Mohon tunggu...
A. Dita Febriyanti
A. Dita Febriyanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Gula Jawa; coklat, manis, alami, mudah larut.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Implikasi Teori Lokasi Terhadap Penentuan Lokasi Industri di Kompleks SIER Surabaya

29 April 2012   05:47 Diperbarui: 4 April 2017   17:35 30670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, perkembangan sektor industri di Indonesia  menyebabkan terjadinya percepatan munculnya bangunan industri, penambahan devisa negara, serta mengurangi jumlah pengangguran. Namun, hal tersebut jika tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang kuat, analisa lokasi khususnya lokasi industri yang tepat, maka keberadaan kawasan industri disamping memberikan dampak positif juga akan mempengaruhi potensi, kondisi, dan mutu sumber daya alam dan lingkungan sekitar (Anonim, 1993). Keberadaan sektor industri tersebut tidak terlepas dari pemilihan lokasi yang didasarkan pada teori lokasi yang telah berkembang mulai dari teori klasik, neo-klasik, sampai dengan teori lokasi modern.

Teori lokasi sendiri dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. (Tarigan, 2006:77). Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal (local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input), dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007).

Kota Surabaya, dengan sekian banyak fasilitas yang mendukung industri dan perdagangan sangat potensial untuk tumbuh dan berkembangnya bangunan-bangunan industri. Adapun kawasan industri yang besar di Surabaya adalah kompleks industri SIER yang terletak di Kawasan Rungkut. Dalam hal ini, tahap penentuan lokasi industri yang didasarkan pada teori lokasi menjadi penting karena keberadaan dari sebuah kawasan industri di suatu lokasi dapat berimplikasi pada pemanfaat lahan yang ada di sekitarnya. Selain itu, adanya teori lokasi ini sangat penting untuk dipahami karena suatu lokasi memiliki peranan yang berbeda-beda sehingga penentuan lokasi untuk pelaksanaan suatu peruntukan, misalnya industri, dapat mendorong dan menentukan arah pertumbuhan suatu daerah atau wilayah yang dijadikan lokasi.

1.2 Rumusan Masalah

Penentuan lokasi industri di kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) tidak serta merta langsung didirikan disana, tetapi juga melalui beberapa analisa, baik dari segi kedekatan dengan bahan baku, kedekatan dengan pusat kota, dan lain sebagainya. Adapun hal-hal yang ingin dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.    Apa saja yang menjadi dasar-dasar teori penentu lokasi industri?

2.    Apa sajakah faktor-faktor yang menjadi kriteria penentuan lokasi suatu industri?

3.    Bagaimanakah implikasi teori lokasi industri terhadap penentuan lokasi industri di kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER)?

1.3 Tujuan dan Sasaran Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk meneliti teori lokasi manakah  yang menjadi acuan penentuan lokasi industri di kawasan industri SIER.

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka sasaran yang ingin dicapai diantaranya yaitu:

1.    Penjelasan mengenai berbagai teori yang menentukan lokasi industri.

2.    Identifikasi faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan pemilihan lokasi industri di kawasan SIER.

1.4 Ruang Lingkup

1.4.1Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah dalam penulisan makalah ini adalah di Kota Surabaya, Jawa Timur, khususnya kawasan industri di Surabaya Timur (SIER), yakni Kecamatan Rungkut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Peta 1.1.

1.4.2Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup pembahasan dalam penulisan makalah ini adalah mengenai teori lokasi industri dan implikasi teori tersebut terhadap lokasi industri di kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER).

BAB II

KONSEP DASAR TEORI PENENTUAN LOKASI INDUSTRI

Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi  barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir (BPS, 2002). Marpaung dalam Mujiono (1987) menyebutkan bahwa kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.

Teori lokasi adalah Ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki lokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial serta hubungan-nya dengan atau pengaruh-nya terhadap keberadaan berbagai macam usaha / kegiatan lain, baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006:77).

Berdasarkan kedua penjelasan di atas maka dibutuhkan suatu analisis mengenai konsep dasar teori lokasi dalam menentukan lokasi kawasan industri, dimana dengan adanya konsep dasar tersebut  dapat menjadi prinsip dalam pemilihan lokasi yang terbaik dan menguntungkan secara ekonomi bagi industri itu sendiri. Berikut merupakan beberapa pengertian teori lokasi industri yang dikemukakan oleh berbagai pakar, baik secara geografi, ekonomi, maupun keruangan.

2.1 Teori Lokasi Industri

Teori lokasi industri pertama kali diungkapkan oleh ahli ekonom Jerman pada tahun 1929, yakni Alfred Weber. Menurut teori Weber, pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja, dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi.

Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).

Adapun penentuan lokasi terbaik menurut Weber tergantung pada karakter bahan baku yang digunakan, antara lain:

a.    Bahan baku yang tersedia dimana saja.

b.    Bahan baku setempat yang berpengaruh spesifik terhadap lokasi.

c.    Berdasarkan perhitungan Indeks Material (IM) yang menentukan apakah lokasi industri tersebut lebih berorientasi pada bahan baku atau lebih berorientasi pada lokasi pasar.

2.2 Teori Keseimbangan Spasial

Teori keseimbangan spasial dikemukakan oleh August Losch pada tahun 1954 melalui bukunya yang berjudul Economics of Location. Losch menyatakan bahwa lokasi suatu industri didasarkan pada kemampuan untuk menjaring konsumen sebanyak-banyaknya (dalam Ardhian, 2010). Dengan kata lain, konsep dasar teori lokasi industri yang  dikemukakan oleh Losch ini berprinsip pada permintaan pasar (demand) dengan asumsi:

a.    Lokasi optimal suatu pabrik atau industri adalah apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas sehingga dapat dihasilkan pendapatan yang paling besar.

b.    Pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen jika disuplai oleh pusat industri, volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh dari pusat industri, maka volume penjualan barang akan semakin berkurang karena harganya semakin tinggi akibat naiknya ongkos transportasi.

Teori Losch ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri sehingga ditemukan keseimbangan spasial antarlokal. Untuk mencapai keseimbangan tersebut, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.    Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli.

b.    Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata, sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani.

c.    Terdapat free entry dan tidak ada petani yang memperoleh super normal profit sehingga tidak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut.

d.    Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai keuntungan yang maksimum.

e.    Konsumen bersifat indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli dengan harga yang rendah.

Pada akhirnya, luas daerah pasar akan menyempit dan dalam keseimbangannya akan membentuk segienam beraturan. Losch juga menambahkan bahwa jaringan heksagonal tidak memiliki penyebaran yang sama tetapi di sekeliling tempat sentralnya masih ada 6 faktor yang memiliki wilayah yang luas dan 6 faktor yang memiliki wilayah sempit sehingga Losch menggambarkan teorinya tersebut dalam bentuk roda.

2.3 Teori Tempat Pusat

Teori ini dikemukakan oleh Walter Christaller pada tahun 1933 dalam bukunya yang berjudul Central Places In Southern Germany. Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah Tempat pusat (central place) merupakan suatu tempat dimana produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya.  Asumsi-asumsi yang dikemukakan dalam teori Christaller antara lain:

a.    Suatu lokasi yang memiliki permukaan datar yang seragam.

b.    Lokasi tersebut memiliki jumlah penduduk yang merata dan memiliki daya beli yang sama.

c.    Lokasi tersebut mempunyai kesempatan transport dan komunikasi yang merata/gerakan ke segala arah (isotropic surface).

d.    Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak/biaya.

Teori central place ini didasarkan pada prinsip jangkauan (range) dan ambang batas (threshold). Range merupakan jarak jangkauan antara penduduk dan tempat suatu aktivitas pasar yang menjual kebutuhan komoditi atau barang. Misalnya seseorang membeli baju di lokasi pasar tertentu, range-nya adalah jarak antara tempat tinggal orang tersebut dengan pasar lokasi tempat dia membeli baju. Apabila jarak ke pasar lebih jauh dari kemampuan jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka penduduk cenderung akan mencari barang dan jasa ke pasar lain yang lebih dekat. Sedangkan threshold adalah jumlah minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan, yang diperlukan dalam penyebaran penduduk atau konsumen dalam ruang (spatial population distribution).

Dari komponen range dan threshold maka lahir prinsip optimalisasi pasar (market optimizing principle). Prinsip ini antara lain menyebutkan bahwa dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan terbentuk wilayah tempat pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk sekitarnya. Apabila sebuah pusat dalam range dan threshold yang membentuk lingkaran, bertemu dengan pusat yang lain yang juga memiliki range dan threshold tertentu, maka akan terjadi daerah yang bertampalan. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan memiliki kesempatan yang relatif sama untuk pergi ke kedua pusat pasar itu.

Christaller juga menyatakan bahwa sistem tempat pusat membentuk suatu hierarki yang teratur  dimana keteraturan dan hierarki tersebut didasarkan pada prinsip bahwa suatu tempat menyediakan tidak hanya barang dan jasa untuk tingkatannya sendiri, tetapi juga semua barang dan jasa lain yang ordernya lebih rendah. Hierarki tempat pusat menurut teori ini dibedakan menjadi 3, yaitu:

a.    Tempat sentral yang berhierarki 3 (K = 3) merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang bagi daerah sekitarnya atau disebut juga sebagai kasus pasar optimal.

b.    Tempat sentral yang berhierarki 4 (K = 4) merupakan situasi lalu lintas yang optimum yakni daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh oleh tempat sentral senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien.

c.    Tempat sentral yang berhierarki 7 (K = 7) merupakan situasi administratif yang optimum yang mana tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya.

Model Christaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal adalah sebagai berikut:

a.    Mula-mula terbentuk areal perdagangan suatu komoditas berbentuk lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas tersebut.

b.    Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.

c.    Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih.

d.    Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri. Dengan menggunakan k = 3, maka barang orde I memiliki lebar heksagonal 3 kali heksagonal barang orde II, dan seterusnya. Heksagonal yang sama besarnya tidak akan tumpang tindih tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih.

2.4 Teori Biaya Minimum dan Ketergantungan Lokasi

Teori biaya minimum dan ketergantungan lokasi (Theory Least Cost and Place Interdependence) dikemukakan oleh Melvin Greenhut pada tahun 1956 dalam bukunya Plant Location in Theory and in Practice dan Microeconomics and The Space Economy. Greenhut berusaha menyatukan teori lokasi biaya minimum dengan teori ketergantungan lokasi yang mana dalam teori tersebut mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

a.    Biaya lokasi yang meliputi biaya angkutan, tenaga dan pengelolaan

b.    Faktor lokasi yang berhubungan dengan permintaan, yaitu ketergantungan lokasi dan usaha untuk menguasai pasar.

c.    Faktor yang menurunkan biaya

d.    Faktor yang meningkatkan pendapatan.

e.    Faktor pribadi yang berpengaruh terhadap penurunan biaya dan peningkatan pendapatan.

f.     Pertimbangan pribadi

2.5 Kerangka Substitusi Isard

Teori ini dikemukakan oleh Walter Isard (1956) yang mengembangkan logika teori dasar Weber dengan menempatkan teori tersebut dalam konteks analisis substitusi sehingga menjadi alat peramal yang tangguh (robust) namun sederhana. Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi dapat terjadi di titik-titik sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku dengan pasar jika bahan baku setempat adalah murni sehingga terdapat dua variabel, yaitu jarak dari pasar dan jarak dari sumber bahan baku. Hubungan kedua variabel tersebut dapat diplotkan dalam bentuk grafik dimana garis yang menghubungkan antara sumber bahan baku dan pasar adalah tempat kedudukan titik-titik kombinasi antara bahan baku dan pasar yang bersifat substitusi. Apabila ditambah lagi satu variabel baru yakni penggunaan bahan baku kedua kedalam input produksi, maka terdapat 3 set hubungan substitusi.

Alasan mengapa istilah satu variabel dibuat tetap hanyalah untuk mempermudah pembuatan grafik dua dimensi. Penyelesaian masalah dalam penentuan lokasi dapat dilihat secara bertahap melalui pasangan-pasangan dua sudut dari segitiga tersebut. Titik biaya terendah diperoleh dengan mengidentifikasikan titik dimana jarak tempuh total adalah terendah di setiap pasangan garis transformasi sehingga jarak parsial dapat digunakan untuk menentukan lokasi optimal. Jadi, lokasi optimal adalah lokasi dengan biaya transportasi beberapa substitusi lokasi yang paling rendah.

2.6 Kurva Biaya Ruang

Teori ini dikemukakan oleh Smith yang merupakan penggabungan metode substitusi Isard dengan metode isodapane (garis yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai biaya transportasi yang sama dari seluruh unit produksi yang tetap) Weber dimana dalam teori ini terdapat dua tahap, yakni:

a.    Memplotkan isotim (garis yang menunjukkan titik-titik biaya transportasi yang sama pada setiap bahan baku/material dan produk akhir) di setiap bagian supply atau titik pasar. Hal ini menggambarkan bahwa biaya transportasi setiap komponen secara individual akan meningkat jika jarak dari titik biaya terendah meningkat sehingga isotim merupakan garis yang konsentris terhadap titik lokasi (pasar dan bahan baku).

b.    Menjumlahkan biaya transportasi pengumpulan bahan baku dan pengangkutan produk akhir ke pasar yang mana perpotongan antara titik-titik biaya pada lingkaran isotim menunjukkan total biaya yang sama disebut sebagai isodapane.

Jika terdapat titik yang unik di bagian dasar dari permukaan biaya, titik tersebut merupakan titik biaya transportasi terendah berdasarkan asumsi yang dibuat yaitu bobot bahan baku bergerak, transportasi tidak seragam. Bagi Smith, isodapane diinterpretasikan sebagai isopleth dari biaya atau kontur biaya yang sama selain biaya transportasi. Ada dua konsep penting menurut Smith, yaitu:

a.    Kurva biaya ruang yang sederhana merupakan bagian yang menggambarkan peta kontur biaya yang mana titik terendah dari kurva tersebut adalah lokasi dengan biaya terendah.

b.    Kurva biaya yang diturunkan merupakan spatial margin to profitability. Harga produk diasumsikan dijual pada harga konstan di dalam ruang. Pada beberapa titik di permukaan biaya total akan merupakan suatu kontur yang berkaitan dengan harganya. Keuntungan ataupun kerugian di dalam ruang dapat dilihat dari besarnya biaya. Apabila suatu lokasi biayanya melebihi level harga pengiriman berarti terjadi kerugian, begitu juga sebaliknya.

BAB III

PEMBAHASAN

Wilayah studi yang digunakan dalam makalah ini adalah kawasan industri SIER yang terletak di Rungkut. Kawasan industri SIER merupakan perseroan atau badan usaha milik negara (BUMN) yang didirikan pada tanggal 28 Februari 1974, dengan proporsi saham 50% dimiliki oleh Pemerintah Pusat RI, 25% Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur, dan 25% Pemerintah Daerah Tingkat II Surabaya. Kawasan industri ini merupakan salah satu dari kawasan industri yang dapat menyelesaikan pembebasan tanahnya.

Jenis-jenis industri yang diperbolehkan masuk adalah jenis industri ringan (besar, menengah dan kecil) dengan syarat terlebih dahulu mendapatkan izin persetujuan dari instansi berwenang (Dinas Perindustrian dan Perdagangan, BKPM, Pemda, dsb) serta memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh PT. SIER.

Kawasan Industri SIER memiliki luas lahan sebesar ± 298.51 Ha. Penggunaan lahan di kompleks SIER mayoritas digunakan untuk industri dan pergudangan yakni sebesar 187,2 (RTRK Kawasan SIER). SIER sendiri terletak di Kecamatan Rungkut, Tenggilis Mejoyo dan Gunung Anyar dengan batas-batas administrasi sebagai berikut:

Sebelah Utara      :  Kelurahan Kendangsari dan Kali Rungkut

Sebelah Selatan   :  Kabupaten Sidoarjo

Sebelah Barat      :  Kecamatan Tenggilis Mejoyo (Kelurahan Kutisari dan Kendangsari)

Sebelah Timur     : Kecamatan Rungkut (Rungkut Kidul dan Rungkut Tengah) dan  Kecamatan  Gunung Anyar (Rungkut Menanggal).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Peta 3.1 Penggunaan Lahan Kawasan SIER.

3.1    Alasan Pemilihan Lokasi

Propinsi Jawa Timur terbilang strategis jika ditilik dari lokasi kawasan industri SIER. Propinsi paling timur di Pulau Jawa ini kerap disebut sebagai jembatan penghubung dengan Indonesia bagian timur dengan aktivitas yang tampak di penyeberangan lalu lintas bahari tujuan Bali dan Kalimantan, yakni di pelabuhan Ketapang.

Pada tahun 1974, perkembangan Kota Surabaya masih ke arah utara dan selatan, Kawasan Rungkut yang berada pada Surabaya Timur merupakan kawasan pinggiran yang belum berkembang. Hal inilah yang menjadi pertimbangan awal pemilihan Kawasan Rungkut sebagai kawasan industri oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Selain itu, sebagai kota metropolitan, Surabaya menjadi pusat kegiatan perekonomian di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang jasa, industri, dan perdagangan. Banyak perusahaan besar yang berkantor pusat di Surabaya, seperti PT Sampoerna Tbk, Maspion, Wing's Group, Unilever, dan PT PAL. Kawasan industri di Surabaya yang cukup terkenal salah satunya adalah kawasan industri SIER.

Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasan industri SIER memiliki pengaruh yang besar terhadap kegiatan perekonomian di Kota Surabaya. Dari sinilah timbul suatu ketertarikan untuk meneliti faktor-faktor penentu lokasi industri di kawasan industri SIER dengan menggunakan pendekatan teori-teori pakar terkait penentuan suatu lokasi industri.

3.2 Faktor-faktor Lokasi

Faktor penentu lokasi merupakan kualitas suatu wilayah yang terkait dengan daya tarik wilayah tersebut terhadap keputusan investasi dari calon investor yang sudah ada. Banyak faktor yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan dimanakah seharusnya lokasi industri yang tepat.

Suatu kegiatan yang produktif akan memilih lokasi yang dapat memperoleh input secara efisien. Input tersebut tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga berbentuk jasa, seperti jasa prasarana dan sarana, institusi pendukung, maupun kualitas sumberdaya manusia (Maryunani, 2003). Adapun faktor-faktor yang diperhatikan dalam memilih lokasi industri menurut Weber dalam Tarigan (2005) adalah:

1. Biaya Transportasi

Biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan jarak sehingga titik terendah untuk biaya transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi. Konsep titik minimum tersebut dinyatakan sebagai segitiga lokasi.

2. Biaya Upah

Produsen cenderung mencari lokasi dengan tingkat upah tenaga kerja yang lebih rendah dalam melakukan aktivitas ekonomi sedangkan tenaga kerja cenderung mencari lokasi dengan konsentrasi upah yang lebih tinggi.

