: untuk warga Bukit Duri
Tanah itu masih muda ketika para buyut lahir. Sebidang tanah di sisi sungai besar dengan bau segar yang khas dari ilalang basah. Kini, tanah itu sarat aroma deterjen. Tapi masih saja, anak-anak muda di sisian kali suka bernyanyi riang. Mereka bersenandung pagi-pagi, ketika hendak menuju jamban umum.
Tanah kadang becek. Mereka menempel di sela jempol dan telunjuk kaki siapa saja. Itu membuat mandi menjadi terasa betul gunanya. Ketika pepohonan rindang masih padat membujur di tepian kali, tanah merah basah sulit kering karena tertutup bayang-bayang rimbun. Kini basahnya tanah makin cepat kering.
Tepat ketika hamparan tanah merah mengering, Abdul bangun dari tidur usai sembahyang subuh. Kerut-kerut nikmat hadir di geliatnya. Tercenung sejenak, ia ingat sesuatu.
"Wangsit!" Ujarnya setengah teriak.
"Wangsit apaan?" Ibunya dari balik etalase merapikan tempe goreng yang sebelumnya menggunduk tak beraturan di atas piring.
"Di mimpi tadi, ada dermawan akan datang ke sini."
"Siapa?"
"Mukanya buram. Pokoknya dermawan. Dia baik hatinya. Kelebihan kasih sayang, kelebihan uang juga. Dia akan datang sebentar lagi. Mau membantu kita, masyarakat yang digusur rumahnya."
"Nikmat sekali mimpimu. Bantu apa dia?"
"Kasih rumah, kasih uang, harta, segala...."
"Nikmat sekali."
"Mimpi lu!" Tamim bersandar di ujung pintu. Ia mencibir.
"Iya, memang mimpi, tapi sepertinya ini wangsit dari Yang Maha Kuasa! Gue yakin sekali!" Abdul balik mencibir.
Nikmat yang dibawa Abdul itu sudah lama dinanti oleh para perantau. Mereka datang dari berbagai pelosok tanah Jawa, menetap lama, berkeluarga di tepian kali. Rumah-rumah semakin padat. Ketika aroma tepian kali menjadi beragam dan makin menusuk, dunia mendadak warna-warni. Keadaan itu membuat Abdul menjadi paranoia. Ia jadi sering mendapat mimpi menyeramkan tentang peristiwa yang akan merenggut pelangi milik mereka.
"Dul, tumben banget mimpi lu indah."
"Itu kenapa gue yakin, mimpi tadi teh wangsit! Dermawan itu pasti datang."
Yadi, ketua RT 6 datang dengan nafas memburu. Matanya mendelik ketika mendengar seorang pendatang dibicarakan secara antusias di warung makan. Tak seorang pun boleh masuk kampung tanpa sepengetahuan ketua RT.
"Tamu 1x24 jam wajib lapor. Empat periode nggak ada yang berani langgar pak ketua. Siapa yang bakal datang?" Ia memelintir pisang muli dari sisirnya.
"Seorang dermawan, pak!" Abdul menyeringai. Ia lalu menggeliat lagi. Gelagatnya seolah menyiapkan diri menghadapi peristiwa penting.
"Siapa, Dul?"
"Nih, pak, pokoknya ada dermawan akan datang. Orangnya baik. Penyayang, kaya raya, dan yang penting, mau membantu kita."
"Bantuan apa?"
"Lha kan sosialisasi dari kelurahan sudah turun. Bapak nggak butuh bantuan? Siap terima SP 1?"
"Iya, bantuan seperti apa?" Yadi dibuat Abdul gusar.
"Pembangunan rumah kita. Ditata rapi supaya lebih teratur. Bebas banjir. Di sana tuh..." Telunjuk tangan kanan Abdul menunjuk ke arah pasar berdiri.
"Nggak jauh-jauh dari tanah buyut kita ini." Lanjutnya.
"Siapa, Dul? Orang partai? Calon gubernur? Tahu bener lu."
"Bukan. Dia bukan antek siapa-siapa. Dia cuma orang yang baik sekali hatinya."
"Hati-hati sama mulutnya. Dia sedang mengigau tuh." Ibunya berteriak di antara desis minyak goreng yang menenggelamkan kentang potong dadu.
"Ini wangsit!" Abdul berani bersikukuh.
"Hei. Hati-hati. Si Abdul ini cuma mimpi di siang bolong!" Tamim melepaskan selonjorannya di atas kursi dan beranjak.
"Pulang, Mpok. Kembaliannya simpen aja, buat besok." Tamim melambaikan tangan. Wajahnya prihatin pada Abdul yang menerawang sambil menyeringai.
"Lu nggak bisa gitu, Dul. Tamu yang datang, wajib lapor." Kepala Yadi menggeleng-geleng sambil tersenyum. Sulit menerka rasa apa yang ada di balik senyum itu.
"Badannya tegap dan berwibawa, pak. Dia gagah berani melawan segala kepentingan dari kanan dan kiri. Dia datang untuk membantu orang-orang terpinggirkan yang tidak dihargai. Ya, kita ini. Pokoknya, tunggu saja, ketika dia datang, kalian bakal percaya gue. Makanya, dari sekarang, siapkan diri kalian."
"Menyiapkan apa? Gue kan ketua RT. Empat periode!"
"Ya, bapak minta apa? Dia akan bersedia jika itu baik untuk hidup kita semua, karena dia kaya raya dan baik hati."
Separuh hari berlalu. Cerita tentang sang dermawan sudah menyebar ke tiga RT. Sang dermawan membuat warga bantaran kali lupa diri. Yadi, ketua RT 6 meninggalkan Abdul yang dikelilingi warga hingga warung makan penuh. Mereka berdesakan. Lupa mandi, hanya sempat menyeka peluh dan memelintir daki leher di ujung jemari.
Yadi tak lupa mandi. Ia hanya tak ingin. Malam berangin besar itu, ia berjalan di daerah yang dikenalnya betul sejak orok. Yadi merapatkan kancing paling atas kemeja miliknya. Angin membuatnya berpotensi masuk angin. Dalam diri Yadi, emosi besar tertanam. Ada gemuruh pelan di dalam dada. Tapi ia diam saja. Ia memperhatikan lampu-lampu menyala yang menembus tirai rumah-rumah kayu. Saban hari begitu, biasanya banyak yang membuka lebar pintu rumahnya. Namun malam membuat orang enggan bersentuhan langsung dengan malam. Jadilah Yadi berjalan dalam hening.
Rumah-rumah yang dilewati Yadi memancarkan kehangatan. Ia selalu suka berjalan memandangi cahaya yang tempias di air kali. Terutama cahaya yang berasal dari bohlam kuning, yang kata orang lebih boros dibanding neon. Terpikir olehnya berapa lama lagi cahaya-cahaya hangat itu akan bertahan di permukaan air. Mungkin tak lama lagi. Isu penggusuran seluruh pemukiman di bantaran kali tersiar sudah. Banjir memang menghampiri sekali saban setahun. Kota, konon, butuh perbaikan cepat.
Itu mengapa orang-orang di sekitarnya sangat mendamba mukjizat. Mereka berharap dapat tetap menghirup bau air kali di tiap detik dalam sisa hidup. Awalnya tak pernah terbersit dalam benak para buyut untuk memulai hidup di sana. Namun mereka merawat dan mewariskan verponding dengan penuh asih, meski ternyata tetap tak bisa jadi jaminan.
Andai masih hidup para buyut di bantaran sungai, tak akan rela hati mereka jika surat-surat keramat itu ditukar dengan unit mewah di gedung bertingkat.
"Kamu, apa rencanamu nanti setelah sang dermawan datang?" Perbincangan tentang sosok impian itu mengalir terus di warung nasi. Warga memutar isu yang itu-itu saja.
"Saya mau minta pekerjaan baru."
"Saya mau minta tolong dia untuk membangun rumah yang aman buat anak-anak saya. Di sini, di tempat ini." Yadi mengingat kembali cerita kakaknya yang sudah lebih dulu digusur rumahnya. Kini ia menetap di rumah susun tanpa dapur yang jauh dari tempat kerja dan sekolah keempat anaknya. Ia dan tetangga akrabnya terpisah jauh disela lift dan tangga-tangga licin. Cerita macam itu membuat warga jadi banyak maunya.
Di masa-masa kepemimpinannya, Yadi disodori banyak harapan. Oleh partai politik hingga LSM. Ketika Abdul terbangun dengan wangsitnya, Yadi tahu bahwa tak ada yang perlu diambil hati. Hanya saja Yadi menjadi khawatir. Ia khawatir tentang nasib dirinya, warganya, juga kota besar itu. Ketika ada banyak orang mengalami ketertindasan demi pembangunan seperti dirinya, ia khawatir semakin banyak orang yang menyimpan dendam. Dendam tentu bukan hal baik untuk dirawat dalam hati. Bisa-bisa meledak karena tak terkatakan. Hendak dikatakan pun, tak ada yang mau mendengar.
Ketika kakek Yadi bercerita tentang masa kecilnya di bantaran, tak pernah luput pula kisah tentang rentetan pohon trembesi yang disayang bak anak kandung. Di bawah rimbunnya, sampah plastik dan sisa makanan diolah. Merawat dan membangun tanah itu adalah kepiawaian warga sejak dulu. Warga di bantaran kali bergerak dalam senyap. Tanpa ribut, sanggup mengadabkan diri sendiri.
Lama-lama, trembesi mulai ditebang, dialog di kota pun hilang. Hubungan antar-manusia, kebebasan, inklusivitas, perlahan kikis. Pembangunan pun hanya berjalan searah. Sama dengan para trembesi, warga kota di bantaran kali tercerabut dari tanahnya sendiri. Sungai dan kehidupan di pinggirannya---flora, fauna, dan manusia---seakan tanpa jiwa.
Yadi masih berkutat dengan pikirannya ketika memutuskan pulang. Ia ingin segera memeluk istri dan anak-anaknya. Ia ingin memeluk mereka lebih kuat daripada bayang-bayang militer, ekskavator, serta bulldozer.
Sementara itu, di warung nasi, beberapa warga masih berkumpul. Mereka tidur di sana diselimuti sarung aus dan harapan indah tentang rumah-rumah rapi di bantaran kali.
Esok harinya, mereka bangun tepat saat adzan pertama berkumandang. Yadi tak di situ. Kalaupun ia berada di warung nasi, ia takkan siap menghadapi mimpi Abdul yang ternyata segelap dan sedingin pagi.
"Sebentar lagi itu kapan, Dul?" Perbincangan mulai terarah lagi.
"Sebentar lagi, tunggu saja. Pasti orang itu datang. Mungkin dia terjebak macet. Mungkin juga dia sedang tidak sehat. Mungkin..."
"Mungkin juga kalian terlalu putus harapan, sehingga percaya pada mimpi." Tamim angkat bicara.
"Sudah bertemu dua siang, menunggu melulu. Saya sih untung karena warung jadi ramai, tapi ini menyedihkan!" Ibunda Abdul mengocek teh manis dalam gelas. Butir-butir gula mengambang, lalu sama sekali lenyap berpadu air panas.
"Gimana sih kamu bisa tahu bahwa sang dermawan itu bakal datang?"
"Kemarin siang, gue mimpi." Mata Abdul menerawang ke air kali yang menghantarkan kumpulan busa ke hilir.
"Ya, semua orang pernah dapat mimpi. Katamu, itu wangsit?" Tamim mengangkat alisnya. Ia tahu ada keruh di balik bening mimpi Abdul.
"Mungkin wangsit." Abdul tertunduk. Ada sesuatu yang tetiba menekan dadanya.
"Mungkin? Jadi semuanya cuma mungkin? Jadi, orang baik itu tidak jadi datang?" Seorang ibu tua bersandar di ambang pintu sambil menariki rambut putihnya pelan. Yadi mengangkat dagunya. Menengadah.
"Bukan cuma tidak jadi datang..." Tamim angkat bicara. Suasana senyap.
"Saya sih ragu bisa ada orang sesempurna dalam mimpi si Abdul. Sebaik itu, orang atau nabi?"
"Tidak jelas orang atau nabi, kok ditunggu terus? Seperti ayam saja mengeram di mari." Tamim tersenyum sinis.
"Tapi mimpi itu begitu nyata. Itu seperti petunjuk gaib." Abdul berkilah.
Yadi sudah lama datang, diam-diam di ambang pintu. Yadi meringis. Alisnya naik sebelah. Orang-orang di sekitarnya ikut tertawa dengan kerut di kening yang teramat pedih.
Tidak tersisa tanah becek siang itu. Tanah yang usianya berkali lipat usia manusia-manusia bantaran kali itu semakin terasa renta. Bukan karena ia masih muda ketika para buyut lahir, tapi karena pembangunan telah membuat mereka jadi asing. Pun tak berdaya.
Malam itu warung nasi di bantaran kali sepi. Bulan purnama tidak jadi jatuh ke pelukan warga bantaran kali, tapi paling tidak, cahayanya memantul di permukaan air yang coklat dan kotor. Sebentar lagi, demi pembangunan, air itu akan berubah bening karena revitalisasi. Tak ada lagi hunian lapuk. Beton sama rata dari ujung ke ujung. Demi pembangunan, Yadi dan warga bantaran kali terpisah dari arwah para buyut.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H