"Nikmat sekali."
"Mimpi lu!" Tamim bersandar di ujung pintu. Ia mencibir.
"Iya, memang mimpi, tapi sepertinya ini wangsit dari Yang Maha Kuasa! Gue yakin sekali!" Abdul balik mencibir.
Nikmat yang dibawa Abdul itu sudah lama dinanti oleh para perantau. Mereka datang dari berbagai pelosok tanah Jawa, menetap lama, berkeluarga di tepian kali. Rumah-rumah semakin padat. Ketika aroma tepian kali menjadi beragam dan makin menusuk, dunia mendadak warna-warni. Keadaan itu membuat Abdul menjadi paranoia. Ia jadi sering mendapat mimpi menyeramkan tentang peristiwa yang akan merenggut pelangi milik mereka.
"Dul, tumben banget mimpi lu indah."
"Itu kenapa gue yakin, mimpi tadi teh wangsit! Dermawan itu pasti datang."
Yadi, ketua RT 6 datang dengan nafas memburu. Matanya mendelik ketika mendengar seorang pendatang dibicarakan secara antusias di warung makan. Tak seorang pun boleh masuk kampung tanpa sepengetahuan ketua RT.
"Tamu 1x24 jam wajib lapor. Empat periode nggak ada yang berani langgar pak ketua. Siapa yang bakal datang?" Ia memelintir pisang muli dari sisirnya.
"Seorang dermawan, pak!" Abdul menyeringai. Ia lalu menggeliat lagi. Gelagatnya seolah menyiapkan diri menghadapi peristiwa penting.
"Siapa, Dul?"
"Nih, pak, pokoknya ada dermawan akan datang. Orangnya baik. Penyayang, kaya raya, dan yang penting, mau membantu kita."