Mohon tunggu...
Lilis Juwita
Lilis Juwita Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Painting, Art, Poem, Short Story n Graphic Design That's Really Me. Aku bukan Wonder Woman, aku juga bukan Kartini, aku bukan Bidadari tanpa Sayap, aku bukan satu dari 7 Selendang Pelangi yang hilang, aku cuma perempuan yang takut panas, debu dan kucing. Aku cuma perempuan yang “Tak Biasa” ♪♫•*¨*•.¨*•♫♪♪♫•*¨*•.¨*•♫♪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku di antara Abi dan Ummi

20 Mei 2019   11:23 Diperbarui: 21 Mei 2019   10:08 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu tahu siapa yang kamu panggil Abi, kamu tahu Abi itu masih punya istri?" begitu sebagian rentetan pertanyaan sempat terdengar dari suara di seberang telepon seluler yang baru saja memaksaku tersadar dari tidur pulas pagi itu.

"Ibu sudah selesai bicaranya?" tanyaku beberapa saat kemudian. Suara seorang perempuan masih meledak-ledak dengan amarahnya jelas terdengar dari helaan napasnya yang tak beraturan. Kemudian menutup pembicaraan dengan kasar.

Dia menyebut Abi, panggilanku untuk seorang pria yang hampir setahun ini bisa dikatakan mempunyai hubungan khusus denganku. Apakah itu suara Ummi yang tidak lain adalah istri Abi? Benakku mulai mencari jawaban tentang siapa yang baru saja menelepon.

Telepon pagi itu seperti Alarm yang tidak hanya memaksaku bangun, tetapi juga membuka mata lebar-lebar memandangi cermin yang mulai menelanjangi dengan sikap permisifku selama ini.

Di mana Dinda yang dulu sangat menentang dan mengutuk habis perempuan yang menjadi orang ketiga, Dinda yang tak pernah sepaham dengan posisi perempuan idaman lain dan saat ini tanpa sengaja memerankan tokoh itu? Ribuan pertanyaan seolah menyerbu sosok yang ada di balik cermin.

Satu pekan setelah telepon itu, Abi tak pernah menghubungiku. Aku semakin yakin tentang siapa penelepon itu. Tetapi aku tak punya cukup keberanian untuk memberitahukan atau mengadukan kejadian pagi itu. Seperti biasa aku lebih baik menunggu kabar dari Abi.

Aku mengenal Pak Adam hampir dua tahun yang lalu ketika aku diminta bantuan untuk membuatkan web perusahaannya. Ia adalah sosok yang cukup sopan sehingga dengan mudah aku merasa nyaman bekerja sama dengan perusahaannya tak terkecuali Pak Adam secara pribadi. Tugasku kemudian bertambah tak hanya mengelola web perusahaannya, sering kali Pak Adam memintaku menyiapkan bahan presentasi, skrip untuk pers konferen dan lain-lain karena menurutnya skrip yang aku buat mudah dipahami ketika ia sampaikan di depan koleganya. Sehingga untuk memudahkan ketika ia membutuhkan pekerjaanku pada akhirnya aku hampir selalu diminta ikut ke mana pun ia pergi.

Caranya memperlakukan aku dengan sopan sehingga aku pun selalu hormat padanya. Begitu pula ketaatan melaksanakan ajaran agama semakin menambah kekagumanku pada sosoknya. Setahun aku bekerja padanya sekalipun ia tak pernah mengusik hal-hal yang bersifat pribadi. Mungkin itu bentuk sikap profesional yang ingin ia tunjukkan kepada semua karyawan, begitu pula kepada aku.

"Dinda, besok kita bertemu dengan klien kita yang akan memberikan investasi cukup besar untuk tambak udang di Banyuwangi, termasuk pengembangan tambak baru di Pangandaran, tolong siapkan berkas-berkasnya." perintahnya tanpa mengalihkan perhatian dari secangkir black coffee yang ada dalam genggamannya. 

