“Kampung Bapak di mana?”
“Oh, Anda tak tahu. Di Tapanuli. Di Batangtoru,” kataku, tak acuh.
“Eh…, Bapak saya orang Batangtoru, Pak. Kata ayahku rumah mereka dekat kantor polisi,” katanya.
Dalam keadaan gelisah, tampaknya aku masih sempat terkesiap. Bukankah rumah orang bermarga Pohan, dekat kantor polisi hanya rumah kerabat ayahku yang menghilang sejak pembunuhan massal sekitar 30 tahun silam itu?
“Anda sendiri kampungnya di mana?” tanyaku setengah penasaran.
”Kampungku di Kampar Kiri sana Pak. Ayahku dulu merantau ke sana. Ibuku orang asli kampung itu,” ia bercerita, aku terdiam.
“Jangan-jangan kita masih ada hubungan family, Pak?!” katanya, aku tersenyum.
“Ayahmu pernah pulang ke Batangtoru?”
“Belum! Kami hidup susah. Ayahku bekerja sebagai petani hingga aku berusia 5 tahun. Aku menumpang hidup dengan tante di Pekanbaru sejak ayah meninggal tahun 1987. Syukurlah aku masih bisa tamat SLTA. Sejak beberapa tahun terakhir aku jadi koresponden tabloid di Rokan Hulu ini,” katanya bercerita panjang lebar seperti mempromosikan dirinya.
Ruslan, nama si Wartawan itu, sempat-sempatnya mengungkapkan cita-citanya menjadi wartawan professional, malam itu. Obsesi yang terukir di hatinya sejak kelas IV SD. “Ayahku selalu menulis cerita-cerita dengan tulis tangan,” katanya mengenang.
“Pak? Bisa kuminta kartu nama Bapak?” Ruslan Berharap. Tapi aku tak sempat membawa kartu nama.