3. Keuntungan dari Konsentrasi Industri Secara Spasial

Konsentrasi spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Hal ini terjadi pada perusahaan/industri yang berlokasi secara berdekatan.

Menurut Djojodipuro (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi industri, adalah:

1. Faktor Endowment

Tersedianya faktor produksi secara kualitatif dan kuantitatif di suatu daerah, berupa tanah (topografi, struktur tanah, cuaca, harga tanah), tenaga dan manajemen (fringe benefit, labour turn over, absenteeism, techno-structure), dan modal (industrial inertia, industrial nursery).

2. Pasar dan Harga

Suatu daerah yang berpenduduk banyak secara potensial perlu diperhatikan. Bila daerah ini disertai pendapatan perkapita yang tinggi, maka pasar tersebut akan menjadi efektif dan semakin meningkat bila disertai dengan distribusi pendapatan yang merata. Luas pasar ditentukan oleh jumlah penduduk, pendapatan perkapita, dan distribusi pendapatan. Pasar mempengaruhi lokasi melalui ciri pasar, biaya distribusi, dan harga yang terdapat di pasar yang bersangkutan. Harga ditentukan oleh biaya produksi dan permintaan (elastisitas dan biaya angkut). CIF (Cost, Insurance, Freight), FOB (Free On Board), dan Basing Point System.

3. Bahan Baku dan Energi

Proses produksi merupakan usaha untuk mentransformasikan bahan baku kedalam hasil akhir yang memiliki nilai lebih tinggi. Jarak antara lokasi pabrik dengan ketersediaan bahan baku mempengaruhi biaya pengangkutan. Beberapa industri karena sifat dan keadaan dari proses pengolahannya mengharuskan untuk menempatkan pabriknya berdekatan dengan sumber bahan baku.

4. Aglomerasi, Keterkaitan Antar Industri, dan Penghematan Ekstern

Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus industri. Beberapa sebab yang memicu terjadinya aglomerasi antara lain:

●    Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut.

●    Suatu perusahaan menjadi daya tarik bagi perusahaan lain.

●    Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil menjadi besar sehingga menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang perusahaan yang membesar tersebut.

●    Perpindahan suatu kegiatan produksi dari satu tempat ke beberapa tempat lain.

●    Perusahaan lain mendekati sumber bahan untuk aktivitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk saling menunjang satu sama lain.

5. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah terkait dengan kawasan industri, kawasan berikat, kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan perdagangan bebas (FTZ).

Menurut Sigit (1987), faktor-faktor yang digunakan sebagai dasar pertimbangan penentuan lokasi industri, antara lain:

1. Pasar

Masalah pasar tidak boleh diabaikan sama sekali karena sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas barang yang diperlukan oleh pasar dan kekuatan daya beli masyarakat akan jenis barang yang diproduksi.

2. Bahan Baku

Bahan baku sangat erat kaitannya dengan faktor biaya produksi. Lokasi perusahaan haruslah di tempat yang biaya bahan baku relatif paling murah.

3. Tenaga Kerja

Tenaga kerja harus diperhatikan terutama bagi perusahaan yang padat karya atau perusahaan yang biaya produksinya terdiri atas biaya tenaga kerja.

4. Transportasi

Letak perusahaan juga ditentukan oleh faktor transportasi yang menghubungkan lokasi dengan pasar, lokasi dengan bahan baku, dan lokasi dengan tenaga kerja.

5. Pelayanan Bisnis

Faktor-faktor sumber tenaga, listrik, air, keadaan iklim, juga fasilitas komunikasi, perbankan, dan pelayanan teknis seperti reparasi juga perlu dipertimbangkan dalam penentuan lokasi.

6. Inducement

Inducement ini seperti pemberian insentif dan disinsentif.

7. Sifat Perusahaan

Sifat perusahaan seperti perusahaan yang menghasilkan barang mudah meledak dan polutan yang berbahaya.

8. Kemungkinan Lain

Kemungkinan lain disini maksudnya seperti bahaya alam seperti banjir, tanah longsor, dan bahaya sosial misalnya tantangan masyarakat.

Sedangkan menurut Greenhut, faktor-faktor penentu lokasi industri, antara lain:

1. Biaya lokasi, meliputi biaya angkutan, tenaga, dan pengelolaan

Greenhut berpendapat bahwa biaya angkutan merupakan faktor yang penting dalam produksi. Apabila berat bahan baku lebih berat dari hasil akhir atau bahan baku bersifat cepat rusak maka lokasi akan berorientasi ke bahan baku. Oleh karena itu, perlu dibedakan dari biaya lain.

