"Lu nggak bisa gitu, Dul. Tamu yang datang, wajib lapor." Kepala Yadi menggeleng-geleng sambil tersenyum. Sulit menerka rasa apa yang ada di balik senyum itu.
"Badannya tegap dan berwibawa, pak. Dia gagah berani melawan segala kepentingan dari kanan dan kiri. Dia datang untuk membantu orang-orang terpinggirkan yang tidak dihargai. Ya, kita ini. Pokoknya, tunggu saja, ketika dia datang, kalian bakal percaya gue. Makanya, dari sekarang, siapkan diri kalian."
"Menyiapkan apa? Gue kan ketua RT. Empat periode!"
"Ya, bapak minta apa? Dia akan bersedia jika itu baik untuk hidup kita semua, karena dia kaya raya dan baik hati."
Separuh hari berlalu. Cerita tentang sang dermawan sudah menyebar ke tiga RT. Sang dermawan membuat warga bantaran kali lupa diri. Yadi, ketua RT 6 meninggalkan Abdul yang dikelilingi warga hingga warung makan penuh. Mereka berdesakan. Lupa mandi, hanya sempat menyeka peluh dan memelintir daki leher di ujung jemari.
Yadi tak lupa mandi. Ia hanya tak ingin. Malam berangin besar itu, ia berjalan di daerah yang dikenalnya betul sejak orok. Yadi merapatkan kancing paling atas kemeja miliknya. Angin membuatnya berpotensi masuk angin. Dalam diri Yadi, emosi besar tertanam. Ada gemuruh pelan di dalam dada. Tapi ia diam saja. Ia memperhatikan lampu-lampu menyala yang menembus tirai rumah-rumah kayu. Saban hari begitu, biasanya banyak yang membuka lebar pintu rumahnya. Namun malam membuat orang enggan bersentuhan langsung dengan malam. Jadilah Yadi berjalan dalam hening.
Rumah-rumah yang dilewati Yadi memancarkan kehangatan. Ia selalu suka berjalan memandangi cahaya yang tempias di air kali. Terutama cahaya yang berasal dari bohlam kuning, yang kata orang lebih boros dibanding neon. Terpikir olehnya berapa lama lagi cahaya-cahaya hangat itu akan bertahan di permukaan air. Mungkin tak lama lagi. Isu penggusuran seluruh pemukiman di bantaran kali tersiar sudah. Banjir memang menghampiri sekali saban setahun. Kota, konon, butuh perbaikan cepat.
Itu mengapa orang-orang di sekitarnya sangat mendamba mukjizat. Mereka berharap dapat tetap menghirup bau air kali di tiap detik dalam sisa hidup. Awalnya tak pernah terbersit dalam benak para buyut untuk memulai hidup di sana. Namun mereka merawat dan mewariskan verponding dengan penuh asih, meski ternyata tetap tak bisa jadi jaminan.
Andai masih hidup para buyut di bantaran sungai, tak akan rela hati mereka jika surat-surat keramat itu ditukar dengan unit mewah di gedung bertingkat.
"Kamu, apa rencanamu nanti setelah sang dermawan datang?" Perbincangan tentang sosok impian itu mengalir terus di warung nasi. Warga memutar isu yang itu-itu saja.
"Saya mau minta pekerjaan baru."