Mohon tunggu...
Elwahyudi Panggabean
Elwahyudi Panggabean Mohon Tunggu... -

Journalist

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bercak Hitam Gaun Malam

27 September 2015   12:28 Diperbarui: 27 September 2015   13:11 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen: Wahyudi El Panggabean

["illustrasi: tempo.co"][

ANGIN malam berhembus agak kencang. Terasa dingin, kemilau bintang merona di langit kelam. Perladangan jagung menghampar. Suara burung terdengar menyelingi derap langkah sepatu menembus celah dinding gubuk reyot berpenghuni tiga orang.

Seorang pria berusia 47 tahun, seorang perempuan berusia 34 tahun, seorang anak berusia 5 tahun, menghuni pondok itu sejak tiga bulan silam. Tak jelas bagi penggarap ladang di situ, asal-usul suami-istri beranak satu, penunggu ladang Pak Yakub, tuan tanah di desa itu.

“Coba intip dari celah jendela,” kata Muri, menatap wajah istrinya yang pasi.

“Buka pintu dan tangan di atas kepala, Muri! Rumahmu sudah dikepung!” terdengar suara keras di halaman rumahnya. Derap langkah itu kemudian mendekat ke pintu depan.

“Kami  beri hitungan sampai tiga. Menyerahlah, Muri!” suara itu kian menggetarkan.

Sutri masuk kamar dan memeluk anaknya. Muri yang berdiri kebingungan dua meter di belakang pintu tetap diam. Saat itulah suara letusan terdengar. Sebutir peluru menembus pintu rumahnya yang rapuh, kemudian bersarang di dada kirinya. Pria bertubuh kurus itu terkapar di lantai tanah. Sutri menjerit. Terdengar tangisan anak, dari kamar yang lembab. Pintu rumah diterjang. Empat orang polisi berdiri memandang ke dalam rumah. Kemudian, mereka pergi dengan dua sepeda motor menembus kegelapan malam.

Sutri menghambur keluar, histeris memeluk tubuh ringkih suaminya. Diciuminya tubuh yang kini tak bernyawa. Bau amis menggenang, darah menyatu di wajahnya. Sita, sang anak, masih menangis saat keluar dari kamar, menyusul ibunya. Sinar remang lampu teplok menebar di matanya yang kuyu. Ia menyandarkan badannya di punggung sang ibu.

“Kenapa bapak, bu?”

Sutri menarik lengan kiri anaknya. Mendekapnya erat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun