Mohon tunggu...
Elwahyudi Panggabean
Elwahyudi Panggabean Mohon Tunggu... -

Journalist

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Sungai Batangtoru

29 September 2015   22:07 Diperbarui: 30 September 2015   05:55 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah menjadi kebiasaanku, mengobrol dengan Abdi saat guru menerangkan di depan kelas. “Ayahmu gagah, ya, Di?! Kataku suatu saat.

“Yah, wajahnya tergores saat terjatuh dari sepeda,” kenangnya.

“Ayahku juga cerita. Mereka sedang belajar sepeda di lapangan bola, ya?” aku memperkuat ungkapannya.

Sepotong kapur dilempar ke bahuku.

“Wahyudi! Perhatikan kemari. Jangan hanya ngobrol!” kata Pak Sibarani, guru pelajaran Fisika itu.

Abdi kehilangan Ayahnya saat berusia dua tahun. Selain dia, Adiknya Eva, kakak-kakaknya yang tak ku tahu namanya ada tiga orang. Abangnya satu orang. Mereka hidup susah. Kebanggaan atas sosok Ayah mereka, Pak Pohan, tak banyak mereka dengar. Maklum, sangat tabu menceritakan prestasi orang-orang “terlarang” itu, saat pemerintah Orba. Padahal, menurut Ayahku, Pak Pohan itu, orang yang cerdas dan pandai sekali menulis karangan-karangan sastra. Walau belum ada yang dikirim ke penerbit.

Kampung kami, Batangtoru, penuh dengan janda kematian suami dan anak-anak kematian ayahnya yang korban pembunuhan kebiadaban politik. Keprihatinan dan kekhawatiran terwarisi sepanjang masa. Aku lebih jelas melihat sosok penderitaan itu dalam keseharian Abdi, teman sebangkuku di kelas III SMP itu.

Malah, sering kali aku melihat dia menahan haus di kelelahan. Tak punya uang jajan untuk sekedar membeli air es usai pelajaran olahraga. Padahal saat itu harganya hanya dua puluh lima rupiah. Kadang, jika aku punya uang, kami bagi berdua. Tanggal sepuluh tiap bulan, Abdi kerap tidak bisa  belajar penuh, karena guru menyuruh pulang menjemput uang sekolah bulanan yang sudah menunggak. Banyak teman-temanku yang senasib dengan Abdi.

Menurut penuturan Ayahku, sedikitnya 3000 orang tewas dalam pembunuhan massal itu. Tak terbayangkan, sungai Batangtoru sulit menelan mayat-mayat yang bergelimpangan. “Malah jari-jari orang sering ditemukan saat menyiangi ikan” kata Omak.

Para kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda dan orang-orang pilihan, dilatih khusus menggunakan senjata. Hanya untuk menembak. Polisi dan tentara tidak dilibatkan. Ayahku yang kala itu aktivis Pemuda Muhammadiyah, tak dilibatkan karena mengidap penyakit paru-paru.

“Ayah juga bersyukur, membunuh orang yang belum tentu bersalah,” kata Ayah. Tetapi di balik cerita Ayah soal pembunuhan massal itu, aku menangkap banyak ketidakadilan. Meski Ayahku orang yang paling dibenci orang PKI karena berlainan paham, toh, ia menyebutkan aktivis PKI yang lolos dari maut karena bisa lihai bermain dengan eksekutornya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun