"Gimana sih kamu bisa tahu bahwa sang dermawan itu bakal datang?"
"Kemarin siang, gue mimpi." Mata Abdul menerawang ke air kali yang menghantarkan kumpulan busa ke hilir.
"Ya, semua orang pernah dapat mimpi. Katamu, itu wangsit?" Tamim mengangkat alisnya. Ia tahu ada keruh di balik bening mimpi Abdul.
"Mungkin wangsit." Abdul tertunduk. Ada sesuatu yang tetiba menekan dadanya.
"Mungkin? Jadi semuanya cuma mungkin? Jadi, orang baik itu tidak jadi datang?" Seorang ibu tua bersandar di ambang pintu sambil menariki rambut putihnya pelan. Yadi mengangkat dagunya. Menengadah.
"Bukan cuma tidak jadi datang..." Tamim angkat bicara. Suasana senyap.
"Saya sih ragu bisa ada orang sesempurna dalam mimpi si Abdul. Sebaik itu, orang atau nabi?"
"Tidak jelas orang atau nabi, kok ditunggu terus? Seperti ayam saja mengeram di mari." Tamim tersenyum sinis.
"Tapi mimpi itu begitu nyata. Itu seperti petunjuk gaib." Abdul berkilah.
Yadi sudah lama datang, diam-diam di ambang pintu. Yadi meringis. Alisnya naik sebelah. Orang-orang di sekitarnya ikut tertawa dengan kerut di kening yang teramat pedih.
Tidak tersisa tanah becek siang itu. Tanah yang usianya berkali lipat usia manusia-manusia bantaran kali itu semakin terasa renta. Bukan karena ia masih muda ketika para buyut lahir, tapi karena pembangunan telah membuat mereka jadi asing. Pun tak berdaya.