Dahulu kira-kira awal tahun dua ribu empat belas. Saya dan beberapa rekan kerja satu tim. Berinisiatif membuat sebuah kreatifitas diluar pekerjaan utama kami. Namanya "Gereja Bersama". Ide ini sangat sederhana namun unik dan dijamin menarik. Awalnya kami pikir sekalian bisa jalan-jalan menjelajahi daratan pulau Sumba yang indah. Belakangan pulau ini dinobatkan sebagai salah satu pulau terindah oleh sebuah majalah populer di Eropa. Kebetulan, wilayah dampingan kerja kami ada di sebelas kecamatan dan empat puluh empat desa. Kami sangat berharap kreatifitas kecil ini tidak saja menarik bagi kami para jomblo-jomblo bahagia saat itu, namun lebih dari itu kami ingin kegiatan ini punya dampak sosial bagi kami pribadi juga orang-orang yang kami kunjungi.
Setelah beberapa kali melewati rapat kecil, akhirnya kami bersepakat bahwa kegiatan ini harus didasari oleh rasa kasih dan kemanusiaan. Disamping itu, melatih serta menumbuhkan kepedulian diri kami masing-masing. Tidak ada unsur paksaan, apalagi embel-embel lain. Siapa saja teman kami dari luar komunitas juga boleh ikut.
Konsep yang kami buat sangat sederhana. Setiap bulan kami wajib memilih sebuah gereja (boleh ranting, cabang, pos PI, intinya gereja). Mengapa Gereja? sebab pulau ini mayoritas penduduknya memeluk agama Nasrani. Gereja yang ditentukan adalah yang letaknya benar-benar jauh dan jarang tersentuh oleh pelayanan apapun di wilayah salah satu teman yang kami pilih lewat musyawarah mufakat😁(cie kayak rapat DPR wae!).
Kunjungan itu tujuannya mutlak untuk berbagi hal-hal sederhana dengan warga gereja yang ada di dalamnya (bisa jemaat atau anak sekolah minggu). Yang akan kami bagikan nanti bisa berupa ilmu pengetahuan atau pun materi berupa pakaian bekas layak pakai, buku-buku bacaan anak, alat tulis menulis, senter, lampu belajar, baterei dll. Intinya apa saja yang mau dibagikan secara sukarela dari apa yang masing-masing kami miliki dan kami tahu itu bisa bermanfaat bagi mereka. Namun jika ada yang punya berkat lebih berupa uang, kami sepakat itu hanya boleh diberikan sebagai persembahan pada gereja atau sekolah di wilayah itu.
Kesepakatan itu juga mengatur bahwa setiap teman yang ingin bergabung wajib datang sehari sebelum hari Minggu di lokasi yang terpilih itu. Juga wajib tinggal di rumah salah satu keluarga yang sebelumnya sudah dipilih secara acak satu minggu sebelum kegiatan dilakukan. Tentu yang memilih adalah teman kami yang bertanggung jawab pada wilayah itu. Tujuannya jelas. Agar pelayanan ini tidak memberatkan warga dan juga kami secara pribadi (mengingat rata-rata kami semua hanya punya penghasilan yang pas-pasan) sebab jika semua peserta menginap hanya pada satu rumah tertentu saja maka akan menambah beban mereka.
Jadi tidak perlu repot. Cukup kami tahu rumah mana yang akan kami tuju. Tinggal datang, perkenalkan diri lalu nginap disitu. Syaratnya cuma satu setiap peserta tidak boleh bertindak seperti tamu besar yang sering dipertontonkan oleh tamu-tamu pejabat pada umumnya (padahal kami memang bukan pejabat😁😂).
Harga mati bagi kami untuk saat datang wajib membawa beras, kopi, gula, juga sirih pinang seadanya. Sirih pinang adalah simbol persahabatan dan kekeluargaan bagi masyarakat Sumba. Tuan rumah tentu tak boleh direpotkan. Namun harus kami tunjukan bahwa segala bekal yang kami bawa adalah murni bentuk silaturahmi, sehingga tuan rumah tidak merasa tersinggung dan merasa diri mereka kaum yang miskin. Satu lagi aturan wajib yang harus kami lakukan adalah turut serta bantu-bantu semua pekerjaan sehari-hari mereka (cari kayu, timba air dll) selama sehari nginap di tempat mereka. Sekali lagi inilah the real blusukan! Yang kami impikan. Jadi kemudian sewaktu kami melihat acara di TV, Pak Jokowi melakukan blusukan kami tertawa terbahak-bahak, sebab kami sudah melewati bahkan sebelum istilah blusukan itu ada😁.
