Kata-kata Ama nai Andi jadi sebuah percikan api yang tiba-tiba membakar kesadaran diri saya di dalam batin.
Saya seolah tak percaya. Bagaimana mungkin kata-kata ini lahir dari lidah seorang rakyat jelata. Yang punya kerinduan dan mimpi tentang sebuah masa depan yang luar biasa.
Masa depan yang bisa menjadi saudara bagi mereka. Masa depan yang mampu merangkul sendi-sendi yang sudah lama terlupakan! Masa depan untuk bergandengan selamanya sebagai saudara bukan sekedar singgah-singgah. Bukankah banyak diantara kita yang sering salah kaprah soal kata merakyat! Konsep pikiran pemimpin harus menjadi keluarga adalah sebuah konsep tua yang kian hilang.
***
Akhirnya obrolan malam itu kami tutup dengan sebuah doa estafet. Saya mengawalinya lalu ditutup oleh Ama nai Andi untuk doa makan malam kami.
Jam sembilan malam. Apalagi yang yang bisa kami lakukan jika tak ada listrik dan sinyal di desa itu. Tidur adalah pilihan terbaik. Sebelum beranjak ke pembaringan. Saya bilang ke mereka ada sedikit oleh-oleh dari kota. Senter bertenaga matahari saya serahkan kepada mereka. Masing-masing satu. Saya bilang jangan ditolak ini sirih pinangnya orang kota. Semoga barang ini bermanfaat. Jika umur panjang, suatu hari nanti saya akan kembali berkunjung kesini, Tidak sebagai tamu lagi, tapi sebagai anak kalian. Jangan pernah berhenti berdoa.
Kisah kecil dari Mandahu (Mandas) ini adalah hadiah besar yang mengubah banyak hal dalam diri saya.
Waingapu, 2017.
(Semoga banyak orang meniru ini, namun jangan meniru utk mendulang suara, itu dosa alias ada U dibalik B😁😁😁😎)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI