Aroma karbol dan obat bercampur dan menjadi suatu aroma khas. Perlahan aku membuka mataku dan aku mendapati diriku terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak alat menempel di tubuhku. Di luar ruangan kulihat ada ayah dan ibuku, Bi Inah, Naya dan Raka.
Yang pertama masuk ke dalam ruangan tempat aku dirawat adalah ayah dan ibuku. Aku tak begitu peduli dengan mereka setelah mengetahui kebenaran dari kasus kematian kakekku. Tubuhku masih mati rasa, aku tak bisa memberontak ketika tangan yang digunakan untuk menghabisi nyawa kakek membelai pelan kepalaku. Karena muak, aku menoleh ke luar dan melihat ekspresi khawatir dari Bi Inah, Naya dan Raka. Aku tak punya petunjuk sudah berapa lama aku berbaring di sini.
Selama di rumah sakit, yang bisa kulakukan hanyalah berbaring, duduk, makan, dan melamun. Aku masih belum bisa menerima fakta bahwa kedua orang tuaku telah membunuh kakek. Air mataku berlomba-lomba untuk turun dan membasahi pipi pucatku.
Hingga aku memutuskan untuk nekat kabur dari rumah sakit saat orang tuaku izin pamit pergi ke kantin rumah sakit. Aku cukup beruntung, karena rumah sakit ini berada di samping perumahan milik kakek. Kakiku yang masih lemah terus kupaksa untuk melangkah. Sepanjang perjalanan, aku ditemani oleh cahaya sore dan angin yang menerpa lembut seluruh tubuhku. Tanpa sadar, aku sudah berdiri di kamar tempatku menginap. Aku tak menyangka akan bertemu Naya dan Raka yang duduk termenung di atas kasur.
"Ha ... lo?" Sudah kutebak bahwa suaraku akan serak dan terbata.
Naya dan Raka yang tersadar, segera memeluk tubuh ringkihku. Si kembar menangis dengan kencang sehingga Bi Inah datang untuk mengecek keadaan mereka.
"Astaga! Ajeng! Kamu kan masih sakit? Kenapa bisa di sini?" ucap Bi Inah penuh kekhawatiran.
Melihat ekspresi khawatirnya, hal itu mengingatkanku pada reaksinya saat melihat tubuh kakek bersimbah darah. Air matanya menunjukkan segala emosi yang tertanam pada tubuhnya. Aku segera melepaskan pelukan si kembar dan beralih memeluk Bi Inah dengan erat sambil menangis.
"Bi Inah, mengapa kamu menyembunyikan fakta tentang kematian kakek?" ucapku berbisik lirih. Dapat kurasakan tubuh Bi Inah menegang dan pelukannya mengerat. Jejak air mata terlihat jelas di pipinya.
"Mungkin ini saatnya kalian tahu..."
Kami berempat duduk melingkar di atas kasur dan mendengarkan cerita Bi Inah dengan seksama.
"Kalian pasti sudah tahu kan bahwa harta dan tahta itu penting? Keluarga Bi Inah terancam mati bila Bi Inah membocorkan rahasia ini. Rekaman CCTV jelas menunjukkan ayah dan ibumu adalah pelaku pembunuhan Tuan Besar. Namun, semua teratasi dengan harta dan tahta. Mereka mengancam seluruh pelayan di rumah ini dan juga menyuap pihak kepolisian untuk menutup kasus ini dan hanya melaporkan bahwa Tuan Besar terkena serangan jantung," jelas Bi Inah panjang lebar.
Naya dan Raka berpelukan dan menangis seolah tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Aku tetap berusaha untuk bersikap tenang dan tidak mengamuk pada ayah dan ibuku.
"Apa Bi Inah punya salinan rekaman CCTV?" Meski sedikit mustahil karena dengan kekuasaan penuh mereka bisa menghapus jejak rekaman CCTV, aku sedikit berharap Bi inah mempunya rekaman kejadian tiga tahun lalu.
Aku tersenyum bangga ketika Bi Inah menganggukkan kepalanya. Ia mengeluarkan kalung yang disembunyikan dibalik bajunya. Kalung berbandul liontin besar yang ternyata itu adalah sebuah flash disk. Tanganku dengan lancang merebut liontin itu kala aku mendengar langkah kaki bersahutan. Pancaindra yang kumiliki sangatlah tajam dan kuat, jadi sedikit kemungkinan aku salah menebak suara.
Dengan cemas aku menyuruh Raka untuk menghubungi pihak berwajib sesegera mungkin. Kembali bersikap tenang, aku bertanya pada Bi Inah.
"Bi, sejak kapan aku dirawat di rumah sakit?" tanyaku penasaran.
Bi Inah diam sejenak dan menjawab, "Hari Selasa pagi, waktu itu Bi Inah bingung karena kamu tak kunjung turun ke bawah padahal sudah jam sepuluh pagi. Ketika Bi Inah ke atas untuk memeriksa keadaan, kamu tergeletak di samping jam besar dengan keadaan pucat dan tubuhmu panas. Jadi Bi Inah bawa kamu ke rumah sakit dan ternyata kamu dinyatakan koma," jawab Bi Inah panjang lebar.
Aku mengangguk mengerti dan berpikir, berarti seharusnya aku sudah tak sadarkan diri sejak aku melihat jam yang menunjukkan waktu pukul dua lewat lima menit dan hal itu juga berdekatan dengan suara bisikan pada dini hari itu. Mungkin saja bisikan tersebut yang membawaku memasuki dimensi waktu lain tetapi masih di ruang yang sama.
"Bi Inah begitu sedih karena kamu koma selama hampir dua minggu lamanya, Bi Inah takut sekali kehilangan kamu seperti ketika Tuan Besar wafat." Penjelasan tambahan dari Bi Inah memperkuat pikiranku. Aku sudah terbaring koma sejak mendengar bisikan itu dan satu jam di dimensi lain, sama dengan satu hari di dunia ini.
TOK TOK
Suara ketukan pintu terdengar begitu keras. Knop pintu berputar dan aku mendapati sosok ayah dan ibu berdiri di ambang pintu. Aku tak bisa menahan rasa benci yang mekar di dalam hatiku, kelopaknya menyayat hatiku dan itu membuatku ingin menangis.
Keduanya langsung berlari ke arahku dan langsung memelukku. Aku yang merasa jijik segera memberontak dan melepas paksa pelukan mereka.
"Ajeng ga mau dipeluk sama seorang pembunuh!" Sontak semua yang berada di dalam kamar terkejut melihatku berbicara seperti itu.
"Apa maksudmu, Nak?" tanya ibuku dengan nada lembut.
"Berhenti, Bu! Ajeng udah liat semua kejadiannya langsung pakai mata Ajeng! Ajeng ga nyangka kalian berbuat seperti ini. Ajeng benci ayah dan ibu!" teriakku penuh emosi.
Dapat kulihat wajah ayah mengeras dan memerah, aku tak pernah mengira bahwa ayah akan begitu kejam hingga melemparku ke sudut kamar. Langkahnya mendekat dan aku ketakutan. Kepalaku yang pusing bertambah sakit karena terbentur dinding kamar. Tangan ayah terangkat ke atas siap menghantamku lagi, kupejamkan mataku bersiap menerima rasa sakit, tetapi aku tak kunjung merasakan sakit itu. Kubuka mataku dengan perlahan dan mendapati Bi Inah yang menahan tangan ayah dan segera membantingnya.
"Aku tak akan membiarkan tangan kotormu itu menyakiti putriku!" suara Bi Inah tak seperti biasanya, suaranya serak dan basah yang merupakan ciri khas suara kakek.
Aku tersenyum bahagia menyadari kehadiran kakek yang merasuki tubuh Bi Inah. Kakek dan ayah bergelut satu sama lain mempertahankan kuasanya. Kulihat ibu panik dengan kekacauan yang ada dan Naya yang menangis keras di pelukan Raka.
Perkelahian semakin sengit dan kakek terpaksa tertindih oleh Ayah, tangannya menggenggam sebuah vas bunga dan bersiap menghantamnya ke kepala Bi Inah.
"TIDAK! KAKEK!" Kakiku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh kekar ayahku dan aku segera menarik tubuh Bi Inah.
Belum sempat ayah berdiri, tubuhnya sudah diamankan oleh pihak berwajib, begitu pula dengan ibuku. Kami berempat menghela napas lega dan sangat bersyukur. Aku memberikan liontin Bi Inah sebagai penguat bukti kejahatan ayah dan ibuku. Setelah pihak kepolisian mengamankan mereka, kami berempat duduk di ruang tamu rumah kakek.
"Kakek..." lirihku.
Bi Inah menoleh ke arahku dan mengelus rambutku sembari berkata, "Cucuku sayang, kamu jangan sedih lagi, ya? Maafkan kakekmu ini karena kamu harus merasakan begitu banyak rasa sakit."
Aku menggeleng keras, justru aku merasa berterima kasih karena kakek memberiku penglihatan tiga tahun lalu sehingga aku bisa menguak fakta kasus kematian kakekku.
"Terima kasih atas semua pengorbanan rasa sakitmu sehingga dapat mengungkap kasus kematian kakek. Semua harta milik kakek sudah tertulis dalam wasiat sehingga kakek tidak memiliki warisan. Surat wasiat kakek sepenuhnya atas nama kamu, cucuku. Kamu boleh membaginya untuk siapa saja asalkan kebutuhanmu juga sudah tercukupi."
Air mataku masih turun begitu derasnya, aku tak peduli dengan segala harta milik kakek karena aku hanya ingin terus bersama dengan kakek.
Karena kakek tidak bisa terus berada di tubuh Bi Inah, kami berempat pun berpelukan untuk melepas kepergian kakek, dan sejak saat itu kehidupan baruku dimulai.
Kini aku hidup bersama dengan Bi Inah dan keluarganya di rumah kakek, seluruh pelayan juga masih setia bekerja untuk rumah kakek. Naya dan Raka semakin sering mengunjungiku dan menemaniku bermain. Bahagia rasanya karena aku bisa menjalani hidup yang terbebas dari orang-orang jahat.
Aku juga masih sering mengunjungi kedua orang tuaku yang mendekam dibalik jeruji besi. Meski ayah tetap tak ingin melihatku, ibu masih terus menyayangiku. Ibu ditahan seumur hidup sedangkan ayah dijatuhi hukuman mati karena beliau lah yang telah membunuh kakek dan melakukan tindak pidana lainnya, sementara ibu hanya diam dan melihat, tetapi tidak mencegah perbuatan keji ayah.
Sejak kejadian itu pula, pancaindraku semakin menguat dan mata batinku terbuka. Banyak hal yang tak bisa kulihat sebelumnya, tetapi kini aku bisa melihatnya. Seringkali aku mendengar bisikan-bisikan memohon pertolongan. Terkadang aku juga turut membantu dan hal ini yang membuatku bersemangat untuk tetap menjalani hidup di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H