Mohon tunggu...
Aymara Ramdani
Aymara Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Sebebas Camar Kau Berteriak Setabah Nelayan Menembus Badai Seiklas Karang Menunggu Ombak Seperti Lautan Engkau Bersikap Sang Petualangan Iwan Fals

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Sebuah Perjalanan: Pendakian Gunung Sumbing

8 Desember 2017   11:24 Diperbarui: 8 Desember 2017   13:08 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Hari semakin gelap, namun cahaya mentari masih terlihat samar, ketika mata kami tertuju ke belakang, waw, indahnya Gunung Sindoro --yang konon adalah istrinya Gunung Sumbing-- membelakkan mata kita, siluet dan jingga keemasan yang dipancarkan dari cahaya matahari begitu eksotis dan cantik, sementara awan-awan itu bergelombang laksana ombak yang saling bersahutan, amazing, P(f) dan Kang Sob langsung mengambil senjatanya untuk mengabadikan moment itu. so nice. "ini belum sampai puncak lho", masih jauh, kata seorang penduduk setempat yang sedang berjalan. Membawa sundung dan rumput untuk makan ternaknya. Namun pesonanya sudah meracuni kami.

320061-1952426458313-892208896-n-5a2a2bd55ffe1f652a672f42.jpg
320061-1952426458313-892208896-n-5a2a2bd55ffe1f652a672f42.jpg
320061-1952426538315-2051491268-n-5a2a2bc66d12860e0c4d4782.jpg
320061-1952426538315-2051491268-n-5a2a2bc66d12860e0c4d4782.jpg
Menjelang maghrib kita tiba di bibir hutan, sebelumnya medan yang kami lalui adalah bebatuan yang ditata dengan rapi, nah sekarang ketika kami tiba di bibir hutan ini, kita di hadapkan dengan medan tanah dan berdebu, debunya luar biasa kawan. memang Gunung Sumbing ketika musim kemarau sangat terkenal dengan debu dan kegersangannya. 

Kami terus berjalan, berjalan dan berjalan. Peluh mulai membasahi kami, hembusan angin mulai merayapi kulit kami, kantuk mulai menghadang dan debu semakin ganas menyerang, namun semua itu terkalahkan dengan semangat teman-teman, Tutu, bidadari satu-satunya diantara bidadara-bidadara, begitu gigih melawan medan yang bisa dibilang berat.

dokpri
dokpri
Kami selalu melihat peta yang dibagikan di pos awal pendakian dan aku sampai salah baca pos pula, karena definisi yang diberikan di peta tersebut dengan medan yang kita lalui sepertinya sama, dan aku beranggapan bahwa kita sudah memasuki Pos Pestan, namun ketika ada tulisan pos di pohon, rupanya kita masih di pos 2, masih jauh untuk rencana awal kita yang ingin ngecamp di Pos Pestan. Akhirnya kita putuskan untuk ngecamp dan mencari tempat yang memungkinkan untuk mendirikan tenda. Mengingat energi yang sudah kita keluarkan sangat besar dan kita membutuhkan istirahat untuk mengembalikan energi kembali. Diambil keputusan bahwa yang membawa tenda untuk berjalan didepan, jika meneumukan tempat yang lapang dan datar, maka bisa langsung kita mendirikan tenda. 

Kang Tege, Aku dan Kang Nyot jalan didepan untuk mencari lokasi, tak berapa lama kita sudah mendapatkan tempat yang lumayan layak untuk ngecamp, segera buka tenda, dan menyiapkan segalanya. tenda berdiri dan siap kita untuk masak dan Narkopian. kita tidak tahu view yang akan kita lihat keesokan paginya, karena pada saat itu malam menjelang, sekira pukul 22.30..Makan malam tersedia, narkopi tidak ketinggalan menu kita malam ini adalah indomie rebus, telur dadar dan nasi, hmmm yummmy.

dokpri
dokpri
Apalagi yang lebih indah dari ini, kebersamaan dengan sahabat yang hanya bisa ditemui di antara rerimbuhan hutan dan desahan angin yang merayapi pori dan kulit kami,.namun hangat terasa, makan malam yang begitu indah di temani dengan cahaya bulan jutaan gemintang menambah syhadu kebersamaan kami. 

Makan malam yang bukan hanya bisa mengganjal perut, namun juga mempunyai sensasi yang luar biasa yang menurutku mengalahkan candle light dinnernya orang-orang ternama. setelah itu...bergegas masuk tenda, ambil jaket, dan SB, karena angin mulai merayapi kembali masuk melalui pori-pori yang membuat badan menggigil.. zzzttttttt......tidoooorrrrrrr..

dokpri
dokpri
Ketika mata ini masih mengantuk, berat dan malas untuk bangun, sayup terdengar ada yang mengucap astaghfirullah, entah siapa yang berucap demikian, namun itu cukup untuk membangunkan aku dari mimpi indah, ku belalakkan mata, dan aku buka tenda, wwawww, aku takjub kawan, aku terpesona dan mengagungkan nama Tuhan juga, pemandangan yang luar biasa, Gunung Sindoro begitu anggun menampakkan kecantikannya, dibaluti oleh awan gemawan laksana ombak bersahutan, di kejauhan Gunung Slamet sedang batuk-batuk kecil memuntahkan abu vulkaniknya. Seperti biasa P(f) dan Kang Sob langsung mengambil senjatanya, mengabadikan moment itu, setelah puas, kita memasak, membuat sarapan, membuat kopi dan kami repacking untuk melanjutkan pendakian lagi.

dokpri
dokpri
Tepat jam 09.00 kami melangkahkan kaki kembali, melewati tanah yang kering, batuan dan debu yang semakin ganas, medan semakin terjal, rupanya kita ngecamp dekat dengan Pos 3 atau Pestan, yang konon di pos ini adalah tempat bertransaksinya makhluk ghaib. kita beristirahat sejenak melepas lelah dan menikmati pemandangan yang semakin eksotis.

dokpri
dokpri
Masih ada beberapa pos lagi yang akan kita lewati, Pasar Watu, Watu Kotak, saya lupa satu lagi seingat saya ada kata putih-putihnya dan baru puncak, haaaaaaah aku bergumam..Kami tetap semangat untuk menggapai asa di puncak Gunung Sumbing. Untuk meringankan beban kita, kami mendirikan tenda untuk menaruh barang-barang  atau tas kita di Pos Pestan ini, dengan harapan, dengan tidak terlalu beratnya beban kita dipundak jelas akan meringankan langkah kita untuk menapaki jalan setapak yang penuh dengan batuan, debu dan punggungan gunung serta padang sabana yang luar biasa. Benar kawan, dengan hilangnya beban kita di pundak, langkah kita semakin nyaman, tertaur dan ringan. Namun medan semakin terjal dan berdebu yang tiada hentinya menghembuskan uap-uap debunya membuat langkah kita semakin lambat. Tenggorokan semakin kering, dan terik mentari menambah goyang fisik kami. Seperti biasa, dengan tekad yang kuat pasti kita mampu mengalahkan itu semua.

dokpri
dokpri
Pos Pasar Watu tiba, seperti biasa juga kita istirahat sejenak dan menikmati suasana alam yang mengagumkan, perpaduan antara awan, sabana dan gunung yang dilingkari awan, membuat kaki-kaki kami terobati laksana obat pelemas otot, aku menyebutnya konspirasi 3, ya, tiga buah ciptaaan tuhan melakukan konspirasi, yang menghasilan suatu kombinasi warna dan lukisan alam yang tak pernah kami jumpai. Putih hijau dan biru. Setelah istirahat dan melihat 3 konspirasi tadi, kami teruskan penrjalanan ini untuk mencapai Pos Watu Kotak, "bonuuuuussss' aku berteriak memberikan sedikit asa kepada diriku dan kawan-kawan. Karena sedari tadi kami tidak mendapatkan jalan datar, tanjakan yang terjal dan ekstrim adalah jalur yang selalu kami lalui. Oh ya dalam istilah pendakian kata-kata bonus ini sering sekali terucap, jika kita mendapatkan medan yang datar dan landai.. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun