Keesokan harinya, semua kembali berlatih. Namun, hari ini Bang James hanya memberi porsi latihan ringan untuk merenggangkan otot-otot yang tertarik akibat pertandingan kemarin. Kami hanya melakukan lari kecil mengelilingi lapangan, serta berendam air es yang telah disiapkan tim pelatih. Beberapa pemain yang mengeluh cedera dipisahkan untuk diperiksa oleh tim medis agar tidak berujung fatal, sementara yang lain tetap dalam pengawasan Bang James.
"Pagi ini kalian lari-lari kecil keliling lapangan sebanyak tiga putaran, lalu setelah itu semua berendam di air es yang telah disiapkan," perintah Bang James.
Setelah latihan usai, para pemain dibebaskan melakukan aktivitas apa pun, asalkan tetap berada di dalam hotel. Namun, sebelum itu kami harus mengikuti home schooling yang sudah dijadwalkan oleh pihak sekolah agar kami tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Terdapat 23 pemain dan 5 pengurus OSIS yang mengikuti kegiatan home schooling.
Kegiatan ini adalah kegiatan paling kusukai karena dapat melihat Kiandra lebih dekat. Ia selalu tampil cantik tanpa make up sekali pun. Bahkan, kejutekannya yang selalu ditakuti laki-laki lain malah membuatku semakin terpesona kepadanya. Kiandra sampai bingung mengapa diriku terus berusaha mendekatinya, walaupun telah berulang kali ditolak.
"Lu nggak cape kali, ya, ditolak mulu sama gua?" tanya Kiandra heran.
"Mau berapa kali pun gua nggak bakal nyerah, Ki. Gua mencintai lu sampe napas terakhir gua berembus," ungkapku.
"Tapi, gua juga nggak bakal suka sama lu karena gua sukanya sama Nathan," tegasnya.
"Soal hati nggak ada yang tau ke depannya, Ki. Mungkin suatu saat hati lu bisa untuk gua."
Perdebatan yang terus berulang itu kembali terhenti ketika guru yang mengajar memasuki ruangan. Kiandra kembali ke bangkunya dan fokus menerima pelajaran. Hari ini, kami akan menerima pelajaran Geografi, mengenai "Negara Maju dan Negara Berkembang". Â Pelajaran ini sangat kukuasai karena sedikit hapal dengan nama-nama negara di dunia ini.
***
Waktu berjalan terus. Pertandingan kedua sudah di depan mata. Bang James kembali memilih kesebelasan utama pada pertandingan kali ini. Aku harus memulai dari bangku cadangan, namun tak mengapa bagiku.
Kiandra dan tim ofisial yang lain duduk bersama di bangku cadangan, mereka sudah membawa air dan perlengkapan pemain lainnya.
"Kasihan banget sih, Sa, harus mulai dari bangku cadangan. Liat, tuh, Nathan, dia jadi pemain utama lagi hari ini," ledek Kiandra kepadaku tanpa melihat diriku.
"Sepak bola adalah olahraga tim, bukan individu. Jadi, wajar aja ada pemain utama atau pemain cadangan. Gua nggak masalah mau mulai dari bangku cadangan sekali pun, yang penting tim ini meraih kemenangan. Lagian Nathan posisinya kiper, sedangkan gua berposisi sebagai penyerang yang banyak pemain di posisi itu," balasku sembari tersenyum. "btw, terima kasih kritik tadi, gua akan berlatih lebih giat lagi supaya di pertandingan berikutnya dipilih sejak awal."
Kiandra mengendus napasnya. Ia sangat kesal karena ledekannya tidak mempan kepadaku. Aku selalu menangkisnya dengan 'elegan', yang membuatnya tidak mampu berkata-kata lagi.
Tak berselang lama, Ezra harus ditarik keluar karena cedera yang menimpanya. Hal tersebut membuat diriku dimasukkan oleh Bang James. Strategi yang diberi olehnya berusaha kucerna agar dapat mengikuti instruksinya dengan baik. Aku ditaruh sebagai penyerang kanan. Posisi baru bagiku yang sebelumnya selalu ditempatkan sebagai penyerang tengah.
