak lama tetangganya menghampiriku dan mengatakan hal yang sama bahwa Kienna dan keluarganya sudah pindah kemarin siang. Aku pun tertunduk lesu, kuhubungi Gio, Miko, dan Thalita, kali aja mereka tahu kabar terbaru dari Kienna. Namun, mereka juga baru mengetahui bahwa Kienna pindah rumah.

Kutinggalkan rumah Kienna yang sudah milik orang lain ini. Semua yang ada di dalamnya pernah merekam betapa indahnya masa-masa itu, ketika aku berkunjung ke rumahnya. Sesampainya di rumah, merebahkan diri di atas kasur adalah suatu yang pantas kulakukan. Aku terlambat mengatakannya!, hardikku pada diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun