Raya dan teman-temannya mengangguk.
Selanjutnya Pak Kades menyuruhku dan Saga untuk mengantarkan mereka ke tempat penginapan yang telah disiapkan. Dengan menggunakan sepeda motor, kami bertolak. Aku memboncengi Raya, Saga dengan Yani, dan Tita diboncengi salah satu pemuda desa yang juga dimintai tolong oleh Pak Kades. Ketika Raya duduk tepat di belakangku, perasaanku kian berdebar. Ia terus berusaha mencari info mengenai desa ini, yang sebenarnya sudah kuketahui. Namun, entah ada angin apa, aku sangat gugup untuk menjawab beberapa pertanyaannya.
"Mas Jagat udah dari kecil tinggal di desa ini?" tanyanya.
"Iya. Saya lahir di desa ini dua puluh tahun lalu. Sudah dari dulu anak-anak di sini malas untuk bersekolah hingga perguruan tinggi, kebanyakan mereka hanya sampai SMP saja," jawabku.
"Tadi aku dengar hanya Mas Jagat dan Bang Saga saja yang sekolah sampai perguruan tinggi?"
"Betul. Makanya, saya dengan Saga yang dipercaya Pak Kades untuk mendampingi kalian selama di sini."
Sekitar sepuluh menit kemudian, kami sampai di tempat penginapan. Aku langsung membantu Raya membawakan barang-barangnya. Tak lama Saga dan lainnya juga sampai dan langsung ikut masuk ke dalam untuk membantu membawa barang-barang yang dibawa. Setelah semua beres, aku dan Saga izin pulang dengan Raya dan teman-temannya.
"Saya pamit pulang dulu, rumah saya nggak jauh dari sini. Kalian bisa tanya aja warga kalo mau mampir," kataku.
"Mas...." Raya memanggilku. Suaranya kembali membuyarkan fokusku, "boleh minta nomor teleponnya, biar kita gampang kalo ingin cari-cari."
Aku memberikan nomor teleponku. Raya mencatatnya pada ponsel miliknya. Setelah itu, aku dan Saga beranjak pergi di kala langit mulai menggulung hitam. Rintik hujan perlahan membasahi ladang sawah di sekitar penginapan.
***