"Tugas lu bantu Bagas buat peluang. Saat Bagas cari ruang, lu masuk dengan pergerakan tanpa bola. Atau, saat Bagas dikawal lawan, lu yang akan menjelma sebagai penyerang bayangan," tuturnya kepadaku.
Wasit mengizinkanku masuk ke dalam lapangan. Strategi yang baru saja diberi Bang James langsung kubisikkan kepada Bagas agar juga mengerti dengan instruksi baru. Selanjutnya, pertandingan berlangsung sangat ketat, terjadi jual beli serangan dari masing-masing tim. Beruntung tim sekolahku mampu mengatasinya, bahkan berbalik menyerang melalui counter attack yang cepat. Alhasil, Bagas berhasil merobek gawang lawan lewat sundulannya setelah memanfaatkan umpan silang yang kuberi.
Di tengah pertandingan, stadion diguyur hujan deras. Wasit tetap melanjutkan permainan. Laju bola beberapa kali terhenti di tengah genangan, membuat para pemain harus berhati-hati untuk mengoper dari kaki ke kaki.
"Lapangan tergenang air membuat laju bola terhambat, kita harus hati-hati untuk memainkan umpan pendek. Coba sesekali mainkan umpan panjang ke depan, Bagas atau pun Mahesa harus selalu siap untuk mengejar bolanya agar tercipta peluang mencetak gol," terial Bang James di tengah guyuran hujan.
Kulihat pertandingan menyisakan sepuluh menit terakhir, artinya menit-menit rawan untuk kebobolan. Aku harus bisa menambah gol agar tim sekolahku bisa mengunci kemenangan. Kini, tim sekolahku memainkan umpan panjang agar bisa menciptakan peluang, meski hujan lebat. Aku berhasil memanfaatkan umpan tersebut setelah lolos dari perangkap offside, kugiring bola untuk berhadapan satu lawan satu dengan kiper lawan. Namun, setelah sedikit kugocek kiper lawan menekel kakiku sehingga berbuah tendangan penalti.
Bang James menyuruh Bagas mengambil penalti tersebut. Untung saja ia berhasil mengecoh kiper lawan dan kembali berhasil mencetak skor untuk tim. Hingga menit akhir, tim sekolahku kembali meraih kemenangan, kali ini dengan skor 2-0.
***
Efek hujan yang sangat deras pada pertandingan tadi membuat tim pelatih menyediakan minuman hangat untuk para pemain. Jujur saja, badanku menggigil tak terkira, hujan tadi benar-benar membuatku kedinginan. Aku sudah mengenakan pakaian berlapis-lapis, namun masih merasa menggigil.
Beberapa pemain lain malah merasa flu dan pilek. Bang James menyuruh kami agar beristirahat total agar kembali fit pada pertandingan berikutnya, walaupun tak menentukan apa-apa karena tim sekolahku sudah lolos ke babak semifinal, setelah dua kali menang pada fase grup.
Di kamar, aku baringkan tubuhku yang menggigil ini menggunakan selimut tebal dari hotel. Ezra yang tak bermain saat hujan kemarin hanya tertawa puas melihatku dan Gilang yang kedinginan.
"Untung gua cedera sebelum hujan turun kemarin," ledek Ezra sembari tertawa.
"Nggak ada yang untung dan rugi, Zra," cetus Gilang.
"Iya, sih. Tapi, gua nggak perlu merasakan kedinginan kayak lu gitu," katanya masih tertawa.
"Seharusnya kalo lu kaga cedera, gua yang kaga ujan-ujanan," tuturku.
Tak lama ada yang mengetuk pintu kamar, setelah Ezra melihatnya ternyata itu Kiandra. Ia membawakan semangkuk sup ayam untukku dan Ezra. Selain sup ayam, ia juga memberikan vitamin meningkatkan daya tahan tubuh.
"Makasih, ya, Ki," ujar Ezra.
"Sama-sama."
"Lu nggak jenguk Mahesa dulu?" ledek Ezra, "dia kedinginan, tuh, butuh kehangatan dari lu."
"Jangan mancing emosi gua!" raung Kiandra.
"Parah lu coba-coba bangunin macan tidur," cetus Gilang ikut meledek Kiandra.
Aku yang berselimut tebal menghampiri mereka. Kiandra membuang mukanya dariku, sedangkan Ezra dan Gilang terus meledekinya sampai tak mampu membalasnya.
"Udah-udah. Lu pada kenapa, sih, ngeledekin Kiandra mulu," pekikku menggigil.
"Bilangin, tuh, temen-temen lu yang nggak jelas juga sama kayak lu!" kesal Kiandra, "dah, ah, tugas gua nganterin sup ayam buat kalian selesai. Bye!"
Kulihat Kiandra begitu kesal setelah terus-menerus diledek oleh Ezra dan Gilang. Ia sangat tidak suka selalu dikait-kaitkan denganku karena dirinya lebih menyukai Nathan ketimbang diriku. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengejar Kiandra yang belum jauh dari kamarku.
"Kiandra," panggilku, "tunggu!"
Kiandra menoleh. "Ada apa lagi?"
"Jangan dengerin ledekan-ledekan Ezra sama Gilang, anggap aja angin lalu."
"Emang lu pikir selama ini gua dengerin ledekan mereka? Gua nggak pernah peduli sama ledekannya, tapi lama-lama gua juga kesel kalo tiap hari digituin!" kesalnya.
"Gua minta maaf kalo selama ini temen-temen gua selalu ngeganggu atau ngeledekin lu. Satu hal yang lu tau kalo gua nggak pernah nyuruh mereka ngelakuin kayak gitu, itu murni karna mereka sendiri," jelasku.
"Sa, gua tau perasaan lu ke gua kayak apa. Gua paham. Tapi, lu tau kalo gua sukanya sama Nathan."
"Gua paham, Ki," ucapku memelas.
Aku tak mampu berkata-kata. Ia begitu serius membicarakan hal ini denganku. Sebenarnya aku sudah sadar bahwa cintaku untuk Kiandra hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan saja. Cinta yang kuharapkan itu tidak akan menjadi satu. Dua hati yang tidak akan bisa disatukan. Kiandra hanya mencintai Nathan, bukan diriku.
"Gua terlalu jahat kalo nerima lu. Hati gua bukan buat lu, Sa. Gua yakin lu paham soal ini," ungkapnya.
"Ki, gua selalu paham soal ini. Tapi, kalo gua boleh meminta satu hal, apa nggak bisa sekali aja lu coba buka hati lu buat gua?"
Kiandra membisu. Ia berpikir selama beberapa detik. Aku merasa bersalah mengucapkan kata-kata tadi. Tiba-tiba ekspresinya berubah, sejenak ia menghela napasnya lalu kembali berbicara.
"Oke. Gua akan coba buka hati buat lu, tapi gua nggak jamin kalo akan semudah itu," tuturnya membuka harapanku.
"Jadi?" cetusku serius.
"Kalo lu bisa bawa tim sekolah kita juara dan lu cetak gol di pertandingan final, gua akan nerima lu jadi apa yang lu inginkan," ungkap Kiandra dengan tatapan tajam.
"Sekolah kita aja baru lolos fase grup, pertandingan final masih beberapa laga lagi, Ki."
"Itu urusan lu, Sa. Kalo emang lu cinta sama gua, lu akan berjuang buat dapetin hal yang lu mau," katanya lalu meninggalkanku.
"Gua akan tagih janji lu kalo gua berhasil ngelakuin apa yang lu bicarakan tadi," teriakku semangat.
Kiandra menghiraukan ucapanku dan memilih kembali ke kamarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H