Cerpen: Wahyudi El Panggabean
“KEHILANGAN teman dalam peristiwa pembunuhan massal itu suatu hal yang sangat memilukan,” kata Ayah. Ia kemudian menunda ceritanya. Adzan magrib terdengar sayup dari kejauhan. Kami beranjak menuju sungai kecil di sisi pematang sawah. Usai sholat berjemaah, kami pulang melewati jalan setapak yang terjal.
“Tunggu,” kata Ayah. Ia berhenti di gundukan ruas jalan. Aku dengar, nafasnya agak tersengal. Aku menoleh ke belakang. Hari mulai gelap, suara jangkrik sahut-sahutan di pekebunan karet.
“Tetapi, saat peristiwa mengerikan itu, usiamu baru dua tahun, Nak,” Ayah menutup ceritanya. Ayah tak tahu persis apakah Pak Pohan, sahabatnya itu tewas ditembak kala itu, atau sempat melarikan diri. Soalnya, isu-isu yang berkembang, saat menunggu giliran tembak, Pak Pohan sempat meminta waktu, berwudhu dan sholat. Tetapi, cerita yang pasti tak pernah terungkap.
Malam menjelang tidur, aku terus membayangkan kisah mengerikan tentang pembunuhan massal orang-orang yang terlibat dalam partai terlarang di kampungku. Ayahku, walau tamat SR, begitu pandai bercerita. Ia acap menceritakan kisah-kisah mengharukan, saat istirahat di sawah. Pondok kecil tanpa dinding, berkolong sekitar satu meter dari permukaan tanah. Sengaja didirikan Ayah di bawah pohon kelapa di arah timur persawahan. Ceritanya selalu muncul mengantar mentari senja perlahan bersembunyi di balik bebukitan.
Di lain hari, Ayah kembali bercerita. Tetapi, ceritanya kali ini, tidak saja mengundang haru. Tak sekadar kisah tragis tentang jemputan malam di atas pukul sebelas ke rumah-rumah penduduk yang telah didata para eksekutor. Malam-malam yang mengerikan sepanjang bulan November 1965. Pasca peristiwa G30S alias Gerakan 30 September, warga sering berkumpul di rumah-rumah tetangga yang memiliki pesawat radio. Mendengar warta berita.
Satu per satu tetangga kami, ayah dari teman-temanku mendapat giliran. Dijemput malam, paginya dikabarkan telah tewas. Menurut Ayah, mereka dieksekusi bergantian di tepi sungai Batangtoru, di bawah jembatan Trikora dan dekat jembatan kecil di Desa Sipette. Sebelum di bantai, para tahanan politik yang tanpa diadili ini, lebih dulu dikumpulkan di rumah tahanan darurat. Sebuah gedung bekas SMP Qur’an yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah kami. Ada juga yang sempat bertahan dua hari di sana.
“Yah, sangat mengerikanlah,” kata Pak Udin, mantan petugas penjaga rumah tahanan, suatu hari, saat aku membeli satenya di kedai kopi di pasar kampungku.
Ingat kisah ini, ingat pelajaran sejarah. Pelajaran yang selalu diajarkan pada kami di ruang kelas, wejangan bagi siswa-siswa yang ayahnya ikut korban dalam materi pelajaran itu. Aku jadi kasihan dengan Abdi, teman sebangkuku. Ia pintar, tapi pendiam. Selalu berpakaian lusuh. Maklum, semenjak kepergian Ayahnya di akhir tahun 1965, Ibunya harus berjuang menghidupi Abdi dan ke lima saudaranya. Pagi menjual pecal, setelah itu rutin menggarap lahan peninggalan Ayahnya. Secara samar, aku memang tahu, ayahnya ikut korban dalam pembunuhan massal orang-orang eks-PKI. Tapi, cerita ayahkulah yang kemudian mengguratkan peristiwa itu lebih lengkap dalam benakku.
Aku melihat sosok Abdi dalam wajah Ayahnya, Pak Pohan, sahabat ayahku itu. Ada bekas goresan luka di wajah Ayahnya. Ketika suatu hari Abdi mengeluarkan foto hitam-putih ukuran delapan kali sepuluh sentimeter. Tetapi, ia cepat mengembalikan foto itu ke tempat semula, diselipkannya di tas plastik tempat bukunya. Tas yang diwariskan kakaknya.
Sudah menjadi kebiasaanku, mengobrol dengan Abdi saat guru menerangkan di depan kelas. “Ayahmu gagah, ya, Di?! Kataku suatu saat.
“Yah, wajahnya tergores saat terjatuh dari sepeda,” kenangnya.
