"Saya pamit dulu Pak." hanya itu yang bisa keluar dari mulutku setelah semua pertanyaan yang berdesakan memenuhi kepalaku seperti berlompatan ikut bergegas meninggalkan ruang kerja Pak Adam.
Aku yang selama ini meminta dan memohon disegerakan mendapat pasangan hidup. Ketika dihadapkan pada pilihan yang baru saja ditawarkan Pak Adam, aku sendiri menjadi bingung dan tak tahu apa yang harus diputuskan. Apakah menolaknya sama dengan menolak kehendak Allah karena aku telah benar-benar meminta pada Nya? Atau menerimanya dengan resiko menjadi orang ketiga dalam sebuah ikatan pernikahan demikian sebutan lebih halus dibanding istilah saat ini yang menurutku cukup keji yaitu sebagai pelakor. Benarkah ini adalah bagian dari rencana_Mu? Benarkah ini ketentuan terbaik untukku? Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Malam itu pekerjaan kantor kukerjakan dengan perasaan berkecamuk yang saling berdebat hebat antara aku dan diriku.
Keesokan harinya aku hampir kesiangan karena terlambat tidur. Melihat tidak ada perubahan sikap Pak Adam pagi itu membuatku sedikit lega, semoga permintaan tadi malam tidak benar-benar ia inginkan atau sekedar mengujiku sebagai karyawan.
"Dinda, pekan depan kita berangkat ke Bogor. Kamu siapkan supaya tidak ada agenda pada hari itu." Perintah Pak Adam yang tidak mungkin kutolak, padahal ingin sekali menghilang sejenak dari pandangan atasanku ini. Dan aku hanya bisa mengiyakan perintah tersebut. Hari itu aku pamit pulang cepat dengan alasan kurang sehat.
Sepekan kemudian seperti biasa bila harus bertemu klien atau rekan kerja Pak Adam, aku mempersiapkan semua keperluan beliau layaknya kantor berjalan. Aku berangkat dari kotaku, satu jam menunggu di Stasiun Kereta Api Kejaksan Cirebon sebelum kereta yang membawa pak Adam dari Surabaya akhirnya datang juga. Aku menaiki kereta yang sama, gerbong yang sama dan tempat duduk yang bersebelahan melanjutkan perjalanan selama dua setengah jam menuju Jakarta.
"Dinda, kamu masih ingat permintaan saya beberapa waktu yang lalu?" Pak Adam memecah keheningan di antara kami.
"Iya Pak, saya masih ingat." Bagaimana mungkin aku lupa dengan permintaan yang menyita seluruh konsentrasiku malam itu.
"Bagaimana, sudah kamu pertimbangkan?" lanjutnya.
"Saya masih bingung menjawabnya." jawabku.
"Saya paham, karena ini keputusan besar dalam dalam hidupmu."