Keduanya langsung berlari ke arahku dan langsung memelukku. Aku yang merasa jijik segera memberontak dan melepas paksa pelukan mereka.
"Ajeng ga mau dipeluk sama seorang pembunuh!" Sontak semua yang berada di dalam kamar terkejut melihatku berbicara seperti itu.
"Apa maksudmu, Nak?" tanya ibuku dengan nada lembut.
"Berhenti, Bu! Ajeng udah liat semua kejadiannya langsung pakai mata Ajeng! Ajeng ga nyangka kalian berbuat seperti ini. Ajeng benci ayah dan ibu!" teriakku penuh emosi.
Dapat kulihat wajah ayah mengeras dan memerah, aku tak pernah mengira bahwa ayah akan begitu kejam hingga melemparku ke sudut kamar. Langkahnya mendekat dan aku ketakutan. Kepalaku yang pusing bertambah sakit karena terbentur dinding kamar. Tangan ayah terangkat ke atas siap menghantamku lagi, kupejamkan mataku bersiap menerima rasa sakit, tetapi aku tak kunjung merasakan sakit itu. Kubuka mataku dengan perlahan dan mendapati Bi Inah yang menahan tangan ayah dan segera membantingnya.
"Aku tak akan membiarkan tangan kotormu itu menyakiti putriku!" suara Bi Inah tak seperti biasanya, suaranya serak dan basah yang merupakan ciri khas suara kakek.
Aku tersenyum bahagia menyadari kehadiran kakek yang merasuki tubuh Bi Inah. Kakek dan ayah bergelut satu sama lain mempertahankan kuasanya. Kulihat ibu panik dengan kekacauan yang ada dan Naya yang menangis keras di pelukan Raka.
Perkelahian semakin sengit dan kakek terpaksa tertindih oleh Ayah, tangannya menggenggam sebuah vas bunga dan bersiap menghantamnya ke kepala Bi Inah.
"TIDAK! KAKEK!" Kakiku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh kekar ayahku dan aku segera menarik tubuh Bi Inah.
Belum sempat ayah berdiri, tubuhnya sudah diamankan oleh pihak berwajib, begitu pula dengan ibuku. Kami berempat menghela napas lega dan sangat bersyukur. Aku memberikan liontin Bi Inah sebagai penguat bukti kejahatan ayah dan ibuku. Setelah pihak kepolisian mengamankan mereka, kami berempat duduk di ruang tamu rumah kakek.
"Kakek..." lirihku.