"Gua minta maaf kalo selama ini temen-temen gua selalu ngeganggu atau ngeledekin lu. Satu hal yang lu tau kalo gua nggak pernah nyuruh mereka ngelakuin kayak gitu, itu murni karna mereka sendiri," jelasku.
"Sa, gua tau perasaan lu ke gua kayak apa. Gua paham. Tapi, lu tau kalo gua sukanya sama Nathan."
"Gua paham, Ki," ucapku memelas.
Aku tak mampu berkata-kata. Ia begitu serius membicarakan hal ini denganku. Sebenarnya aku sudah sadar bahwa cintaku untuk Kiandra hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan saja. Cinta yang kuharapkan itu tidak akan menjadi satu. Dua hati yang tidak akan bisa disatukan. Kiandra hanya mencintai Nathan, bukan diriku.
"Gua terlalu jahat kalo nerima lu. Hati gua bukan buat lu, Sa. Gua yakin lu paham soal ini," ungkapnya.
"Ki, gua selalu paham soal ini. Tapi, kalo gua boleh meminta satu hal, apa nggak bisa sekali aja lu coba buka hati lu buat gua?"
Kiandra membisu. Ia berpikir selama beberapa detik. Aku merasa bersalah mengucapkan kata-kata tadi. Tiba-tiba ekspresinya berubah, sejenak ia menghela napasnya lalu kembali berbicara.
"Oke. Gua akan coba buka hati buat lu, tapi gua nggak jamin kalo akan semudah itu," tuturnya membuka harapanku.
"Jadi?" cetusku serius.
"Kalo lu bisa bawa tim sekolah kita juara dan lu cetak gol di pertandingan final, gua akan nerima lu jadi apa yang lu inginkan," ungkap Kiandra dengan tatapan tajam.
"Sekolah kita aja baru lolos fase grup, pertandingan final masih beberapa laga lagi, Ki."