Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Tanah Para Buyut

12 Juli 2017   11:15 Diperbarui: 12 Juli 2017   18:06 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya mau minta tolong dia untuk membangun rumah yang aman buat anak-anak saya. Di sini, di tempat ini." Yadi mengingat kembali cerita kakaknya yang sudah lebih dulu digusur rumahnya. Kini ia menetap di rumah susun tanpa dapur yang jauh dari tempat kerja dan sekolah keempat anaknya. Ia dan tetangga akrabnya terpisah jauh disela lift dan tangga-tangga licin. Cerita macam itu membuat warga jadi banyak maunya.

Di masa-masa kepemimpinannya, Yadi disodori banyak harapan. Oleh partai politik hingga LSM. Ketika Abdul terbangun dengan wangsitnya, Yadi tahu bahwa tak ada yang perlu diambil hati. Hanya saja Yadi menjadi khawatir. Ia khawatir tentang nasib dirinya, warganya, juga kota besar itu. Ketika ada banyak orang mengalami ketertindasan demi pembangunan seperti dirinya, ia khawatir semakin banyak orang yang menyimpan dendam. Dendam tentu bukan hal baik untuk dirawat dalam hati. Bisa-bisa meledak karena tak terkatakan. Hendak dikatakan pun, tak ada yang mau mendengar.

Ketika kakek Yadi bercerita tentang masa kecilnya di bantaran, tak pernah luput pula kisah tentang rentetan pohon trembesi yang disayang bak anak kandung. Di bawah rimbunnya, sampah plastik dan sisa makanan diolah. Merawat dan membangun tanah itu adalah kepiawaian warga sejak dulu. Warga di bantaran kali bergerak dalam senyap. Tanpa ribut, sanggup mengadabkan diri sendiri.

Lama-lama, trembesi mulai ditebang, dialog di kota pun hilang. Hubungan antar-manusia, kebebasan, inklusivitas, perlahan kikis. Pembangunan pun hanya berjalan searah. Sama dengan para trembesi, warga kota di bantaran kali tercerabut dari tanahnya sendiri. Sungai dan kehidupan di pinggirannya---flora, fauna, dan manusia---seakan tanpa jiwa.

Yadi masih berkutat dengan pikirannya ketika memutuskan pulang. Ia ingin segera memeluk istri dan anak-anaknya. Ia ingin memeluk mereka lebih kuat daripada bayang-bayang militer, ekskavator, serta bulldozer.

Sementara itu, di warung nasi, beberapa warga masih berkumpul. Mereka tidur di sana diselimuti sarung aus dan harapan indah tentang rumah-rumah rapi di bantaran kali.

Esok harinya, mereka bangun tepat saat adzan pertama berkumandang. Yadi tak di situ. Kalaupun ia berada di warung nasi, ia takkan siap menghadapi mimpi Abdul yang ternyata segelap dan sedingin pagi.

"Sebentar lagi itu kapan, Dul?" Perbincangan mulai terarah lagi.

"Sebentar lagi, tunggu saja. Pasti orang itu datang. Mungkin dia terjebak macet. Mungkin juga dia sedang tidak sehat. Mungkin..."

"Mungkin juga kalian terlalu putus harapan, sehingga percaya pada mimpi." Tamim angkat bicara.

"Sudah bertemu dua siang, menunggu melulu. Saya sih untung karena warung jadi ramai, tapi ini menyedihkan!" Ibunda Abdul mengocek teh manis dalam gelas. Butir-butir gula mengambang, lalu sama sekali lenyap berpadu air panas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun