Aku lihat mobil yang antre di depan mobil kami sudah menghidupkan mesin. Jalan sudah membaik. Aku segera memasuki mobil. Saat mobil kami bergerak perlahan, Ruslan mengejar, kaca jendela mobil kubuka.
“Pak, tolong tanyakan yah Pak, tentang ayahku di kampung. Di wajahnya ada tanda: bekas luka…”
Aku hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang, tak menoleh ke arah Ruslan. Mobil bergerak. Perjalanan lanjut, menuju prosesi kepergian Ayah.
Tiga hari tiga malam, rumah kami tidak henti-hentinya diziarahi orang-orang takziah. Ayahku memang punya pergaulan yang luas. Di hari ketiga takziah itu, Amangboru Harahap, orang paling dituakan di kampungku, duduk di sampingku. Setelah dia menceritakan kali terakhir dia berbicara dengan ayahku, aku balik menceritakan tentang kisah wartawan yang kutemui di jalan rusak itu.
Amangboru Harahap yang sejak tahun 50-an bersebelahan rumahnya dengan rumah Pak Pohan, tampak wajahnya sangat terkejut mendengar ceritaku. Kemudian dia agak lama terdiam dan memandangiku.
“Berarti benar juga issu yang dulu sempat beredar bahwa ia tak sempat ditembak. Usai shalat, kabarnya ia langsung terjun ke Sungai Batangtoru,” katanya. Kemungkinan dia mendarat di bagian hilir sungai.
“Dia itu kerabat ayahmu sejak kecil,” katanya.
“Ya, Amangboru…” jawabku memandangi poto ayah yang masih gagah di dinding rumah kami.*
Pekanbaru, Januari 2007