"Bantuan apa?"
"Lha kan sosialisasi dari kelurahan sudah turun. Bapak nggak butuh bantuan? Siap terima SP 1?"
"Iya, bantuan seperti apa?" Yadi dibuat Abdul gusar.
"Pembangunan rumah kita. Ditata rapi supaya lebih teratur. Bebas banjir. Di sana tuh..." Telunjuk tangan kanan Abdul menunjuk ke arah pasar berdiri.
"Nggak jauh-jauh dari tanah buyut kita ini." Lanjutnya.
"Siapa, Dul? Orang partai? Calon gubernur? Tahu bener lu."
"Bukan. Dia bukan antek siapa-siapa. Dia cuma orang yang baik sekali hatinya."
"Hati-hati sama mulutnya. Dia sedang mengigau tuh." Ibunya berteriak di antara desis minyak goreng yang menenggelamkan kentang potong dadu.
"Ini wangsit!" Abdul berani bersikukuh.
"Hei. Hati-hati. Si Abdul ini cuma mimpi di siang bolong!" Tamim melepaskan selonjorannya di atas kursi dan beranjak.
"Pulang, Mpok. Kembaliannya simpen aja, buat besok." Tamim melambaikan tangan. Wajahnya prihatin pada Abdul yang menerawang sambil menyeringai.