Mohon tunggu...
Aan
Aan Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA AKHRI DI JURUSAN BAHASA DAN SENI

Menulis ilmiah, menulis prosa, menulis puisi, main teater, suka tidur dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kumpulan Puisi Karya Aan Taupat

15 Juli 2023   00:18 Diperbarui: 15 Juli 2023   00:33 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memoar Bawang

Sungguh.

Kulit ganti tahun menjelang Ibu. Tiada.

Ibu memamah kulit durhakanya, anak. Sungguh.

Perih mata Bapak.

Penyesalan mengalir, cuma.

Sakti mata Bapak.

Harapan keringat, hanya.

Merah mata Ibu.

Rabun melumas bawang memoar.

Limpah mata Ibu.

Seperti cokelat mata adik.

Ibu berganti memoar bawang.

Bawang cobekkan di atas mati.

Darah, hening.

Palu, 15 Januari 23

"Petuah Abati"

Ndu, dengarkan!

Di sana tempat yang sarat akan pencitraan

Membubuhi wajah-wajah keserakahan

Semua yang batil menjelma tontonan

Sedang yang haq tak dihiraukan

Ndu, pahamilah!

Mereka menyaksikan namun hanya pandai bersorak

Bahasa kebenaran hanya dipandangi lalu diinjak

Sumpah serapah sudah membaluti bait sajak

Antek sebenarnya tak mungkin lagi menyalak

Jiwamu Ndu!

Sekali tidak, tetaplah tidak!

Jangan terbuai oleh sanjungan butir-butir  padang pasir

Hatimu jangan berbalik sebab menyangkal munafik

Niatmu jangan membelot sebab godaan murni mengukir

Jangan Ndu!

Ingkari menggunting dalam sebuah lipatan

Tidak menjilati apalagi sampai memakan

Jangan sampai menyeduh teh di lapik cawan

Sebab perjalananmu masih di perawanan

Ingat ndu!

Untuk apa kamu diciptakan?

Oleh Aan [Palu, 05 Februari 2021]

 

 

"Potret Bapak"

Ada yang tak lepas dari tangan, terkunci. Ketika hendak lewat sela-sela jari ini

Maju atau mundur tetap kukuh.

Hanya sensasi dan perasaan!

"Hanya Kau satu-satunya kawan" Ngucapnya.

Palu, 15 November 2022

"600 Lebih Mudah"

Tuan siang malam telanjang melulu kerjanya.

Ibu ikat kepal, buka dada mendoa ketat usahanya.

Bapak tak lagi datang, kata tetangga merantau cari kerja.

Bapak tak lagi ada, kata keluarga sudah mantap upah.

Satu, dua, tiga. Ada dua puluh lima!

Anak mengucur keringat telanjang pusat, hitung Bapak.

Satu, dua, tiga. Ada dua puluh lima!

Anak dari rahim Ibu tutup aurat, anak satunya telanjang dada kerjanya.

Kata Bu Desa, Bapak jadi Hantu di sebrang.

Kata Pak dusun, Ibu jadi perawan tua sepenggal usia.

Kata Anak Maria, Ahmat punya jurus selamat.

Tuan telanjang pusat.

Ibu tutup dada, katanya aurat.

Bapak pensiun penyair, tak ada lagi perkasa ayat-ayat.

Kesal Aku, Ikut telanjang.

Palu, 25 Desember 2022

Beta Punya Mama

Mama satu

Mama dua

Mama tiga

Mama empat

Mama lima telah tiada

Keenam Beta

Punya mama tinggal nama

Palu, 16 Agustus 2022

"Dandang dan Kebun"

Bunda-Bunda di dinding

Diam-diam masak di dandang

Bapak-Bapak sibuk kilat ubun

Terang-terang kumpul kebo di kebun

Bunda-Bunda kerap merayap

Terang-terang pasang sayap

Bapak-Bapak latih tiarap

Diam-diam jadi penggarap

Bunda-bunda ditangkap basah

Bapak-Bapak menangkap lembap

Bapak-Bapak kuyup merah menyala

Bunda-Bunda kering darah rajalela

Gila

Gula

Gali

Geli

Anak-anak kadang-kadang

Bapak-Bapak suka kadang

Bunda-Bunda senang kadang

Masak di kebun dan dandang di dinding diam kabung!

Palu, 22 September 2022

"Mama Punya Beta"

Tangan kanan melangit doa.

Tangan kiri sibuk dengan selimutnya.

Surai ikal panjang agaknya rapi disanggul geli.

Mama sibuk memuji dalam hati, sementara disiapkannya selimut doa untuk anak menggigil dingin.

Diucapnya mantra, diusapnya lekat-lekat.

Pada wajah anak tirinya.

Mama punya anak sudah begini.

Mematuhi tapi tak sekali, mau dikasihani.

Mama punya anak sudah sudi. Punya kasih.

Cuma bangga walau anak tiri.

Anak menyesal setengah mati.

Sebab mama telah meninggali.

Mama dengan rapuhnya penuh kasih.

Tapi anak tiri, pandai tak tahu diri.

Palu, 17 Agustus 2022

Nenek Banci

Alegori nenek banci mendongeng.

Pulau belantara tumbuh dan kumbang.

Pohon punya roh, dan tenaga kuat segala.

Belum satu apalagi ber-2.

Timur masuk ramah.

Barat tanak bertiga.

Empunya berlebih padi, beras bergerigi mungil.

Ke-1 lalu kedua.

Muncul mata siput berhitung.

Timbul hidung moncong ngeong.

Tampak dagu hudhud gonggong.

Tuannya diserbu seribu satu debu di kolong.

Alegori kakek banci berdendang.

Manusia kumbang dan kembang.

Pohon tak punya roh kini dan tenaga tak punya segala.

Berhitung ngeong gonggong.

Semua menanam benih, panen entah kapan padi beras bergerigi mungil.

Alegori anak banci melakonkan.

Beras bergerigi sedikit hebat menggigit.

Padi dipanen tak punya hasil berlebih.

Yang punya, menggigil api.

Alegori cucu banci menonton.

Kucuran darah, berdarah-darah.

Tulang-belulang tak pulang-pulang.

Sadar sudah, mulai ramah seirama.

Sabar sudah, mulai bertiga, berempat lahir.

Alegori cicit banci menangis biji darah.

Bangkit.

Telah mengulik, terdidik sampai.

Bebas.

Lepas hampir seluruh, maklum selesai.

Alegori piut banci terpingkal-pingkal nanah.

Tua.

Ubah, hampir kiri menjadi-jadi.

Muda.

Kembali, kanan atau tengah masih tanya bertanda.

Alegori kita perut nusa dan nisan.

Kini.

Tegas cepat berubah.

Rumahi buyut apa kabar?

Palu 11 September 2022

"Punya Tani"

Semua Tani punya.

Tani punya ladang.

Tani punya tebu.

Tani punya arit.

Tani punya rumah.

Tani punya gerak.

Tani punya palu.

Ladang tetap ladang, habis juga digarap masal.

Rumah tetap rumah, reyot pula dimakan rayap.

Perihal perseteruan ladang.

Awal jadi tanah sengketa sekata.

Gandrung akan petaka serakah.

Mengenai tanaman tebu.

Akhir jadi pekat pahit, padahal madu.

Gentas dihabisi melulu.

Tani punya tangan.

Tani punya kaki.

Tangan Tani mengetuk kaki kiri.

Kaki Tani menyabit tangan kanan.

Tani punya kaki cacat kiri.

Tani punya tangan buntung kanan.

Tani punya kepala menoleh kiri.

Berbedaan, beranjak lari sendiri.

Tani punya mata melihat kanan.

Bersamaan, bergerak gerombongan.

Mukim di sana, ke rumah raja.

Sebab Tani punya rumah tak lagi ramah.

Turun jajah siapa saja.

Sebab Tani punya tebu tak lagi tumbuh, hilang manis hambar rasa.

Punya tani semaunya!

Palu, Agustus 2022

Sajak Tuan

Sajak-sajak tak bertuan.

Berseliweran membentur 1001 bebatuan.

Pertengahan tahun jadi jajan bulan-bulanan.

Anak-anak Tani masuk ke gudang raja tanpa pamitan.

Tunggu saja di rumah, sebentar lagi sajak-sajak itu punya Tuan!

Kini kita akan menghadap,

membawa benar dan kebenaran,

akar keresahan dari Tani punya Anak yang telanjang kepayahan.

Pasang kaki kuat-kuat, buhul dengan kain kafan.

Kepalkan, lalu angkat tangan kiri kalian,

lawan sampai mereka menuju pekuburan.

Besok kita akan buktikan!

Kita anak Tani. Tani bukan anak Tiri.

Kebenaran Abadi!

Palu, 24 Agustus 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun