Beberapa menit kemudian, Saga bersama seorang pemuda tiba. Aku langsung menghampirinya dan berdiskusi dengan mereka. Tak lama kemudian Raya, Yani, dan Tita keluar dari dalam dengan almamater kebanggaannya. Mereka juga sudah bersolek dengan anggun. Raya menghampiriku yang kemudian duduk di jok belakang sepeda motorku.
"Mas, nanti di sana bantu memotret kegiatan, ya! Soalnya kita nggak punya tim dokumentasi," ujarnya.
"Oke, Ray. Tapi, saya nggak punya kameranya, 'loh."
"Itu tenang saja, aku sudah bawa peralatannya, kok."
Sesampainya di balai desa, Raya dan teman-temannya sudah ditunggu puluhan anak-anak di desa ini. Mereka telah menunggu sekitar satu jam lalu. Raya, Yani, dan Tita langsung mengajak anak-anak tersebut bermain sambil belajar, sementara aku memasangkan kamera milik Raya sebagai alat dokumentasi mereka selama bertugas di desa ini.
Kulihat dari lensa kamera cara mengajar mereka. Anak-anak sangat antusias mengikuti semua komando yang diberikan, tak pernah kulihat pemandangan langka ini dari anak-anak di desaku. Aku tersenyum kecil di balik lensa, terpesona dengan kecantikan Raya yang begitu anggun hari ini. Puluhan foto sudah kuhasilkan sepanjang kegiatan. Ada anak kecil yang tertawa lepas ketika melihat temannya usai dihukum bernyanyi, raut bahagia Pak Kades yang duduk di pojok balai desa, dan masih banyak lagi.
Suara azan di kejauhan menjadi penanda bahwa kegiatan usai. Raya duduk di sebuah bangku dengan keringat mengucur di dahinya, almamater kebanggaannya pun sedikit lepek karena keringatnya. Anak-anak kecil memintanya untuk kembali mengajar mereka, tapi Pak Kades menyuruh mereka kembali esok hari.
Kuberi selembar tisu kepada Raya. "Ini bersihkan keringatmu."
Ia lalu membersihkan keringat yang kian mengucur membasahi pipi merahnya. Tanpa ucapan, aku tahu bahwa dirinya benar-benar lelah setelah hampir berjam-jam mengajar anak-anak desa.
"Bagaimana? Banyak foto-fotonya, Mas?" tanya Raya.
"Lumayan. Silakan dilihat saja sama kamu," jawabku, "maaf kalau kurang bagus." Â