"Akhirnya naskah ini selesai juga," kataku dalam hati.
Kututup laptop hitamku, lalu merenggangkan badan yang agak pegal. Setelah itu, aku menelepon Gio dan Miko untuk mengajaknya bersantai di kedai kopi favorit kami. Di sana, kami bercerita banyak, khususnya tentang diriku yang baru saja menyelesaikan proyek novelku.
"Jadi, udah selesai novel lu?" tanya Miko.
"Udah," jawabku singkat.
"Berapa bab yang lu buat, Pram?" tanya Gio.
"23 bab, kira-kira jumlahnya 283 halaman."
"Banyak juga, ya, cerita apa aja lu di situ," ujar Gio tertawa.
"Itu cerita tentang lu sama Kienna, 'kan, ya?" sambar Miko.
Ucapan Miko kembali membuatku terbayang dengan kenangan bersama Kienna. Entah sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya. Ia dan keluarganya sudah pindah rumah, pesan dan teleponku tidak kunjung dibalas. Rumahnya sudah ditempati orang lain, bahkan sahabat terdekatnya pun tidak tahu ke mana dirinya pergi. Yang kudapat dari tetangganya adalah Kienna bersama keluarganya pamit pindah rumah, namun mereka tidak tahu pindah ke mana.
"Eh, sorry. Lu jadi keinget Kienna lagi," kata Miko bersalah.
"Nggak masalah, Mik. Wajar aja gua tiba-tiba keinget dia, soalnya isi cerita buku gua, 'kan, tentang dia," ungkapku.