2. Faktor lokasi yang berhubungan dengan permintaan, yaitu ketergantungan lokasi dan usaha untuk menguasai pasar

Bila elastisitas harga permintaan tak terhingga perusahaan cenderung berlokasi di tempat konsumen. Hal ini disebabkan karena kenaikan biaya angkutan akan menurunkan permintaan yang besar. Jadi, makin elastisitas permintaan makin cenderung perusahaan mendekati konsumen, perusahaan makin tersebar. Biaya angkutan yang tinggi juga akan mendorong lokasi perusahaan tersebar dan mendekati konsumen. Greenhut membedakan antara oligopoli yang terorganisasi dan yang tidak. Oligopoli yang tidak terorganisasi cenderung menghindari persaingan dan mencari pasar yang aman dengan menjauhi satu sama lain sehingga lokasinya lebih tersebar. Oligopoli yang terorganisasi biasanya bekerja sama dalam berbagai kebijakan sehingga penyebaran tidak lagi merupakan masalah.

3. Faktor yang menurunkan biaya

Faktor yang menurunkan biaya mencakup external economies yang disebabkan oleh aglomerasi. Gejala ini dapat terjadi di kawasan industri. Pada awalnya perusahaan yang berlokasi di kawasan dapat memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada, seperti saluran pembuangan limbah, gardu listrik, telepon, dan lain sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya penghematan ini cenderung meningkat karena ada banyak perusahaan yang berlokasi di tempat itu seperti bank, restoran, juga dari segi perizinan, dan lain sebagainya.

4. Faktor yang meningkatkan pendapatan

Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang mempunyai penduduk yang banyak dan beragam serta didukung oleh pendapatan berkapita yang lebih tinggi dari daerah lain. Hal ini mendorong timbulnya berbagai permintaan barang sehingga merupakan kesempatan bagi perusahaan untuk memperoleh keuntungan. Kesempatan ini tidak mungkin diberikan oleh kota kecil seperti Bangil, Ungaran, dan lain sebagainya. Gejala ini yang disebut unsur-unsur yang berkenaan dengan peningkatan pendapatan yang merupakan agglomeration economies dan berlaku umum bagi perusahaan manapun.

5. Faktor pribadi yang berpengaruh terhadap penurunan biaya dan peningkatan pendapatan

Hubungan pribadi memberikan peluang yang tidak kecil terhadap peningkatan pendapatan.

6. Pertimbangan pribadi

Kadang pertimbangan pribadi tampak bertentangan dengan tingkah laku mengejar keuntungan. Misalnya lokasi pabrik kretek Gudang Garam di Kediri. Di Kediri tidak terdapat tembakau, jadi lokasi tidak berorientasi pada bahan baku. Tenaga pada waktu berdiri juga tidak lebih banyak dan lebih terampil dibandingkan dengan di Blitar, jadi tidak berorientasi pada tenaga. Begitu juga dengan pasar, tidak lebih dari satu persen yang dikonsumsi di Kediri. Lokasi pabrik itu mempunyai arti tersendiri bagi pemiliknya. Oleh karena itu pemiliknya bersedia membayar harga sebagai inputed cost. Gejala demikian tidak sedikit dijumpai dalam lokasi perusahaan atau industri. Bila perusahaan semacam ini berhasil maka dapat memberi kesempatan kerja kepada warga kota dan tetapi juga dari luar kota. Saat ini tenaga kerja di pabrik tersebut sebagian besar berasal dari luar Kediri. Saat ini pabrik tersebut telah labor oriented localized.

Kawasan industri SIER tidak serta merta berdiri begitu saja. Tentunya, pihak pengembang dalam hal ini pemerintah memiliki alasan dalam mengembangkan kawasan industri SIER. Adapun faktor-faktor penentu kawasan industri SIER diantaranya yaitu:

a.    Faktor aksesibilitas; aksesibilitas lokasi kawasan industri SIER sangat tinggi. Hal ini dikarenakan kawasan Rungkut dekat dengan jalan arteri Ahmad Yani Surabaya sehingga memudahkan distribusi industri SIER ke pasar.

b.    Merupakan kawasan yang strategis. Hal ini didukung dengan terealisaisinya jalan tol lingkar timur yang menyebabkan perkembangan industri di SIER sangat strategis. Adanya tol lingkar timur ini menyebabkan aksesibiltas yang tinggi, sehingga meminimumkan biaya pengangkutan bahan baku. Selain itu, adanya tol ini secara tidak langsung membuat sektor industri khusunya di SIER berkembang pesat dan berkontribusi untuk mengembangkan perekonomian di Kota Surabaya.

c.    Faktor ketersediaan fasilitas dan utilitas; beragam fasilitas dan utilitas telah tersedia seperti listrik, pengolahan limbah, air bersih PDAM, tempat ibadah, lapangan olah raga.

