"Dinda, jangan kirim pesan ke nomor Abi." begitu pesan singkat yang aku terima siang itu.
"Alhamdulillah operasi Abi kemarin berjalan lancar, hari ini sudah pulang." esok harinya menyusul pesan singkat menjelaskan keadaan yang sempat membuatku bertanya-tanya. Demikian aku hampir selalu dibuat harap-harap cemas dengan keadaannya. Dan harus menutup rapat kecemasanku itu.
Ketaatanku membuat aku selalu menjaga diri untuk tidak menunjukkan kedekatan kami. Seperti pagi itu aku memilih diam menunggu kabar Abi, ada apa dengan Ummi yang begitu marah? Apakah Abi sudah menyampaikan pada Ummi tentang niatnya menikahiku?
Sudah sepekan berlalu, belum juga ada kabar dari Abi. Malam-malam penantian itu kupenuhi dengan memohon ampunan, dalam setiap Istikharah tak lelah aku meminta ditunjukkan jalan terbaik untukku. Keikhlasanku telah membangun keyakinan untuk memutuskan pilihanku. Tentunya atas ijin Allah.
Tanpa menunggu kabar lebih lama lagi aku putuskan untuk berhenti bekerja, aku kembali ke kotaku. Aku yakin dengan semua keputusanku dan bila Allah meridhoi pasti selalu ada jalan lain untuk penghidupanku.
"Ummi, maafkan aku telah melukaimu, tetapi aku bukan perempuan yang hanya mengincar harta benda Abi semata seperti yang Ummi tuduhkan. Dan aku bukan Pelakor seperti yang Ummi tudingkan karena aku tak pernah melakukan perbuatan keji itu."
"Abi, maafkan aku tak bisa memenuhi permintaanmu, aku sayang Abi tetapi Ummi lebih membutuhkan Abi di sisinya. Biarkan aku melanjutkan perjalananku, ikhlaskan aku mencari pintu Surga yang lain meskipun akan sulit bagiku untuk menempuhnya."
Berbagi itu tak mudah, karena aku juga terluka...
Majalengka, 12 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H