"Baik pak sudah disiapkan, ada beberapa hal lagi yang masih harus diperbaiki." seperti biasa pandanganku tak pernah benar-benar lurus padanya.

"Dinda, bisa duduk sebentar?" pinta Pak Adam.

"Iya pak, ada lagi yang bisa dibantu?" pertanyaanku dijawab dengan gelengan kepala.

"Kamu duduk di sini, ada yang ingin saya sampaikan." sambil menunjuk kursi di depannya.

"Baik pak." jawabku ragu namun tetap menuju kursi kemudian terduduk diam, dan masih terus menundukkan pandangan.

"Saya merasa senang ketika kamu bersama saya."

"Sudah menjadi tugas saya pak. Saya juga merasa senang jika semua pekerjaan sesuai dengan yang bapak harapkan." jawabku berusaha keras untuk tetap nyaman selama duduk begitu dekat dengannya.

"Bukan itu maksud saya." beberapa saat Pak Adam terdiam.

"Saya belum mengerti pak." aku masih belum memahami ke mana arah pembicaraannya.

"Dinda, kamu sudah hampir satu tahun menemani saya, menyiapkan semua keperluan untuk menyelesaikan pekerjaan saya." Pak Adam kembali diam.

Aku mulai membuang jauh-jauh segala prasangka tentang apa yang sebenarnya Pak Adam bicarakan. Dan ia semakin berhati-hati menyampaikan maksud obrolannya kali ini.

"Dinda, kamu tahu berapa usia saya?"

"Tahun depan usia saya sudah menginjak empat puluh lima tahun dan saya belum mempunyai keturunan." helaan nafasnya berat seperti menghempaskan beban di dada.

"Kamu pasti bertanya siapa Putri yang selama ini dikenal sebagai puteri tunggal kami, Putri adalah anak perempuan kakak iparku, yang sejak lahir kami rawat." lanjutnya.

"Saya menikahi Bu Mirna ketika usia saya masih sangat muda, saat itu baru lulus STM waktu mulai bekerja sebagai asisten mekanik di tambak udang yang sekarang dipercayakan kepada saya. Bu Mirna sudah menjadi karyawati senior tepatnya bagian keuangan di perusahaan." tatapannya seperti menerawang jauh pada titik-titik masa yang ia lewati.

"Sejak kecil saya tinggal bersama kakak tertua di pulau Jawa, setelah lulus sekolah kemudian memutuskan merantau hingga ke Banyuwangi seorang diri. Lalu saya mengalami masa-masa sulit, kemudian jatuh sakit cukup parah dan jauh dari kedua orang tua yang berada di pulau Sumatera tepatnya di Bengkulu. Hanya Bu Mirna yang selalu ada dan merawat saya hingga sembuh dari sakit." aku hanya mengangguk meski belum juga paham ke mana arah jalan pembicaraan Pak Adam.

"Dinda, saya tahu kamu belum mengerti maksud dan tujuan saya bicara soal itu." Pak Adam meneguk habis sisa kopi yang tinggal separuh.

"Saya membicarakan hal yang sangat pribadi dalam hidup saya, supaya kamu lebih paham keadaan saya saat ini." lanjutnya dengan raut muka yang sedikit lebih tenang.

"Dinda, saya menginginkan keturunan dalam pernikahan saya. Bu Mirna tidak mungkin memberikannya kepada saya pada usianya sekarang."

"Selain itu saya juga membutuhkan pendamping yang bisa memahami semua keperluan saya dalam menjalankan perusahaan sebesar ini, dan saya menemukan itu semua dalam diri kamu."

"Saya tidak ingin kebersamaan kita di luar kota menjadi fitnah. Dinda, maukah kamu menjadi istri saya?" pintaya tanpa basa basi.

Mendengar kalimat terakhir, membuat sekujur tubuhku bergeming, diam seperti patung. Beberapa saat napasku seolah berhenti lalu tersadar dan mendapati bahwa aku tidak sedang bermimpi. Apakah ini petunjuk_Mu ya Allah? inikah jawaban dari do'a yang dipanjatkan kepada_Mu setiap sujud malamku untuk segera mendapatkan pendamping hidup? Setiap kali aku meminta seorang Imam dalam menjalani hidup ini? Tapi kenapa harus Pak Adam?

"Saya tahu kamu belum siap menerima permintaan saya tadi, kamu tidak perlu menjawabnya saat ini juga. Tapi saya mohon pertimbangkan dengan sebaik-baiknya." tebakan Pak Adam benar-benar membuatku tidak bisa menjawab permintaannya.

"Saya pamit dulu Pak." hanya itu yang bisa keluar dari mulutku setelah semua pertanyaan yang berdesakan memenuhi kepalaku seperti berlompatan ikut bergegas meninggalkan ruang kerja Pak Adam.

Aku yang selama ini meminta dan memohon disegerakan mendapat pasangan hidup. Ketika dihadapkan pada pilihan yang baru saja ditawarkan Pak Adam, aku sendiri menjadi bingung dan tak tahu apa yang harus diputuskan. Apakah menolaknya sama dengan menolak kehendak Allah karena aku telah benar-benar meminta pada Nya? Atau menerimanya dengan resiko  menjadi orang ketiga dalam sebuah ikatan pernikahan demikian sebutan lebih halus dibanding istilah saat ini yang menurutku cukup keji yaitu sebagai pelakor. Benarkah ini adalah bagian dari rencana_Mu? Benarkah ini ketentuan terbaik untukku? Hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Malam itu pekerjaan kantor kukerjakan dengan perasaan berkecamuk yang saling berdebat hebat antara aku dan diriku.

Keesokan harinya aku hampir kesiangan karena terlambat tidur. Melihat tidak ada perubahan sikap Pak Adam pagi itu membuatku sedikit lega, semoga permintaan tadi malam tidak benar-benar ia inginkan atau sekedar mengujiku sebagai karyawan.

"Dinda, pekan depan kita berangkat ke Bogor. Kamu siapkan supaya tidak ada agenda pada hari itu." Perintah Pak Adam yang tidak mungkin kutolak, padahal ingin sekali menghilang sejenak dari pandangan atasanku ini. Dan aku hanya bisa mengiyakan perintah tersebut. Hari itu aku pamit pulang cepat dengan alasan kurang sehat.

Sepekan kemudian seperti biasa bila harus bertemu klien atau rekan kerja Pak Adam, aku mempersiapkan semua keperluan beliau layaknya kantor berjalan. Aku berangkat dari kotaku, satu jam menunggu di Stasiun Kereta Api Kejaksan Cirebon sebelum kereta yang membawa pak Adam dari Surabaya akhirnya datang juga. Aku menaiki kereta yang sama, gerbong yang sama dan tempat duduk yang bersebelahan melanjutkan perjalanan selama dua setengah jam menuju Jakarta.

"Dinda, kamu masih ingat permintaan saya beberapa waktu yang lalu?" Pak Adam memecah keheningan di antara kami.

"Iya Pak, saya masih ingat." Bagaimana mungkin aku lupa dengan permintaan yang menyita seluruh konsentrasiku malam itu.

"Bagaimana, sudah kamu pertimbangkan?" lanjutnya.

"Saya masih bingung menjawabnya." jawabku.

"Saya paham, karena ini keputusan besar dalam dalam hidupmu."

"Saya tidak ingin menyakiti hati Bu Mirna, meskipun saya belum pernah bertemu beliau."

"Untuk itulah saya ingin mengajakmu bertemu dengan seorang Ustadz dan istrinya mereka sahabat baik saya di Bogor sekaligus ziarah ke maqam guru ngaji saya yang letaknya tak jauh dari pondok pesantren tempat mereka tinggal."

"Jadi perjalanan kali ini bukan untuk urusan pekerjaan?"

"Bukan, dan saya minta maaf karena tidak memberi tahu sebelumnya."

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam, hanya mendengarkan penjelasan bagaimana keseriusan niatnya menikahiku.

"Dinda, saya ingin kamu bahagia. Panggil saya Abi dan panggil Bu Mirna dengan sebutan Ummi seperti Putri memanggil kami."

"Baik Pak Adam, eh Abi maksud saya."

"Nah seperti itu terdengar lebih baik." ucapnya setengah menggodaku. Sejak awal pembicaraan aku merasa ada yang berbeda, suara Pak Adam terdengar lebih lembut dari biasanya. Membuat aku berusaha keras untuk tidak terhanyut oleh kelembutannya.

Sesampai di Bogor kami disambut oleh Ustadz Khaerul dan istri beliau yang menerimaku dengan baik. Ummu Asiyah begitu beliau memperkenalkan diri, ia adalah istri ketiga Ustadz Khaerul yang usianya tidak jauh berbeda dengan usiaku. Setelah beberapa saat melepas lelah petang itu aku diajak ke sebuah majelis kajian. Entah sengaja dipersiapkan atau kebetulan pada kajian itu panjang lebar membahas hukum Islam dan segala sesuatu yang tentang pernikahan tak terkecuali mengupas pandangan Islam tentang poligami.

Subahanallah takjub dan salut kepada perempuan-perempuan yang bisa ikhlas menerima dan menjalani poligami. Apakah aku akan mencapai tingkat ketaatan dan keikhlasan seperti mereka? Betapa mulia perempuan-perempuan yang rela membagi hati dan cintanya dengan perempuan lain.

Sejak kepulangan kami dari Bogor banyak yang berubah terutama sikap dan perhatian Abi yang semakin bertambah. Entahlah mungkin aku pun sudah mulai menerima kehadiran dia dalam hidupku. Tentu dengan sikap profesionalku tetap menjaga nama baiknya di depan semua klien dan karyawan yang lain.

"Dinda, jangan kirim pesan ke nomor Abi." begitu pesan singkat yang aku terima siang itu.

"Alhamdulillah operasi Abi kemarin berjalan lancar, hari ini sudah pulang." esok harinya menyusul pesan singkat menjelaskan keadaan yang sempat membuatku bertanya-tanya. Demikian aku hampir selalu dibuat harap-harap cemas dengan keadaannya. Dan harus menutup rapat kecemasanku itu.

Ketaatanku membuat aku selalu menjaga diri untuk tidak menunjukkan kedekatan kami. Seperti pagi itu aku memilih diam menunggu kabar Abi, ada apa dengan Ummi yang begitu marah? Apakah Abi sudah menyampaikan pada Ummi tentang niatnya menikahiku?

Sudah sepekan berlalu, belum juga ada kabar dari Abi. Malam-malam penantian itu kupenuhi dengan memohon ampunan, dalam setiap Istikharah tak lelah aku meminta ditunjukkan jalan terbaik untukku. Keikhlasanku telah membangun keyakinan untuk memutuskan pilihanku. Tentunya atas ijin Allah.

Tanpa menunggu kabar lebih lama lagi aku putuskan untuk berhenti bekerja, aku kembali ke kotaku. Aku yakin dengan semua keputusanku dan bila Allah meridhoi pasti selalu ada jalan lain untuk penghidupanku.

"Ummi, maafkan aku telah melukaimu, tetapi aku bukan perempuan yang hanya mengincar harta benda Abi semata seperti yang Ummi tuduhkan. Dan aku bukan Pelakor seperti yang Ummi tudingkan karena aku tak pernah melakukan perbuatan keji itu."

"Abi, maafkan aku tak bisa memenuhi permintaanmu, aku sayang Abi tetapi Ummi lebih membutuhkan Abi di sisinya. Biarkan aku melanjutkan perjalananku, ikhlaskan aku mencari pintu Surga yang lain meskipun akan sulit bagiku untuk menempuhnya."

Berbagi itu tak mudah, karena aku juga terluka...

Majalengka, 12 Mei 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun