Sebelumnya saya telah coba ikut menimba air bersama Andi anak mereka. Bisa ditebak apa yang terjadi saya! Saya ngos-ngosan. Jantung rasanya hampir berhenti, hahaha.
Saya melanjutkan meminta mereka agar jangan lagi meniru para tetangga yang masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Resikonya besar, bisa terkena penyakit menular yang berbahaya bagi mereka sekampung. Sebelumnya, sepanjang hari saya telah melihat bahwa banyak warga yang belum punya jamban. Tampak mereka setuju, itu tergambar di wajah mereka yang tersenyum tanpa penolakan. Kami melewati waktu itu sambil melihat matahari tenggelam dengan begitu indah dibalik bebukitan yang mengelilingi desa.
***
Usai mandi. Saya melanjutkan beberapa obrolan dengan Andi, Bapa Andi juga Apu (nenek) dari Andi. Mereka bercerita tentang bagaimana tangan kiri Andi yang sebelah putus sejak ia masih kecil, kira-kira umur sepuluh tahun lalu akibat terkena alat rontok padi tetangga yang baru pertama kali dicoba waktu itu. Mereka bercerita dengan penuh haru dan juga ucap rasa syukur sebab nyawanya Andi masih tertolong.
"Tau su kami orang kampung, lihat alat baru, langsung coba-coba dekat dan main-main disitu akhirnya tangan putus, untung tidak mati karena Tuhan masih sayang" ucap Ama nai Andi.
Kalimat itu terekam jelas diingatan saya. Apalagi setelah menyimak raut wajah mereka yang terlihat begitu penuh kerendahan diri dalam menjalani kehidupan ini hanya dengan tawa. Aku tergelitik sebab mereka punya jurus untuk menertawakan masalah yang sudah dilewati. Bukankah banyak diantara kita yang tidak mampu menertawakan masalah? Begitu dapat cobaan kecenderungan kita adalah menggerutu bahkan memaki-maki keadaan.
"Biar tangan satu. Tapi sa kuat timba air setiap hari, bahkan hari ini sa timba air supaya Pak Petugas bisa WC di belakang" Canda Andi yang serta merta membuat kami semua pecah dalam tawa bahagia!
Sebelum pembicaraan kami berakhir sebab makan malam hampir tiba. Tiba-tiba Ama nai Andi titip sebuah wejangan buat saya.
"Umbu, kalau jadi orang besar nanti jangan mau jadi bos buat orang lain, cukup jadi kakak saja buat dorang (mereka)." Kata Ama nai Andi.
Saya benar-benar haru dan hampir saja meneteskan air mata. Untung saja karena kami pakai lampu pelita, Cahaya lampu yang sedikit suram membuat kusut mata menahan air mata tak terlihat jelas oleh mereka kala itu.
Bagi saya, Nasihat ini mengandung makna luar biasa. Kata-kata itu melekat bahkan menembus pecah dalam nurani. Kebetulan sehari sebelum mengunjungi mereka. Saya baru saja selesai membaca sebuah buku yang di dalamnya termuat sebuah kutipan bahwa "Pemimpin menciptakan Pemimpin, bukan Menciptakan Anak Buah"Â