Oleh: Aditya Salim
Menjelang berakhirnya masa kepresidenan periode pertama Presiden Joko Widodo, publik kembali dipertontonkan pada selisih pendapat antara Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman mengenai pengelolaan kawasan Teluk Benoa.Â
Semua diawali dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 ("Perpres 51/2014") yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 ("Perpres 45/2011"), yang di dalamnya terdapat pasal mengenai dapat dilaksanakannya reklamasi seluas 700 Hektar di Teluk Benoa.Â
Baru-baru ini, Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 46 Tahun 2019 ("KepmenKP 46/2019") yang menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi Maritim. Bagaimanakah sebenarnya isu ini dari kacamata hukum?
Sebelum masuk ke pembahasan, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Pertama, tulisan ini murni merupakan pendapat pribadi yang jauh dari sempurna dan ditujukan sematamata untuk menjadi bahan diskursus.Â
Kedua, Tulisan ini juga tidak mencari kesalahan siapapun, namun berusaha mencari sebuah solusi untuk kondisi yang sudah terjadi saat ini.Â
Ketiga, Isu Teluk Benoa berkaitan dengan banyak ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga tulisan ini akan menjadi cukup kompleks mengingat banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.Â
Keempat, sebagai pihak yang tidak terlibat langsung dalam penyusunan berbagai produk hukum terkait tata ruang di Provinsi Bali, penulis meyakini banyak informasi rinci yang tidak dapat penulis peroleh dari berbagai sumber daring.Â
Hal ini dapat menyebabkan penulis tidak dapat mengambil kesimpulan akhir dari beberapa isu yang akan dianalisis. Masukan dari para pembaca, yang mungkin pernah terlibat dalam proses penyusunan rencana tata ruang atau rencana zonasi pesisir akan dapat melengkapi dan menyempurnakan tulisan ini.
Sebagaimana telah disampaikan, terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan terkait dengan isu ini. Ada baiknya kita memahami terlebih dahulu hierarki dari dua produk hukum ini dan beberapa Undang-Undang lain yang berkaitan.
Pertama, Perpres 51/2014 yang mengubah Perpres 45/2011 merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 ("PP 26/2008") tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 ("PP 13/2017"). PP 26/2008 dan PP 13/2017 adalah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ("UU 26/2007").
Kedua, KepmenKP 46/2019 merupakan turunan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2008 ("PermenKP 17/2008") tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.Â
PermenKP 17/2008 merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ("UU 27/2007") tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 ("UU 1/2014").
Selain kedua hierarki tersebut di atas, analisis pada tulisan ini juga akan mengkaitkan beberapa ketentuan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ("UU 23/2014") tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ("UU 12/2011") tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (yang berdasarkan informasi telah disahkan perubahannya namun belum diundangkan), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ("UU 32/2009") tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 ("Perpres 122/2012") tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Tentang Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014
Perpres 45/2011 berjudul Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Peraturan Presiden ini pada intinya mengatur hal-hal terkait pengelolaan kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) yang oleh PP 26/2008 telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (lihat Lampiran X PP 26/2008 Nomor 35).Â
Polemik mulai muncul pada saat Perpres 51/2014 mengubah Teluk Benoa yang awalnya merupakan Kawasan Konservasi Perairan (masuk dalam Zona L3 menurut Perpres 45/2011) menjadi Zona P (Zona Penunjang menurut Perpres 51/2014) yang mana terhadapnya dapat dilakukan reklamasi seluas 700 Hektar.
Tentang KepmenKP 46 Tahun 2019
KepmenKP 46 Tahun 2019 menetapkan kawasan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi Maritim pada kategori Daerah Perlindungan Budaya Maritim.Â
Menurut PermenKP 17/2008, untuk dapat menjadi Daerah Perlindungan Budaya Maritim sebuah area harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (i) tempat tenggelamnya kapal yang mempunyai nilai arkeologi-historis khusus; (ii) situs sejarah kemaritiman yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan pelestarian dan pemanfaatan guna memajukan kebudayaan nasional; dan (iii) tempat ritual keagamaan atau adat.
Lebih lanjut, di dalam Daerah Perlindungan Budaya Maritim Teluk Benoa seluas 1.243,41 Hektar ini ditetapkan 15 titik Zona Inti yang masing-masing memiliki radius 50 sentimeter dan Zona Pemanfaatan Terbatas. Pengelolaan Daerah Perlindungan Budaya Maritim ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
Tentang "morat-marit"nya
Gubernur Bali baru-baru ini menyatakan bahwa dengan terbitnya KepmenKP 46 Tahun 2019, maka kegiatan reklamasi akan berhenti. Jika melihat pada ketentuan Pasal 32 PermenKP 17/2008, hanya kegiatan-kegiatan tertentu saja yang dapat dilakukan baik di dalam Zona Inti maupun Zona Pemanfaatan Terbatas dari sebuah Kawasan Konservasi Maritim.Â
Reklamasi untuk pembangunan hotel dan lain-lain tidak termasuk salah satunya. Namun demikian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman juga baru-baru ini menyatakan bahwa reklamasi tidak otomatis berhenti karena Perpres 51/2014 masih berlaku.
Kondisi ini patut kita sayangkan, karena menciptakan ketidakpastian hukum. Awam dapat mengatakan bahwa KepmenKP 46/2019 bertentangan dengan hukum karena menurut Pasal 7 UU 12/2011 Kedudukan Peraturan Presiden lebih tinggi dibanding Keputusan Menteri. Sejatinya hal ini tidak sesederhana itu.Â
Mengapa? Pasal 7 UU 12/2011 tidak menyebutkan dimana kedudukan "Keputusan Menteri" dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena memang "Keputusan" sejatinya bukan "Peraturan". Sifat kedua produk hukum ini berbeda, dimana keputusan bersifat einmahlig (individual, konkret, sekali selesai) dan peraturan bersifat dauerhaftig (umum, abstrak, terus menerus).
Bukan hal hierarki yang perlu diperdebatkan saat ini, karena baik keputusan dan peraturan, saat ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sama-sama memiliki daya laku.Â
Untuk menghilangkan daya laku ini perlu dilakukan pencabutan baik oleh pejabat penerbit maupun lembaga peradilan (mekanisme judicial review).Â
Menurut penulis, hal yang paling penting saat ini adalah memahami bagaimana sistem dari berbagai peraturan perundang-undangan untuk menentukan langkah-langkah yang dapat ditempuh.
Analisis 1: Perubahan Perpres 45/2011
Perubahan regulasi adalah sebuah hal yang lumrah terjadi. Namun demikian perubahan itu harus dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan salah satunya adalah tidak mengabaikan hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU 12/2011.
Secara spesifik, UU 26/2007 juga mengatur bagaimana hak, kewajiban serta peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Pasal 65 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa, "Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat."Â
Lebih lanjut pada ayat (2) disebutkan, "Peran masyarakat dalam penataan ruang ... dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;..."
Sejauh penulis telusuri, keberatan masyarakat Bali terhadap reklamasi Teluk Benoa telah muncul sejak tahun 2013. Penulis tidak dapat menemukan informasi lebih rinci terkait justifikasi pemerintah menerbitkan Perpres 51/2014 meski penolakan terus menerus datang dari masyarakat. Apakah penyusunan Perpres 51/2014 benar-benar telah melibatkan masyarakat?
Analisis 2: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perpres 45/2011 berlaku pada tanggal 27 Juli 2011 dan Perpres 51/2014 berlaku pada tanggal 3 Juni 2014. UU 32/2009 telah berlaku sebelum terbitnya Perpres 45/2011. UU 32/2009 mengamanatkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta masyarakat untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan melaksanakan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum (Pasal 4 UU 32/2009).
Tahap perencanaan dilaksanakan dengan kegiatan inventarisasi (tingkat nasional, kepulauan dan tingkat wilayah ekoregion), penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (RPPLH) di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. RPPLH merupakan dokumen yang menjadi acuan dalam pemanfaatan dan pengendalian lingkungan hidup.Â
Pada tahap pengendalian pemerintah diwajibkan untuk menyusun sebuah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Pasal 15 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib menyertakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang wilayah, beserta rencana rincinya.Â
Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 19 UU 32/2009, "Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup ... setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS."
Penulis berusaha menelusuri lebih lanjut apakah penyusunan Perpres 51/2014 sudah menyertakan juga hal-hal yang disusun dalam KLHS? Sayangnya, penulis tidak dapat menemukan berita atau informasi mengenai KLHS di wilayah Provinsi Bali dan bagaimana KLHS tersebut kemudian disertakan dalam pembahasan dan penyusunan Perpres 51/2014.Â
Kuat dugaan penulis bahwa belum ada KLHS pada saat Perpres 51/2014 disusun. Hal ini dikarenakan peraturan pelaksanaan mengenai KLHS, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 baru terbit tanggal 31 Oktober 2016.Â
Peraturan lebih teknisnya lagi, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis juga baru terbit pada 29 Desember 2017. Tidak ada instrumen hukum yang cukup jelas mengenai KLHS di periode penyusunan Perpres 51/2014.Â
Namun demikian, yang jelas UU 26/2007 sudah memberikan rambu-rambu mengenai lingkungan hidup dalam penyusunan rencana tata ruang, antara lain Pasal 6 UU 26/2007 yang berbunyi, "Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan: ... b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ..." Selain itu, Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 25 juga telah menyebutkan bahwa Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten wajib untuk memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Rambu-rambu tentang lingkungan hidup ini juga tercantum dalam Perpres 122/2012 tentang reklamasi. Di dalam perpres tersebut diamanatkan adanya Rencana Induk Reklamasi yang wajib memperhatikan KLHS. Juga disebutkan di dalam Pasal 4 ayat (3) bahwa penentuan lokasi reklamasi dan lokasi sumber material wajib memepertimbangkan aspek, salah satunya adalah lingkungan hidup.
Disini publik jelas perlu mempertanyakan alasan-alasan diubahnya status Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi Zona Penunjang yang terhadapnya dapat dilaksanakan reklamasi. Adakah pertimbangan mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pengambilan kebijakan ini?
Analisis 3: Ruang Lingkup dan lex specialis derogat legi generali
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Perpres 51/2014 jo. Perpres 45/2011 merupakan produk turunan dari PP 26/2008 jo. PP 13/2007 yang merupakan turunan dari UU 26/2007. Di dalam UU 26/2007, khususnya pada Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) disebutkan bahwa Penataan Ruang, baik Nasional (ayat (3)) maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota (ayat (4)) meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara.Â
Namun demikian, Pasal 6 ayat (5) mengatur lebih lanjut bahwa Ruang Laut dan Ruang Udara, pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Dari ketentuan ayat-ayat ini, maka kita ketahui dengan jelas bahwa cakupan UU 26/2007 adalah ruang darat. Namun sampai manakah batasan konkrit "ruang darat" itu?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, kita merujuk pada Pasal 2 UU 27/2007 jo. UU 1/2014 yang berbunyi: "Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai."Â
Artinya, dari ketentuan UU 26/2007 dan UU 27/2007 jo. UU 1/2014 dapat kita simpulkan bahwa ruang lingkup berlakunya UU 26/2007 adalah seluruh daratan sampai pada wilayah kecamatan sebelum kecamatan yang berbatasan dengan pantai. Dan ruang lingkup UU 27/2007 jo. UU 1/2014 adalah wilayah kecamatan yang berbatasan dengan pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai (penjelasan Pasal 14 ayat (6) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa "garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi").
Penjelasan umum UU 27/2007 jo. UU 1/2014 juga menyatakan bahwa, "Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disusun ... dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam ... Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil yang akan dimuat (dalam UU ini) difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada, atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan."Â
Membaca uraian ini, artinya UU 27/2007 jo. UU 1/2014 adalah lex specialis dari UU 26/2007, atau dapat dikatakan UU 27/2007 jo. UU 1/2014 mengatur secara spesifik "tata ruang" wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sekarang mari kita lihat Perpres 45/2011 jo Perpres 51/2014. Pasal 53 ayat (2) huruf c Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 mengatur adanya Zona L3. Menurut pasal tersebut, Zona L3 adalah Zona yang merupakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terdapat pasal-pasal lanjutan mengenai Zona L3 dalam Perpres ini.Â
Artinya Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 ini mengatur sampai pada wilayah pesisir, padahal sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa UU 26/2007 tidaklah mencakup wilayah pesisir. Pertanyaannya, salahkah Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 ini?
Jawabannya tidak. Pasal 15 UU 26/2007 menyebutkan bahwa "Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi." Jadi dalam sebuah dokumen RTRW pasti tercantum juga perencanaan tata ruang laut. Yang perlu diperhatikan adalah terdapat mekanisme khusus sehingga perencanaan tata ruang laut tersebut dapat masuk ke dalam dokumen RTRW.
Dari ketentuan Pasal 6 dan Pasal 15 UU 26/2007 serta Pasal 2 dan penjelasan umum UU 27/2007 jo. UU 1/2014 dapat kita simpulkan bahwa sebuah dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah yang utuh adalah gabungan dari tata ruang darat berdasarkan UU 26/2007 dan kemudian tata ruang pesisir berdasarkan UU 27/2007 jo. UU 1/2014 serta tata ruang udara dan tata ruang bumi.
Bagaimana pelaksanaannya? Penyusunan tata ruang pesisir berdasarkan Pasal 5 UU 27/2007 jo. UU 1/2014 dilakukan dengan tahapan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Pada tahap perencanaan diperlukan penyusunan 4 dokumen, yaitu: (i) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K); (ii) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K); (iii) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K); dan (iv) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K).
RZWP3K, mengacu pada Pasal 9 ayat (2) UU 27/2007 jo. UU 1/2014 harus diserasikan, diselaraskan dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU 27/2007 jo. UU 1/2014 menyebutkan bahwa RZWP3K Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan bagian dari Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selanjutnya, berbicara mengenai reklamasi, Pasal 4 ayat (1) Perpres 122/2012 telah mengatur bahwa penentuan lokasi untuk reklamasi dilakukan berdasarkan RZWP3K Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.
Pertanyaannya sekarang, apakah pada saat Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 disusun sudah menyerasikan, menyelaraskan dan menyeimbangkan dengan RZWP3K Provinsi Bali? Apakah penetapan Teluk Benoa sebagai wilayah yang dapat direklamasi sudah didasarkan pada dengan Rencana Induk Reklamasi? Sejauh penulis telusuri, sampai saat ini Provinsi Bali belum memiliki RZWP3K. Rencana Induk Reklamasi pun belum ada sampai saat ini.
Analisis 4: Bagaimanakah KepmenKP 46/2019?
Dalam berbagai berita, disebutkan bahwa penetapan KKM Teluk Benoa oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dilakukan berdasarkan usulan dari Gubernur Bali. Hal ini memang sesuai dengan Pasal 20 PermenKP 17/2008 yang menyebutkan bahwa "Penetapan KKM ... dilaksanakan melalui tahapan: a. usulan inisiatif calon KKM; b. penilaian kelayakan calon KKM; dan penetapan KKM."
Namun demikian sebagai satu kesatuan sistem, PermenKP 17/2008 sebagai peraturan pelaksanaan harus tetap dilaksanakan dalam koridor UU 27/2007 jo. UU 1/2014.Â
Sebelum sampai pada tahapan penetapan, sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa UU 27/2007 jo. UU 1/2014 mengamanatkan adanya RZWP3K. Pasal 10 UU 27/2007 jo. UU 1/2014 menyebutkan bahwa "RZWP3K Provinsi ... terdiri atas: ... d. penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ..."
Lagi-lagi, sampai saat ini Provinsi Bali belum memiliki RZWP3K.
Analisis 5: KepmenKP 46/2019 sebagai sebuah Diskresi berdasarkan Undang-Undang 30 Tahun 2014 ("UU 30/2014") tentang Administrasi Pemerintahan
Dari analisis 1 sampai dengan analisis 4, kita telah mengetahui bahwa dalam kondisi ini "semuanya salah". "Salah" dalam artian bahwa peraturan atau keputusan yang diterbitkan ternyata patut diduga tidak didasarkan pada sebuah perencanaan yang matang, baik itu RZWP3K, RPPLH, KLHS dan Rencana Induk Reklamasi. Padahal dokumen-dokumen tersebut adalah amanat dari Undang-Undang.
Pada bagian rekomendasi di bawah, penulis akan menyampaikan hal-hal yang dapat dilakukan untuk meluruskan kembali "benang yang telah kusut" ini. Namun pertanyaannya adalah bagaimana kondisi saat ini sampai dengan peraturan-peraturan yang ada tersebut diperbaiki?
Bagi penulis, KepmenKP 46/2019 adalah sebuah diskresi berdasarkan UU 30/2014 dan solutif. Mengapa demikian? Pasal 1 angka 9 UU 30/2014 menyebutkan bahwa "Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan/atau adanya stagnasi pemerintahan."
Berkaitan dengan kondisi Teluk Benoa, dapat kita gunakan penjelasan Pasal 23 huruf c UU 30/2014 untuk menganalisa kondisi peraturan perundang-undangan yang ada. Penjelasan Pasal 23 huruf c UU 30/2014 berbunyi, "Yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan tidak lengkap atau tidak jelas" adalah apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tapi belum dibuat."
UU 27/2007 jo. UU 1/2014 serta UU 32/2009 mengamanatkan sinkronisasi RZWP3K, RPPLH dan KLHS ke dalam Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota. Perpres 122/2012 juga menyebutkan bahwa Rencana Induk Reklamasi perlu disinkronkan dengan RTRW. Namun faktanya RZWP3K sebagai peraturan pelaksanaan UU 27/2007 jo. UU 1/2014, Peraturan Pemerintah tentang RPPLH sebagai turunan UU 32/2009 dan Rencana Induk Reklamasi sebagai pelaksanaan Perpres 122/2012 belum ada bahkan sampai saat ini.
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri tentang KLHS juga terbit pasca lahirnya Perpres 51/2014 (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 baru terbit tanggal 31 Oktober 2016.Â
Dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis juga baru terbit pada 29 Desember 2017), yang artinya dokumen KLHS pun belum ada.
Pun demikian, nyatanya Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 tetap diterbitkan. Artinya Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 didasarkan pada sebuah ketidakjelasan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, jika Perpres 45/2011 jo.Â
Perpres 51/2014 ini dieksekusi, maka secara jelas akan melanggar ketentuan Undang-Undang yang mengamanatkan adanya keterpaduan antara berbagai dokumen perencanaan, sebagai contoh Pasal 15 ayat (2) UU 32/2009 yang menyebutkan, "Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS ... ke dalam penyusunan atau evaluasi: a. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, ..." (Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 merupakan rencana rinci tata ruang berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UU 26/2007).
Berdasarkan uraian tersebut, cukup alasan untuk dapat mengeluarkan sebuah diskresi. Yang perlu dipastikan adalah KepmenKP 46/2019 tersebut memenuhi persyaratan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU 30/2014 dan penerbitannya mengkuti prosedur khusus (Pasal 26) jika memenuhi kriteria yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (1) yaitu berpotensi mengubah alokasi anggaran atau membebani keuangan negara (Pasal 25 ayat (2)).
Kesimpulan
Pada bagian ini penulis ingin menyederhanakan poin-poin penting dari uraian analisis di atas. Pertama, penulis menduga kuat bahwa proses penyusunan Perpres 51/2014 tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Kedua, penulis mempertanyakan bagaimana pertimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup pada saat penyusunan Perpres 51/2014. Ketiga, penyusunan Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 dilakukan tanpa penyelarasan dengan RZWP3K Provinsi Bali. Keempat, penetapan Teluk Benoa sebagai KKM (penerbitan KepmenKP 46/2019) dilaksanakan tanpa adanya RZWP3K Provinsi Bali. Kelima, KepmenKP 46/2019 adalah diskresi pejabat pemerintahan yang solutif.
Rekomendasi
Kondisi yang terjadi saat ini sangatlah kompleks. Bagaimana upaya yang dapat ditempuh?
Pertama, Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Koordinator segera melakukan pembaruan pada PP 26/2008 jo. PP 13/2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Mengapa? Karena UU 26/2007, UU 27/2007 jo. UU 1/2014 dan UU 32/2009 mengamanatkan sebuah keterpaduan. Terlebih lagi, saat ini telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Akan lebih baik jika Pemerintah juga segera menyelesaikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Kedua, Pemerintah Pusat bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Bali mempercepat terbitnya RZWP3K Provinsi Bali serta mempercepat penyusunan RPPLH, KLHS Provinsi Bali serta Rencana Induk Reklamasi (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Perpres 122/2012). Hal ini penting agar Rencana Tata Ruang untuk Provinsi Bali sejalan dan sinkron dengan RZWP3K, RPPLH, KLHS dan Rencana Induk Reklamasi.
Ketiga, mengingat bahwa seluruh proses penyesuaian peraturan tersebut akan memakan waktu, sangat dianjurkan agar proses reklamasi dihentikan sementara. KepmenKP 46/2019 merupakan produk hukum yang tepat untuk menjaga status quo. Mengapa demikian? Selain uraian pada analisis 5, dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) prinsip kehati-hatian haruslah diutamakan. Lingkungan hidup adalah suatu hal yang rentan, oleh karenanya pendekatan pencegahan lebih perlu dikedepankan. Saat ini, menjaga Teluk Benoa ada pada kondisi alamiahnya lebih baik sampai ada kajian yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada poin rekomendasi pertama dan kedua. Pembangunan pada Teluk Benoa bisa jadi dapat dilakukan, bisa jadi tidak dapat dilakukan. Keputusan mengenai hal ini harus didasarkan pada kajian mendalam terlebih dahulu yang tercantum dalam RZWP3K, KLHS dan Rencana Induk Reklamasi.
Keempat, masyarakat harus berperan aktif dan mengawal pemerintah untuk melaksanakan poin pertama dan kedua. Upaya lain yang dapat ditempuh oleh masyarakat, dalam hal pemerintah terlihat enggan untuk melaksanakan perbaikan regulasi seperti yang telah disebutkan di atas, adalah dengan mengajukan uji materi Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 ke Mahkamah Agung. Pasal 31 dan 31 A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung memberikan hak bagi setiap orang untuk melakukan uji materi peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Demikian sedikit pandangan dari penulis. Semoga dapat mencerahkan. Masukan dari pembaca tentu sangat diharapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H