Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KKN (Konco Kentel Nikung) - Bagian 1

24 April 2024   15:01 Diperbarui: 24 April 2024   15:07 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis bermata coklat keluar dari mobil yang berhenti tepat di balai desa. Ia mengenakan almamater kampus ternama di Indonesia bersama dua orang temannya. Kepala desa menyambut mereka dengan hangat, disertai iringan tradisi di desaku. Sementara ketiga gadis itu menebar senyum terindahnya, membuat mata pemuda-pemuda di desaku melotot tajam---termasuk diriku.

"Perkenalkan, mereka akan mengabdi untuk memberikan ilmunya kepada anak-anak di desa ini," pekik Pak Kades.

Tepuk tangan kembali bergemuruh di tengah hari bolong. Kedatangan mereka memang sudah ditunggu sejak beberapa pekan lalu. Mataku masih saja fokus pada salah satu gadis itu, betapa memesona dirinya saat turun dari mobil yang mengantarnya.

Beberapa tradisi desa dipersembahkan oleh warga desa, membuat ketiga gadis yang sudah duduk terhipnotis dengan kekayaan di desaku. Kepala desa terus menjelaskan betapa prihatinnya pendidikan di desa ini ketika banyak anak-anak kecil tidak mampu bersekolah dengan layak, sebagaimana anak-anak di kota-kota besar nun jauh di sana.

"Sekolah di desa ini hanya satu, itu juga tidak difasilitasi dengan pengajar yang kompeten. Jarak desa ke kota menjadi penyebab keterbelakangnya desa kami. Maka itu, kami sangat berharap dengan kakak-kakak agar mampu membangkitkan gairah belajar anak-anak di desa ini," ungkap Pak Kades.

"Sebelumnya kami terima kasih karena sudah disambut semegah ini, semoga kami bisa menjadi apa yang Pak Kades harapkan dari kami," ujar gadis yang sepertinya ketua tim.

"Kalian akan didampingi oleh dua pemuda desa yang paling cerdas di desa ini. Mereka yang telah mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, meskipun setelah lulus kembali ke desa untuk mengabdi di sini," lanjut Pak Kades.

"Perkenalkan saya Saga," pekik Saga mengulurkan tangannya kepada salah satu dari ketiga gadis itu.

"Jagat." Aku turut mengulurkan tanganku.

Uluran tanganku dan Saga disambut oleh ketiga gadis itu. Setelah itu, baru kutahu bahwa mereka bernama Raya, Yani, dan Tita. Raya adalah ketua tim dan gadis yang langsung menghipnotis diriku ketika turun dari mobil tadi.

"Mas Jagat dan Bang Saga akan bersama kalian selama di sini. Kalo butuh apa-apa, tinggal bicarakan saja dengan mereka," kata Pak Kades.

Raya dan teman-temannya mengangguk.

Selanjutnya Pak Kades menyuruhku dan Saga untuk mengantarkan mereka ke tempat penginapan yang telah disiapkan. Dengan menggunakan sepeda motor, kami bertolak. Aku memboncengi Raya, Saga dengan Yani, dan Tita diboncengi salah satu pemuda desa yang juga dimintai tolong oleh Pak Kades. Ketika Raya duduk tepat di belakangku, perasaanku kian berdebar. Ia terus berusaha mencari info mengenai desa ini, yang sebenarnya sudah kuketahui. Namun, entah ada angin apa, aku sangat gugup untuk menjawab beberapa pertanyaannya.

"Mas Jagat udah dari kecil tinggal di desa ini?" tanyanya.

"Iya. Saya lahir di desa ini dua puluh tahun lalu. Sudah dari dulu anak-anak di sini malas untuk bersekolah hingga perguruan tinggi, kebanyakan mereka hanya sampai SMP saja," jawabku.

"Tadi aku dengar hanya Mas Jagat dan Bang Saga saja yang sekolah sampai perguruan tinggi?"

"Betul. Makanya, saya dengan Saga yang dipercaya Pak Kades untuk mendampingi kalian selama di sini."

Sekitar sepuluh menit kemudian, kami sampai di tempat penginapan. Aku langsung membantu Raya membawakan barang-barangnya. Tak lama Saga dan lainnya juga sampai dan langsung ikut masuk ke dalam untuk membantu membawa barang-barang yang dibawa. Setelah semua beres, aku dan Saga izin pulang dengan Raya dan teman-temannya.

"Saya pamit pulang dulu, rumah saya nggak jauh dari sini. Kalian bisa tanya aja warga kalo mau mampir," kataku.

"Mas...." Raya memanggilku. Suaranya kembali membuyarkan fokusku, "boleh minta nomor teleponnya, biar kita gampang kalo ingin cari-cari."

Aku memberikan nomor teleponku. Raya mencatatnya pada ponsel miliknya. Setelah itu, aku dan Saga beranjak pergi di kala langit mulai menggulung hitam. Rintik hujan perlahan membasahi ladang sawah di sekitar penginapan.

***

Pak Kades baru saja menghubungiku dan meminta untuk mengantarkan makanan untuk Raya dan teman-temannya. Aku segera bergerak ke rumah Pak Kades untuk mengambil makanan. Setelah itu, aku kembali beranjak ke penginapan. Sesampainya di sana, aku menemukan Raya tengah termengu di teras.

"Assalamu'alaikum...." ucapku mengejutkan Raya.

"Wa'alaikumsalam. Eh, Mas Jagat. Ada apa, Mas?" tanyanya manis.

"Ini saya disuruh Pak Kades mengantar sarapan buat kamu dan yang lain," ujarku memberi tiga nasi kotak kepada Raya.

"Waduh. Pak Kades baik banget, sampai disediakan makanan juga, 'loh. Terima kasih, ya, Mas. Sampaikan juga untuk Pak Kades," cetus Raya tersenyum.

Raya memberikan makanan untuk kedua temannya yang berada di dalam. Selanjutnya, ia kembali keluar dan menyantap makanannya di teras. "Mas, sudah sarapan?"

"Sudah, Mbak." Aku tersipu.

"Loh, panggil Raya aja. Aku, 'kan, lebih muda dari Mas," katanya tertawa kecil.

Aku tersenyum. Sesekali memandang wajahnya yang sedang menyuap nasi membuatnya bertambah ayu.

"Oh iya, Mas. Nanti jam setengah 9, antar saya dan teman-teman ke balai desa, ya. Kalau dilihat dari jadwal, kami akan mengadakan pertemuan dengan anak-anak di desa ini untuk ikut dalam pembelajaran bersama kami," kata Raya sembari meneguk minuman.

Selanjutnya, aku menghubungi Saga untuk datang ke penginapan. Tak lupa kuingatkan untuk membawa sepeda motornya yang nantinya akan digunakan memboncengi Raya dan teman-temannya ke balai desa. Sementara Raya kembali ke dalam untuk segera berkemas karena jam sudah menunjukkan pukul 8.00 WIB.

Beberapa menit kemudian, Saga bersama seorang pemuda tiba. Aku langsung menghampirinya dan berdiskusi dengan mereka. Tak lama kemudian Raya, Yani, dan Tita keluar dari dalam dengan almamater kebanggaannya. Mereka juga sudah bersolek dengan anggun. Raya menghampiriku yang kemudian duduk di jok belakang sepeda motorku.

"Mas, nanti di sana bantu memotret kegiatan, ya! Soalnya kita nggak punya tim dokumentasi," ujarnya.

"Oke, Ray. Tapi, saya nggak punya kameranya, 'loh."

"Itu tenang saja, aku sudah bawa peralatannya, kok."

Sesampainya di balai desa, Raya dan teman-temannya sudah ditunggu puluhan anak-anak di desa ini. Mereka telah menunggu sekitar satu jam lalu. Raya, Yani, dan Tita langsung mengajak anak-anak tersebut bermain sambil belajar, sementara aku memasangkan kamera milik Raya sebagai alat dokumentasi mereka selama bertugas di desa ini.

Kulihat dari lensa kamera cara mengajar mereka. Anak-anak sangat antusias mengikuti semua komando yang diberikan, tak pernah kulihat pemandangan langka ini dari anak-anak di desaku. Aku tersenyum kecil di balik lensa, terpesona dengan kecantikan Raya yang begitu anggun hari ini. Puluhan foto sudah kuhasilkan sepanjang kegiatan. Ada anak kecil yang tertawa lepas ketika melihat temannya usai dihukum bernyanyi, raut bahagia Pak Kades yang duduk di pojok balai desa, dan masih banyak lagi.

Suara azan di kejauhan menjadi penanda bahwa kegiatan usai. Raya duduk di sebuah bangku dengan keringat mengucur di dahinya, almamater kebanggaannya pun sedikit lepek karena keringatnya. Anak-anak kecil memintanya untuk kembali mengajar mereka, tapi Pak Kades menyuruh mereka kembali esok hari.

Kuberi selembar tisu kepada Raya. "Ini bersihkan keringatmu."

Ia lalu membersihkan keringat yang kian mengucur membasahi pipi merahnya. Tanpa ucapan, aku tahu bahwa dirinya benar-benar lelah setelah hampir berjam-jam mengajar anak-anak desa.

"Bagaimana? Banyak foto-fotonya, Mas?" tanya Raya.

"Lumayan. Silakan dilihat saja sama kamu," jawabku, "maaf kalau kurang bagus."  

Raya mulai mengecek foto-foto di kamera miliknya. Meski ada beberapa foto yang buram, ia tetap puas dengan hasil foto yang dihasilkan olehku. Raya juga mengomentari hasil fotoku yang katanya sangat bagus.

Aku berharap tak terbang menembus langit ketika pujiannya datang kepadaku. "Kamu berlebihan. Aku hanya seorang pemuda desa biasa yang sebenarnya tidak pandai menggunakan kamera seperti itu. Tapi, karena kamu yang meminta, aku berusaha melakukannya dengan baik."

Ia mengangguk, kemudian kembali menatap layar kamera. Dahinya mengernyit. Selanjutnya yang dilihat adalah foto-foto dirinya yang berhasil kupotret diam-diam ketika ia sedang mengajar tadi.

"Kok, banyak banget fotoku?" tanyanya.

"Tidak apa-apa. Menurutku, momen itu yang tidak boleh tertinggal untuk dipotret," jawabku kikuk, "hmm... itu kamu makan dulu, Ray."

Aku berjalan mengambil setumpuk nasi kotak yang berada di dalam plastik merah. Kuambil lima kotak untuk dimakan bersama. Selanjutnya, aku, Saga, Raya, dan kedua temannya makan bersama sambil bercengkrama mengenai pengalaman satu harinya di desa ini.


BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun