Banyak benar peristiwa masa silam tanah kampung halaman yang kini mengundangku untuk menulis. Bekerja sebagai wartawan dengan penerbitan majalah skala kecil-kecilan, mengundang kreativitasku untuk berinvestigasi mengorek nilai ke benaran dari tetua desa, saksi sejarah tempo dulu. Tetapi, kampung halamanku nun jauh di sana. Pulang saat Lebaran dari Pekanbaru belum beroleh waktu khusus menulis kisah-kisah penggalan pengalaman temanku dulu: Abdi, yang kini mulai nyaman sebagai pegawai Kantor Lurah. Kakaknya nyaris korban diskriminasi susulan, saat kenaikan pangkatnya sebagai PNS dihubungkan dengan keterlibatan ayahnya dalam partai telarang itu.
Tetapi, kepulanganku kali ini, sesuatu yang mengejutkan. Sekitar pukul sebelas tadi aku menerima telepon dari kampung, bahwa ayahku telah meninggal dunia. Padahal, dua hari sebelumnya, aku masih bicara via telepon. Aku meminta wartawan yang bekerja di mediaku untuk menjemput ketiga anakku ke sekolah. Kami bergegas pergi pulang kampung dengan mobil pribadi. Jarak sekitar 500 km kutempuh dengan menyetir sendiri.
Di perbatasan Riau-Tapanuli Selatan, jalan longsor dekat jembatan kecil membuat macet. Aku segera turun mengamati situasi di depan antrean mobil sepanjang 1 km.
Mataku lantas tertuju kepada seorang pria 30-an yang sibuk memotret situasi kemacetan lalu-lintas. Gerimis tipis tiba-tiba turun disertai angin sepoi-sepoi. Istri dan ketiga anakku kusuruh tetap dalam mobil. Aku segera mendekati si Pemotret itu. Kami berkenalan.
“Saya Wartawan, Pak! Saya bermarga Pohan,” katanya ramah. Tapi aku kurang sreg beramah-tamah, malam itu. Aku hanya menanggapi bicaranya, seadanya.
Sekitar 65 menit kami terhambat di jalan rusak. Pikiranku terus melayang ke masa silam. Saat-saat indah bersama ayahku. Begitu cepatnya maut mejemput. Begitu sempurnanya ajal bersembunyi. Aku gelisah. Kemudian, aku merenung sendiri memandangi para pemuda yang asyik menimbuni jalan.
“Bapak mau ke mana?” si Wartawan datang membuyarkan lamunanku.
“Kami bersama keluarga menuju kampung, ayahku meninggal,” kataku.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” katanya kembali menjabat tanganku.
Aku menanggapinya dingin”. Aku tak ingin beramah-tamah dalam situasi begini. Aku ingin segera cepat sampai di kampungku. Menatap dan mencium kening ayahku untuk terakhir kalinya. Terbayang tatapan kuyu ibuku di hadapan sosok ayahku yang kaku.
Begitu gelisahpun aku, si Wartawan masih terus mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan sok akrab: