Disini publik jelas perlu mempertanyakan alasan-alasan diubahnya status Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi Zona Penunjang yang terhadapnya dapat dilaksanakan reklamasi. Adakah pertimbangan mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pengambilan kebijakan ini?
Analisis 3: Ruang Lingkup dan lex specialis derogat legi generali
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Perpres 51/2014 jo. Perpres 45/2011 merupakan produk turunan dari PP 26/2008 jo. PP 13/2007 yang merupakan turunan dari UU 26/2007. Di dalam UU 26/2007, khususnya pada Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) disebutkan bahwa Penataan Ruang, baik Nasional (ayat (3)) maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota (ayat (4)) meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara.Â
Namun demikian, Pasal 6 ayat (5) mengatur lebih lanjut bahwa Ruang Laut dan Ruang Udara, pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Dari ketentuan ayat-ayat ini, maka kita ketahui dengan jelas bahwa cakupan UU 26/2007 adalah ruang darat. Namun sampai manakah batasan konkrit "ruang darat" itu?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, kita merujuk pada Pasal 2 UU 27/2007 jo. UU 1/2014 yang berbunyi: "Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai."Â
Artinya, dari ketentuan UU 26/2007 dan UU 27/2007 jo. UU 1/2014 dapat kita simpulkan bahwa ruang lingkup berlakunya UU 26/2007 adalah seluruh daratan sampai pada wilayah kecamatan sebelum kecamatan yang berbatasan dengan pantai. Dan ruang lingkup UU 27/2007 jo. UU 1/2014 adalah wilayah kecamatan yang berbatasan dengan pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai (penjelasan Pasal 14 ayat (6) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa "garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi").
Penjelasan umum UU 27/2007 jo. UU 1/2014 juga menyatakan bahwa, "Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disusun ... dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam ... Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil yang akan dimuat (dalam UU ini) difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada, atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan."Â
Membaca uraian ini, artinya UU 27/2007 jo. UU 1/2014 adalah lex specialis dari UU 26/2007, atau dapat dikatakan UU 27/2007 jo. UU 1/2014 mengatur secara spesifik "tata ruang" wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sekarang mari kita lihat Perpres 45/2011 jo Perpres 51/2014. Pasal 53 ayat (2) huruf c Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 mengatur adanya Zona L3. Menurut pasal tersebut, Zona L3 adalah Zona yang merupakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terdapat pasal-pasal lanjutan mengenai Zona L3 dalam Perpres ini.Â
Artinya Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 ini mengatur sampai pada wilayah pesisir, padahal sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa UU 26/2007 tidaklah mencakup wilayah pesisir. Pertanyaannya, salahkah Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 ini?
Jawabannya tidak. Pasal 15 UU 26/2007 menyebutkan bahwa "Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi." Jadi dalam sebuah dokumen RTRW pasti tercantum juga perencanaan tata ruang laut. Yang perlu diperhatikan adalah terdapat mekanisme khusus sehingga perencanaan tata ruang laut tersebut dapat masuk ke dalam dokumen RTRW.