"Kalian pasti sudah tahu kan bahwa harta dan tahta itu penting? Keluarga Bi Inah terancam mati bila Bi Inah membocorkan rahasia ini. Rekaman CCTV jelas menunjukkan ayah dan ibumu adalah pelaku pembunuhan Tuan Besar. Namun, semua teratasi dengan harta dan tahta. Mereka mengancam seluruh pelayan di rumah ini dan juga menyuap pihak kepolisian untuk menutup kasus ini dan hanya melaporkan bahwa Tuan Besar terkena serangan jantung," jelas Bi Inah panjang lebar.
Naya dan Raka berpelukan dan menangis seolah tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Aku tetap berusaha untuk bersikap tenang dan tidak mengamuk pada ayah dan ibuku.
"Apa Bi Inah punya salinan rekaman CCTV?" Meski sedikit mustahil karena dengan kekuasaan penuh mereka bisa menghapus jejak rekaman CCTV, aku sedikit berharap Bi inah mempunya rekaman kejadian tiga tahun lalu.
Aku tersenyum bangga ketika Bi Inah menganggukkan kepalanya. Ia mengeluarkan kalung yang disembunyikan dibalik bajunya. Kalung berbandul liontin besar yang ternyata itu adalah sebuah flash disk. Tanganku dengan lancang merebut liontin itu kala aku mendengar langkah kaki bersahutan. Pancaindra yang kumiliki sangatlah tajam dan kuat, jadi sedikit kemungkinan aku salah menebak suara.
Dengan cemas aku menyuruh Raka untuk menghubungi pihak berwajib sesegera mungkin. Kembali bersikap tenang, aku bertanya pada Bi Inah.
"Bi, sejak kapan aku dirawat di rumah sakit?" tanyaku penasaran.
Bi Inah diam sejenak dan menjawab, "Hari Selasa pagi, waktu itu Bi Inah bingung karena kamu tak kunjung turun ke bawah padahal sudah jam sepuluh pagi. Ketika Bi Inah ke atas untuk memeriksa keadaan, kamu tergeletak di samping jam besar dengan keadaan pucat dan tubuhmu panas. Jadi Bi Inah bawa kamu ke rumah sakit dan ternyata kamu dinyatakan koma," jawab Bi Inah panjang lebar.
Aku mengangguk mengerti dan berpikir, berarti seharusnya aku sudah tak sadarkan diri sejak aku melihat jam yang menunjukkan waktu pukul dua lewat lima menit dan hal itu juga berdekatan dengan suara bisikan pada dini hari itu. Mungkin saja bisikan tersebut yang membawaku memasuki dimensi waktu lain tetapi masih di ruang yang sama.
"Bi Inah begitu sedih karena kamu koma selama hampir dua minggu lamanya, Bi Inah takut sekali kehilangan kamu seperti ketika Tuan Besar wafat." Penjelasan tambahan dari Bi Inah memperkuat pikiranku. Aku sudah terbaring koma sejak mendengar bisikan itu dan satu jam di dimensi lain, sama dengan satu hari di dunia ini.
TOK TOK
Suara ketukan pintu terdengar begitu keras. Knop pintu berputar dan aku mendapati sosok ayah dan ibu berdiri di ambang pintu. Aku tak bisa menahan rasa benci yang mekar di dalam hatiku, kelopaknya menyayat hatiku dan itu membuatku ingin menangis.