Keesokan harinya barulah kami menjalankan misi bergereja bersama-sama mereka. Kegiatan ini sangat menantang hati nurani saya dan juga tema-teman. Setiap bulan kami selalu antusias menunggu wilayah mana yang akan dituju.
***
Singkat kata kegiatan uji nyali ini, berjalan dengan baik selama beberapa tahun. Kami akhirnya bisa berkeliling ke berbagai tempat yang benar-benar luar biasa, baik itu menikmati lika-liku jalan pedesaan yang rusak minta ampun atau juga menikmati pemandangan alamnya yang super duper hits. Perjalanan demi perjalanan menyuguhkan kecantikan dan daya tarik yang benar-benar memikat jiwa!
Kami akhirnya menjejakan kaki pada tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah kami tahu sebagai "Orang Kota." Kebetulan mayoritas kegiatan ini kami lakukan di wilayah selatan Sumba Timur (Pinupahar-Tabundung-Kahali).
Sudah tentu akhirnya kami mengantungi banyak sekali pengalaman luar biasa dan juga bertemu dengan orang-orang luar biasa yang justru mengajari kami berbagai pengalaman hidup yang tidak mungkin kami lupakan begitu saja. kami menyadari bahwa ada begitu banyak orang diluar sana yang hidupnya jauh dan teramat lebih susah dari kehidupan kami. Secara pribadi saya benar-benar diajar untuk bagaimana selalu bersyukur yang sebenarnya! dan lebih peka lagi menjalani hidup sebagai mahkluk sosial.
***
Dari sekian tempat, rumah, dan orang yang pernah saya kunjungi ada satu yang selalu tersimpan dan membekas dihati saya. Keluarga itu biasa dipanggil keluarga "Ama nai Andi" di desa Mandas.
Bagi orang Sumba nama anak pertama akan selalu menjadi nama panggilan bagi orang tuanya. Sebagai contoh jika anak pertamanya bernama Andi yah sudah tentu ayahnya akan dipanggil "Ama nai Andi" yang artinya bapak dari si Andi.
Seharian penuh saya tinggal bersama mereka sebagai tamu tak diundang kemudian bermalam di rumah mereka.
Awalnya mereka menolak ketika saya meminta untuk ikutan kerja. Mereka bersikeras tidak mau.
"Pamali tamu ikut kerja!" sanggah Apu (nenek) di rumah keluarga itu.
Saya tidak kehabisan akal dan berhenti begitu saja. Akhirnya saya bilang "oke" kepada mereka agar tidak terlibat diskusi yang lebih jauh.
Kemudian saya bilang lagi "Saya tidak akan ikut kerja tapi jangan larang saya untuk ikut jalan-jalan melihat Bapa deng Mama dong kerja apa" Mereka setuju dan tak lagi bisa menolak. Saya pun terjun langsung ikut terlibat dalam kehidupan keseharian mereka secara penuh.
Sore hari setelah timba air dan potong rumput kuda kami istirahat lalu minum-minum kopi sambil makan ubi rebus di balai-balai rumah (teras ala rumah sumba).
Dalam cengkrama itu saya berupaya menggiring mereka agar terus menjaga perilaku hidup bersih sehat. Salah satunya agar WC yang sudah mereka bangun terus digunakan sebagaimana mestinya meski jarak untuk ambil air tidak main-main jauhnya (kira-kira 2km) dari lereng bukit di tepi kampung.
Sebelumnya saya telah coba ikut menimba air bersama Andi anak mereka. Bisa ditebak apa yang terjadi saya! Saya ngos-ngosan. Jantung rasanya hampir berhenti, hahaha.
Saya melanjutkan meminta mereka agar jangan lagi meniru para tetangga yang masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Resikonya besar, bisa terkena penyakit menular yang berbahaya bagi mereka sekampung. Sebelumnya, sepanjang hari saya telah melihat bahwa banyak warga yang belum punya jamban. Tampak mereka setuju, itu tergambar di wajah mereka yang tersenyum tanpa penolakan. Kami melewati waktu itu sambil melihat matahari tenggelam dengan begitu indah dibalik bebukitan yang mengelilingi desa.
***
Usai mandi. Saya melanjutkan beberapa obrolan dengan Andi, Bapa Andi juga Apu (nenek) dari Andi. Mereka bercerita tentang bagaimana tangan kiri Andi yang sebelah putus sejak ia masih kecil, kira-kira umur sepuluh tahun lalu akibat terkena alat rontok padi tetangga yang baru pertama kali dicoba waktu itu. Mereka bercerita dengan penuh haru dan juga ucap rasa syukur sebab nyawanya Andi masih tertolong.
"Tau su kami orang kampung, lihat alat baru, langsung coba-coba dekat dan main-main disitu akhirnya tangan putus, untung tidak mati karena Tuhan masih sayang" ucap Ama nai Andi.
Kalimat itu terekam jelas diingatan saya. Apalagi setelah menyimak raut wajah mereka yang terlihat begitu penuh kerendahan diri dalam menjalani kehidupan ini hanya dengan tawa. Aku tergelitik sebab mereka punya jurus untuk menertawakan masalah yang sudah dilewati. Bukankah banyak diantara kita yang tidak mampu menertawakan masalah? Begitu dapat cobaan kecenderungan kita adalah menggerutu bahkan memaki-maki keadaan.
"Biar tangan satu. Tapi sa kuat timba air setiap hari, bahkan hari ini sa timba air supaya Pak Petugas bisa WC di belakang" Canda Andi yang serta merta membuat kami semua pecah dalam tawa bahagia!
Sebelum pembicaraan kami berakhir sebab makan malam hampir tiba. Tiba-tiba Ama nai Andi titip sebuah wejangan buat saya.
"Umbu, kalau jadi orang besar nanti jangan mau jadi bos buat orang lain, cukup jadi kakak saja buat dorang (mereka)." Kata Ama nai Andi.
Saya benar-benar haru dan hampir saja meneteskan air mata. Untung saja karena kami pakai lampu pelita, Cahaya lampu yang sedikit suram membuat kusut mata menahan air mata tak terlihat jelas oleh mereka kala itu.
Bagi saya, Nasihat ini mengandung makna luar biasa. Kata-kata itu melekat bahkan menembus pecah dalam nurani. Kebetulan sehari sebelum mengunjungi mereka. Saya baru saja selesai membaca sebuah buku yang di dalamnya termuat sebuah kutipan bahwa "Pemimpin menciptakan Pemimpin, bukan Menciptakan Anak Buah"
Kata-kata Ama nai Andi jadi sebuah percikan api yang tiba-tiba membakar kesadaran diri saya di dalam batin.
Saya seolah tak percaya. Bagaimana mungkin kata-kata ini lahir dari lidah seorang rakyat jelata. Yang punya kerinduan dan mimpi tentang sebuah masa depan yang luar biasa.
Masa depan yang bisa menjadi saudara bagi mereka. Masa depan yang mampu merangkul sendi-sendi yang sudah lama terlupakan! Masa depan untuk bergandengan selamanya sebagai saudara bukan sekedar singgah-singgah. Bukankah banyak diantara kita yang sering salah kaprah soal kata merakyat! Konsep pikiran pemimpin harus menjadi keluarga adalah sebuah konsep tua yang kian hilang.
***
Akhirnya obrolan malam itu kami tutup dengan sebuah doa estafet. Saya mengawalinya lalu ditutup oleh Ama nai Andi untuk doa makan malam kami.
Jam sembilan malam. Apalagi yang yang bisa kami lakukan jika tak ada listrik dan sinyal di desa itu. Tidur adalah pilihan terbaik. Sebelum beranjak ke pembaringan. Saya bilang ke mereka ada sedikit oleh-oleh dari kota. Senter bertenaga matahari saya serahkan kepada mereka. Masing-masing satu. Saya bilang jangan ditolak ini sirih pinangnya orang kota. Semoga barang ini bermanfaat. Jika umur panjang, suatu hari nanti saya akan kembali berkunjung kesini, Tidak sebagai tamu lagi, tapi sebagai anak kalian. Jangan pernah berhenti berdoa.
Kisah kecil dari Mandahu (Mandas) ini adalah hadiah besar yang mengubah banyak hal dalam diri saya.
Waingapu, 2017.
(Semoga banyak orang meniru ini, namun jangan meniru utk mendulang suara, itu dosa alias ada U dibalik B😁😁😁😎)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI