Memoar Bawang
Sungguh.
Kulit ganti tahun menjelang Ibu. Tiada.
Ibu memamah kulit durhakanya, anak. Sungguh.
Perih mata Bapak.
Penyesalan mengalir, cuma.
Sakti mata Bapak.
Harapan keringat, hanya.
Merah mata Ibu.
Rabun melumas bawang memoar.
Limpah mata Ibu.
Seperti cokelat mata adik.
Ibu berganti memoar bawang.
Bawang cobekkan di atas mati.
Darah, hening.
Palu, 15 Januari 23
"Petuah Abati"
Ndu, dengarkan!
Di sana tempat yang sarat akan pencitraan
Membubuhi wajah-wajah keserakahan
Semua yang batil menjelma tontonan
Sedang yang haq tak dihiraukan
Ndu, pahamilah!
Mereka menyaksikan namun hanya pandai bersorak
Bahasa kebenaran hanya dipandangi lalu diinjak
Sumpah serapah sudah membaluti bait sajak
Antek sebenarnya tak mungkin lagi menyalak
Jiwamu Ndu!
Sekali tidak, tetaplah tidak!
Jangan terbuai oleh sanjungan butir-butir  padang pasir
Hatimu jangan berbalik sebab menyangkal munafik
Niatmu jangan membelot sebab godaan murni mengukir
Jangan Ndu!
Ingkari menggunting dalam sebuah lipatan
Tidak menjilati apalagi sampai memakan
Jangan sampai menyeduh teh di lapik cawan
Sebab perjalananmu masih di perawanan
Ingat ndu!
Untuk apa kamu diciptakan?
Oleh Aan [Palu, 05 Februari 2021]
Â
Â
"Potret Bapak"
Ada yang tak lepas dari tangan, terkunci. Ketika hendak lewat sela-sela jari ini
Maju atau mundur tetap kukuh.
Hanya sensasi dan perasaan!
"Hanya Kau satu-satunya kawan" Ngucapnya.
Palu, 15 November 2022
"600 Lebih Mudah"
Tuan siang malam telanjang melulu kerjanya.
Ibu ikat kepal, buka dada mendoa ketat usahanya.
Bapak tak lagi datang, kata tetangga merantau cari kerja.
Bapak tak lagi ada, kata keluarga sudah mantap upah.
Satu, dua, tiga. Ada dua puluh lima!
Anak mengucur keringat telanjang pusat, hitung Bapak.
Satu, dua, tiga. Ada dua puluh lima!
Anak dari rahim Ibu tutup aurat, anak satunya telanjang dada kerjanya.
Kata Bu Desa, Bapak jadi Hantu di sebrang.
Kata Pak dusun, Ibu jadi perawan tua sepenggal usia.
Kata Anak Maria, Ahmat punya jurus selamat.
Tuan telanjang pusat.
Ibu tutup dada, katanya aurat.
Bapak pensiun penyair, tak ada lagi perkasa ayat-ayat.
Kesal Aku, Ikut telanjang.
Palu, 25 Desember 2022
Beta Punya Mama
Mama satu
Mama dua
Mama tiga
Mama empat
Mama lima telah tiada
Keenam Beta
Punya mama tinggal nama
Palu, 16 Agustus 2022
"Dandang dan Kebun"
Bunda-Bunda di dinding
Diam-diam masak di dandang
Bapak-Bapak sibuk kilat ubun
Terang-terang kumpul kebo di kebun
Bunda-Bunda kerap merayap
Terang-terang pasang sayap
Bapak-Bapak latih tiarap
Diam-diam jadi penggarap
Bunda-bunda ditangkap basah
Bapak-Bapak menangkap lembap
Bapak-Bapak kuyup merah menyala
Bunda-Bunda kering darah rajalela
Gila
Gula
Gali
Geli
Anak-anak kadang-kadang
Bapak-Bapak suka kadang
Bunda-Bunda senang kadang
Masak di kebun dan dandang di dinding diam kabung!
Palu, 22 September 2022
"Mama Punya Beta"
Tangan kanan melangit doa.
Tangan kiri sibuk dengan selimutnya.
Surai ikal panjang agaknya rapi disanggul geli.
Mama sibuk memuji dalam hati, sementara disiapkannya selimut doa untuk anak menggigil dingin.
Diucapnya mantra, diusapnya lekat-lekat.
Pada wajah anak tirinya.
Mama punya anak sudah begini.
Mematuhi tapi tak sekali, mau dikasihani.
Mama punya anak sudah sudi. Punya kasih.
Cuma bangga walau anak tiri.
Anak menyesal setengah mati.
Sebab mama telah meninggali.
Mama dengan rapuhnya penuh kasih.
Tapi anak tiri, pandai tak tahu diri.
Palu, 17 Agustus 2022
Nenek Banci
Alegori nenek banci mendongeng.
Pulau belantara tumbuh dan kumbang.
Pohon punya roh, dan tenaga kuat segala.
Belum satu apalagi ber-2.
Timur masuk ramah.
Barat tanak bertiga.
Empunya berlebih padi, beras bergerigi mungil.
Ke-1 lalu kedua.
Muncul mata siput berhitung.
Timbul hidung moncong ngeong.
Tampak dagu hudhud gonggong.
Tuannya diserbu seribu satu debu di kolong.
Alegori kakek banci berdendang.
Manusia kumbang dan kembang.
Pohon tak punya roh kini dan tenaga tak punya segala.
Berhitung ngeong gonggong.
Semua menanam benih, panen entah kapan padi beras bergerigi mungil.
Alegori anak banci melakonkan.
Beras bergerigi sedikit hebat menggigit.
Padi dipanen tak punya hasil berlebih.
Yang punya, menggigil api.
Alegori cucu banci menonton.
Kucuran darah, berdarah-darah.
Tulang-belulang tak pulang-pulang.
Sadar sudah, mulai ramah seirama.
Sabar sudah, mulai bertiga, berempat lahir.
Alegori cicit banci menangis biji darah.
Bangkit.
Telah mengulik, terdidik sampai.
Bebas.
Lepas hampir seluruh, maklum selesai.
Alegori piut banci terpingkal-pingkal nanah.
Tua.
Ubah, hampir kiri menjadi-jadi.
Muda.
Kembali, kanan atau tengah masih tanya bertanda.
Alegori kita perut nusa dan nisan.
Kini.
Tegas cepat berubah.
Rumahi buyut apa kabar?
Palu 11 September 2022
"Punya Tani"
Semua Tani punya.
Tani punya ladang.
Tani punya tebu.
Tani punya arit.
Tani punya rumah.
Tani punya gerak.
Tani punya palu.
Ladang tetap ladang, habis juga digarap masal.
Rumah tetap rumah, reyot pula dimakan rayap.
Perihal perseteruan ladang.
Awal jadi tanah sengketa sekata.
Gandrung akan petaka serakah.
Mengenai tanaman tebu.
Akhir jadi pekat pahit, padahal madu.
Gentas dihabisi melulu.
Tani punya tangan.
Tani punya kaki.
Tangan Tani mengetuk kaki kiri.
Kaki Tani menyabit tangan kanan.
Tani punya kaki cacat kiri.
Tani punya tangan buntung kanan.
Tani punya kepala menoleh kiri.
Berbedaan, beranjak lari sendiri.
Tani punya mata melihat kanan.
Bersamaan, bergerak gerombongan.
Mukim di sana, ke rumah raja.
Sebab Tani punya rumah tak lagi ramah.
Turun jajah siapa saja.
Sebab Tani punya tebu tak lagi tumbuh, hilang manis hambar rasa.
Punya tani semaunya!
Palu, Agustus 2022
Sajak Tuan
Sajak-sajak tak bertuan.
Berseliweran membentur 1001 bebatuan.
Pertengahan tahun jadi jajan bulan-bulanan.
Anak-anak Tani masuk ke gudang raja tanpa pamitan.
Tunggu saja di rumah, sebentar lagi sajak-sajak itu punya Tuan!
Kini kita akan menghadap,
membawa benar dan kebenaran,
akar keresahan dari Tani punya Anak yang telanjang kepayahan.
Pasang kaki kuat-kuat, buhul dengan kain kafan.
Kepalkan, lalu angkat tangan kiri kalian,
lawan sampai mereka menuju pekuburan.
Besok kita akan buktikan!
Kita anak Tani. Tani bukan anak Tiri.
Kebenaran Abadi!
Palu, 24 Agustus 2022