“Ayahku juga cerita. Mereka sedang belajar sepeda di lapangan bola, ya?” aku memperkuat ungkapannya.
Sepotong kapur dilempar ke bahuku.
“Wahyudi! Perhatikan kemari. Jangan hanya ngobrol!” kata Pak Sibarani, guru pelajaran Fisika itu.
Abdi kehilangan Ayahnya saat berusia dua tahun. Selain dia, Adiknya Eva, kakak-kakaknya yang tak ku tahu namanya ada tiga orang. Abangnya satu orang. Mereka hidup susah. Kebanggaan atas sosok Ayah mereka, Pak Pohan, tak banyak mereka dengar. Maklum, sangat tabu menceritakan prestasi orang-orang “terlarang” itu, saat pemerintah Orba. Padahal, menurut Ayahku, Pak Pohan itu, orang yang cerdas dan pandai sekali menulis karangan-karangan sastra. Walau belum ada yang dikirim ke penerbit.
Kampung kami, Batangtoru, penuh dengan janda kematian suami dan anak-anak kematian ayahnya yang korban pembunuhan kebiadaban politik. Keprihatinan dan kekhawatiran terwarisi sepanjang masa. Aku lebih jelas melihat sosok penderitaan itu dalam keseharian Abdi, teman sebangkuku di kelas III SMP itu.
Malah, sering kali aku melihat dia menahan haus di kelelahan. Tak punya uang jajan untuk sekedar membeli air es usai pelajaran olahraga. Padahal saat itu harganya hanya dua puluh lima rupiah. Kadang, jika aku punya uang, kami bagi berdua. Tanggal sepuluh tiap bulan, Abdi kerap tidak bisa belajar penuh, karena guru menyuruh pulang menjemput uang sekolah bulanan yang sudah menunggak. Banyak teman-temanku yang senasib dengan Abdi.
Menurut penuturan Ayahku, sedikitnya 3000 orang tewas dalam pembunuhan massal itu. Tak terbayangkan, sungai Batangtoru sulit menelan mayat-mayat yang bergelimpangan. “Malah jari-jari orang sering ditemukan saat menyiangi ikan” kata Omak.
Para kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda dan orang-orang pilihan, dilatih khusus menggunakan senjata. Hanya untuk menembak. Polisi dan tentara tidak dilibatkan. Ayahku yang kala itu aktivis Pemuda Muhammadiyah, tak dilibatkan karena mengidap penyakit paru-paru.
“Ayah juga bersyukur, membunuh orang yang belum tentu bersalah,” kata Ayah. Tetapi di balik cerita Ayah soal pembunuhan massal itu, aku menangkap banyak ketidakadilan. Meski Ayahku orang yang paling dibenci orang PKI karena berlainan paham, toh, ia menyebutkan aktivis PKI yang lolos dari maut karena bisa lihai bermain dengan eksekutornya.
Banyak benar peristiwa masa silam tanah kampung halaman yang kini mengundangku untuk menulis. Bekerja sebagai wartawan dengan penerbitan majalah skala kecil-kecilan, mengundang kreativitasku untuk berinvestigasi mengorek nilai ke benaran dari tetua desa, saksi sejarah tempo dulu. Tetapi, kampung halamanku nun jauh di sana. Pulang saat Lebaran dari Pekanbaru belum beroleh waktu khusus menulis kisah-kisah penggalan pengalaman temanku dulu: Abdi, yang kini mulai nyaman sebagai pegawai Kantor Lurah. Kakaknya nyaris korban diskriminasi susulan, saat kenaikan pangkatnya sebagai PNS dihubungkan dengan keterlibatan ayahnya dalam partai telarang itu.
Tetapi, kepulanganku kali ini, sesuatu yang mengejutkan. Sekitar pukul sebelas tadi aku menerima telepon dari kampung, bahwa ayahku telah meninggal dunia. Padahal, dua hari sebelumnya, aku masih bicara via telepon. Aku meminta wartawan yang bekerja di mediaku untuk menjemput ketiga anakku ke sekolah. Kami bergegas pergi pulang kampung dengan mobil pribadi. Jarak sekitar 500 km kutempuh dengan menyetir sendiri.
Di perbatasan Riau-Tapanuli Selatan, jalan longsor dekat jembatan kecil membuat macet. Aku segera turun mengamati situasi di depan antrean mobil sepanjang 1 km.
Mataku lantas tertuju kepada seorang pria 30-an yang sibuk memotret situasi kemacetan lalu-lintas. Gerimis tipis tiba-tiba turun disertai angin sepoi-sepoi. Istri dan ketiga anakku kusuruh tetap dalam mobil. Aku segera mendekati si Pemotret itu. Kami berkenalan.
“Saya Wartawan, Pak! Saya bermarga Pohan,” katanya ramah. Tapi aku kurang sreg beramah-tamah, malam itu. Aku hanya menanggapi bicaranya, seadanya.
Sekitar 65 menit kami terhambat di jalan rusak. Pikiranku terus melayang ke masa silam. Saat-saat indah bersama ayahku. Begitu cepatnya maut mejemput. Begitu sempurnanya ajal bersembunyi. Aku gelisah. Kemudian, aku merenung sendiri memandangi para pemuda yang asyik menimbuni jalan.
“Bapak mau ke mana?” si Wartawan datang membuyarkan lamunanku.
“Kami bersama keluarga menuju kampung, ayahku meninggal,” kataku.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” katanya kembali menjabat tanganku.
Aku menanggapinya dingin”. Aku tak ingin beramah-tamah dalam situasi begini. Aku ingin segera cepat sampai di kampungku. Menatap dan mencium kening ayahku untuk terakhir kalinya. Terbayang tatapan kuyu ibuku di hadapan sosok ayahku yang kaku.
Begitu gelisahpun aku, si Wartawan masih terus mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan sok akrab:
“Kampung Bapak di mana?”
“Oh, Anda tak tahu. Di Tapanuli. Di Batangtoru,” kataku, tak acuh.
“Eh…, Bapak saya orang Batangtoru, Pak. Kata ayahku rumah mereka dekat kantor polisi,” katanya.
Dalam keadaan gelisah, tampaknya aku masih sempat terkesiap. Bukankah rumah orang bermarga Pohan, dekat kantor polisi hanya rumah kerabat ayahku yang menghilang sejak pembunuhan massal sekitar 30 tahun silam itu?
“Anda sendiri kampungnya di mana?” tanyaku setengah penasaran.
”Kampungku di Kampar Kiri sana Pak. Ayahku dulu merantau ke sana. Ibuku orang asli kampung itu,” ia bercerita, aku terdiam.
“Jangan-jangan kita masih ada hubungan family, Pak?!” katanya, aku tersenyum.
“Ayahmu pernah pulang ke Batangtoru?”
“Belum! Kami hidup susah. Ayahku bekerja sebagai petani hingga aku berusia 5 tahun. Aku menumpang hidup dengan tante di Pekanbaru sejak ayah meninggal tahun 1987. Syukurlah aku masih bisa tamat SLTA. Sejak beberapa tahun terakhir aku jadi koresponden tabloid di Rokan Hulu ini,” katanya bercerita panjang lebar seperti mempromosikan dirinya.
Ruslan, nama si Wartawan itu, sempat-sempatnya mengungkapkan cita-citanya menjadi wartawan professional, malam itu. Obsesi yang terukir di hatinya sejak kelas IV SD. “Ayahku selalu menulis cerita-cerita dengan tulis tangan,” katanya mengenang.
“Pak? Bisa kuminta kartu nama Bapak?” Ruslan Berharap. Tapi aku tak sempat membawa kartu nama.
Aku lihat mobil yang antre di depan mobil kami sudah menghidupkan mesin. Jalan sudah membaik. Aku segera memasuki mobil. Saat mobil kami bergerak perlahan, Ruslan mengejar, kaca jendela mobil kubuka.
“Pak, tolong tanyakan yah Pak, tentang ayahku di kampung. Di wajahnya ada tanda: bekas luka…”
Aku hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang, tak menoleh ke arah Ruslan. Mobil bergerak. Perjalanan lanjut, menuju prosesi kepergian Ayah.
Tiga hari tiga malam, rumah kami tidak henti-hentinya diziarahi orang-orang takziah. Ayahku memang punya pergaulan yang luas. Di hari ketiga takziah itu, Amangboru Harahap, orang paling dituakan di kampungku, duduk di sampingku. Setelah dia menceritakan kali terakhir dia berbicara dengan ayahku, aku balik menceritakan tentang kisah wartawan yang kutemui di jalan rusak itu.
Amangboru Harahap yang sejak tahun 50-an bersebelahan rumahnya dengan rumah Pak Pohan, tampak wajahnya sangat terkejut mendengar ceritaku. Kemudian dia agak lama terdiam dan memandangiku.
“Berarti benar juga issu yang dulu sempat beredar bahwa ia tak sempat ditembak. Usai shalat, kabarnya ia langsung terjun ke Sungai Batangtoru,” katanya. Kemungkinan dia mendarat di bagian hilir sungai.
“Dia itu kerabat ayahmu sejak kecil,” katanya.
“Ya, Amangboru…” jawabku memandangi poto ayah yang masih gagah di dinding rumah kami.*
Pekanbaru, Januari 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H