d.    Faktor endownment berupa kondisi fisik lahan; wilayah studi merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 2-4 m dari permukaan air laut dengan kemiringan antara 0-8%, sehingga berpotensi untuk pengembangan pembangunan fisik secara merata dengan biaya pembangunan yang relatif murah karena tidak memerlukan pengerukan tanah.

e.    Memiliki nilai lahan yang tinggi; suatu kawasan yang memiliki nilai lahan yang tinggi akan sangat menguntungkan pemerintah daerah tersebut karena apabila suatu kawasan yang memiliki nilai lahan yang tinggi tidak menutup kemungkinan peminat dari lahan tersebut akan banyak dengan pertimbangan dari masing-masing peminatnya. Hal ini dapat memberikan income kepada pemerintah setempat yang lebih tinggi. Kawasan Industri SIER memiliki karakteristik dari penjabaran diatas, terlebih dengan adanya jalan tol lingkar timur.

f.     Sesuai dengan RTRW Kota Surabaya 2013, Kawasan Rungkut di Surabaya Timur ditetapkan sebagai kawasan industri.

g.    Tersedianya akses angkutan umum yang melewati kawasan ini seperti lyn JTK2, H4W, U, dan H4J.

h.    Tenaga kerja semi skilled atau female labour yang mudah didapat

i.      Menghindari pajak yang besar dibandingkan berada di dalam kota

j.      Keberadaan tenaga kerja relatif tinggal berdekatan dengan lokasi industri

k.    Masalah lingkungan relatif lebih mudah diatasi karena populasi penduduk yang lebih sedikit

3.3 Implikasi Teori Lokasi Industri Terhadap Penentuan Lokasi Industri Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER)

Berdasarkan penjabaran dalam bab sebelumnya dijelaskan mengenai 2 teori, yaitu teori yang menjabarkan mengenai konsep dasar teori lokasi industri serta teori yang menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi peletakan lokasi industri yang akan dikaitkan dengan kondisi eksisting lokasi industri di kawasan SIER.

Teori yang sesuai untuk dijadikan landasan bagi peletakan kawasan industri di SIER adalah teori lokasi industri yang dikemukakan oleh Weber. Hal ini dapat dilihat dari penjabaran mengenai teori lokasi industri yang dikemukakan oleh Weber (1929) bahwa:

"Lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja, dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum."


Dalam studi kasus kawasan industri SIER, terlihat bahwa faktor utama yang menjadi pendorong dikembangkannya kawasan industri di daerah ini adalah aksesibilitas kawasan SIER yang tinggi untuk pasar dikarenakan terealisasinya jalan tol lingkar timur. Adanya jalan tol lingkar timur ini dapat membantu dalam pengangkutan bahan baku, sehingga dapat meminimumkan biaya pengangkutan. Selain itu, tersedianya permukiman buruh yang letaknya dekat dengan lokasi industri dapat meminimalisasi biaya tenaga kerja. Berdasarkan penjelasan tersebut keberadaan kawasan industri SIER peletakkannya mengacu pada  teori lokasi industri yang dikemukakan oleh Weber, dimana teori ini berprinsip pada penggunaan biaya minimum.

Pada teori selanjutnya, yakni mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi peletakan lokasi industri, teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa pakar menjadi landasan dalam penentuan kebijakan peletakan suatu kawasan industri yang baik. Faktor peletakan kawasan industri di kompleks SIER sendiri memperlihatkan kecenderungannya pada suatu teori. Penjabaran mengenai implikasi teori mengenai faktor yang mempengaruhi peletakan lokasi industri yang dikaitkan dengan kondisi eksisting lokasi industri di kawasan SIER dapat dilihat pada tabel berikut.

Pakar

Faktor

Pasar

Bahan Baku

Tenaga Kerja

Transportasi

Infrastruktur

Aglomerasi

Kebijakan

Weber

Losch

Christaller

Greenhut

Isard

Smith

Djojodipuro

Sigit

Sumber: Hasil Analisa, 2012


Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi peletakan lokasi industri di kawasan SIER lebih cenderung pada teori yang dikemukakan oleh Melvin Greenhut. Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi peletakan lokasi industri di kawasan SIER baik dari pasar, bahan baku, upah tenaga kerja, transportasi, infrastruktur serta aglomerasi masuk ke dalam teori yang dikemukaan oleh Greenhut. Prinsip teori Greenhut adalah menyatukan teori lokasi biaya minimum dan teori ketergantungan lokasi. Teori lokasi ini mengedepankan banyaknya permintaan sehingga dapat menekan biaya angkutan.

Seperti yang dijelaskan pada sebelumnya, bahwa aksesibilitas kawasan SIER yang tinggi menjadi acuan dalam penentuan lokasi industri di kawasan ini karena terdapat pembangunan jalan tol lingkar timur yang melewati wilayah ini, sehingga meminimumkan biaya pengangkutan bahan baku. Dalam memenuhi kegiatan perindustrian di SIER, tenaga kerja mudah didapat dikarenakan mayoritas dari mereka tinggal berdekatan dengan lokasi industri (adanya permukiman buruh di sekitar SIER). Selain itu, infrastruktur yang ada di kawasan industri SIER telas tersedia dengan lengkap mengingat kawasan ini berdasarkan RTRW Kota Surabaya 2013 memang diperuntukkan sebagai kawasan industri yang pada nantinya pengembangan kawasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap aspek spasial (penggunaan lahan untuk penunjang kegiatan industri: seperti fasilitas pelabuhan baru peti kemas untuk bongkar muat) dan non spasial (sosial, ekonomi: keberadaan pengangguran teratasi dan muncul sektor informal yaitu PKL sebanyak 338 di Rungkut Kidul Industri sebagai kestabilan perputaran uang yang cukup berarti di kalangan masyarakat kelas bawah. (Hasil Penelitian Tentang Profil PKL di Kota Surabaya Balitbang, 2001).

Pasar yang dimaksud dalam tabel di atas adalah adanya permintaan akan jenis barang yang diproduksi baik dari segi kuantitas dan kualitas. Kawasan industri SIER sendiri merupakan kawasan sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Timur. (RTRW Surabaya 2013: III-1), sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa permintaan akan barang-barang industri dari kawasan SIER ini cukup tinggi.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam penulisan makalah ini diantaranya adalah:

a.    Teori penentuan lokasi industri diantaranya adalah teori lokasi yang dikemukakan oleh Alfred Weber (Teori Lokasi Industri), August Losch (Teori Keseimbangan Spasial),  Walter Christaller (Teori Tempat Pusat),  Melvin Greenhut (Teori Biaya Minimum dan Ketergantungan Lokasi), Walter Isard, dan Smith (Kurva Biaya Ruang).

b.    Kompleks industri SIER merupakan perseroan atau badan usaha milik negara (BUMN) yang didirikan pada tanggal 28 Februari 1974. Kawasan ini merupakan salah satu dari 7 kawasan industri yang dikembangkan oleh pemerintah yang mampu menyelesaikan pembebasan tanahnya.

c.    Faktor-faktor yang mempengaruhi peletakan lokasi industri di kompleks SIER adalah faktor aksesibilitas, infrastruktur, kondisi fisik lahan (endownment), ketersediaan tenaga kerjadan transportasi.

d.    Teori yang paling tepat yang mendasari peletakan industri di kompleks SIER adalah teori lokasi industri yang dikemukakan oleh Alfred Weber serta teori yang dikemukakan oleh Melvin Greenhut.

4.2    Lesson Learned

Pembelajaran yang dapat diambil dari pembahasan makalah ini adalah selain adanya faktor pertimbangan pribadi yang dikemukakan oleh Greenhut, kebijakan pemerintah setempat dan kebijakan pemerintah daerah sekitarnya ternyata juga berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan industri di suatu wilayah, apalagi apabila lokasi tersebut wilayah sekitarnya memiliki jumlah penduduk yang relatif cukup besar dan sangat strategis antara lokasi bahan baku dan lokasi pemasaran, sehingga besarnya biaya angkutan dapat diminimumkan. Hal ini tentunya dapat memunculkan banyaknya industri di SIER yang pada nantinya dapat menyerap penduduk di sekitar SIER dan mengurangi angka pengangguran yang ada.

DAFTAR PUSTAKA


Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Adriand, Indra Jaya. 2008. Review Literatur Teori Lokasi dan Pola Ruang (Teori Aglomerasi). Diunduh dari  http://indrajayaadriand.wordpress.com/ pada tanggal 4 April 2012 Pukul 21.15 WIB.

Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Kwanda, Timoticin. 2000. Pengembangan Kawasan Industri di Indonesia. Jurnal Teknik Arsitektur Universitas Kristen Petra Vol. 28 No. 1. Surabaya.

Laporan Akhir Rencana Teknik Ruang Kota Kawasan SIER. 2011. Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang. Surabaya.

Laporan Antara Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Strategis High Industrial Park Brebek Sidoarjo. 2011.

Prihadi, Singgih. 2009. Mengenal Beberapa Teori Lokasi. Diunduh dari http://singgiheducation.blogspot.com/ pada tanggal 4 April 2012 Pukul 22.00 WIB.

Robinson, Tarigan. 2005. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Rustiadi, Ernan dkk. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

RTRW Kota Surabaya 2013. Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang. Surabaya.

Saraswati, Ratna. 2010. Teori, Konsep, Metode Dan Teknik Analisis Dasar Geografi Ekonomi (1). Diunduh pada tanggal 5 April 2012 Pukul 17.40 WIB.

Wibowo, Rudi., Soetriono. 2004. Konsep, Teori, dan Landasan Analisis Wilayah. Edisi Pertama. Bayumedia Publishing. Malang.

http://sier-pier.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun