Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Surau

30 Mei 2018   22:49 Diperbarui: 31 Mei 2018   08:55 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/NWFFAIR

Kaki Bambang melangkah ke arah surau. Terdengar suara buldoser dan kerumunan orang yang berdebat. Dari jarak yang semakin dekat, Bambang mengamati orang-orang suruhannya beradu argumen dengan 4 orang laki-laki dan 3 orang perempuan.

Dari jarak 6 meter Bambang mengamati ke-7 orang tersebut. Matanya memicing ,otaknya masih bisa mengingat jelas nama-nama orang-orang itu. Pria tegap berkumis tipis itu Rudi, di antara semua ia yang terlihat paling vokal. Di sebelahnya ada Deni yang tengah berkacak pinggang. Di belakang Rudi dan Deni ada Rita dan Siti, ke duanya berupaya mendukung argumen Rudi, raut marah tampak dari muka keduanya. 

2 pria yang lain Bagas dan Tarji, Bagas lebih banyak manggut-manggut dan membelai jenggot yang entah sudah tumbuh berapa tahun, sementara Tarji menatap ke arah bawah sembari memainkan kerikil dengan kaki kanannya. Seorang wanita yang berada paling belakang terlihat lebih tenang, ke dua jemarinya beradu, meremas kekosongan. Ia adalah Zahra, gadis terkalem dengan muka paling teduh sedunia.

25 tahun berlalu dan Bambang masih mengingat jelas nama-nama itu. Bahkan Bambang hapal betul sifat dan kelakuan masing-masing dari mereka. Ia ingin mendekat tapi urung. Separuh niatnya ingin menyapa hangat ke-7 orang itu tapi separuh lagi enggan, takut respon mereka tak terlalu baik. Sebenarnya bukan itu saja yang membuat Bambang sangsi melanjutkan langkahnya, ia takut tak diingat.

Tepat saat ramadan 25 tahun lalu, ia adalah bagian dari surau yang sebentar lagi rata oleh buldoser kirimannya. Di hari terakhir mengaji, Bambang masih ingat betul koko dan sarung yang ia kenakan kala itu. Diam-diam ia masih menyimpan baju tersebut dalam sebuah kotak kayu warna cokelat yang ia sembunyikan di bawah almari pakaiannya. 

Memang terlihat aneh, di rumah Bambang yang serba modern dan minimalis ada sebuah kotak cokelat ukuran 30x40 cm yang lapuk dan usang. Jika saja kotak itu berada di luar maka akan terlihat seperti orang pedalaman yang kesasar di mall paling megah di Jakarta. Untungnya ia bersembunyi dan tenang di bawah almari.

Teringat jelas di benak Bambang, saat Pak Zaenal menunjuk papan tulis usang, mengeja huruf hijaiah satu persatu. Masih teringat jelas ketika semua anak menirukan apa yang Pak Zaenal lafalkan. Rudi, yang saat ini hampir mau menarik kerah orang suruhan Bambang itulah yang paling keras menirukan. Dari kecil Rudi memang sudah vokal. 

Bambang sendiri malah mencuri-curi pandang ke pojok belakang ke arah perempuan yang membuatnya selalu ingin berangkat mengaji. Zahra yang mendapati dirinya diamati Bambang menjadi merah padam dan berpura-pura tak menghiraukan.

Takk.

Kapur Pak Zaenal mendarat mulus dijidat Bambang yang kedapatan sedang lalai. Semua anak tertawa keras, sementara Zahra hanya tersenyum melihat Pak Zaenal memarahi Bambang. Sementara si pria kecil hanya tertunduk malu bagai kucing yang tertangkap sedang berak.

Bambang tak mengira hari itu adalah hari terakhir Pak Zaenal memarahinya. Ia pun terkejut harus pindah ke pulau lain malam itu juga. Ia tak sempat lagi mengucapkan salam perpisahan ke teman-temannya, ia tak sempat menatap lekat-lekat surau mereka sebagai ingatan terakhir. Bersama kepergian Bambang, pagi harinya, Pak Zaenal dikabarkan meninggal dunia.

Kepindahan membuat Bambang banyak berpikir, di satu sisi ia merasa bahagia karena tak akan ada lagi desas-desus bahwa ayahnya pengikut aliran sesat seperti yang sering lewat di telinganya. Tapi di sisi lain, ia masih tak bisa melepas ingatan mengaji di surau bersama teman-temannya.

Langkah Bambang semakin mendekati kerumunan. Ke-6 temannya menoleh menyadari kehadirannya kecuali Rudi yang masih beradu argumen. Setelah menyadari keheningan di antara teman-temannya barulah Rudi menghentikan ucapannya.

"Bambang...," ucap Zahra lirih.

"Bambang?" Lanjut Tarji heran, diikuti yang lain.

"Pak.." orang suruhan Bambang memberi tanda hormat begitu menyadari kehadirannya.

Bambang mengangguk kecil.

Suasana hening sejenak. Ke-7 orang yang tadi ramai menjadi senyap, berusaha menyusus banyak potongan puzzle, tentang 25 tahun silam, tentang orang-orang tegap yang sedari tadi mereka ajak berdebat dan memanggil Bambang dengan sebutan "Pak.."

Panggilan itu bagi ke-7 orang itu tidak hanya sekadar panggilan. Lebih jauh, itu mengartikan bahwa Bambang adalah orang di balik proyek penghancuran surau mereka. Surau mereka akan rata dengan tanah bukan oleh seorang Bambang biasa. Ini adalah Bambang yang juga pernah memiliki surau mereka, Bambang yang menghabiskan masa-masa sorenya bersama mereka. Bambang yang adalah bagian dari surau itu sendiri.

"Saya sudah berusaha menjelaskan Pak, bahwa Bapak ingin mengubah surau tersebut, tapi..."

"O....jadi kamu orang yang membawa buldoser itu? Nggak nyangka ya saya....." suara Rudi meninggi.

"Rudi...."

"Jangan nyebut nama saya, haram!" Rudi mencegat Bambang meneruskan kata-katanya.

"Apa kamu sudah baca kontrak yang saya ajukan?" Bambang berusaha menjelaskan.

"Persetan dengan kontrakmu! Orang seperti kamu hanya tahu kontrak! Segalanya diukur dengan kontrak! Kalian tidak memikirkan orang seperti kami, lagian, kamu pernah tinggal dan mengaji di surau ini, kamu tidak malu sebagai alumni?" Rudi menyerang Bambang dengan membabi buta.

"Jadi biar saya jelaskan Rud..."

"Jangan sok akrab!"

"Rud...!"

"Sudah saya bilang jangan sok akrab! Aku tidak mengenal penghianat seperti kamu!"

"Bagaimana saya bisa jelaskan kalau kamu tidak memberi saya kesempatan bicara?" Sahut Bambang.

"Rud...kasih kesempatan Bambang untuk menjelaskan, ini bulan ramadan tak baik marah-marah begitu!" Zahra berusaha menengahi.

Bambang seperti mendapat angin segar dengan mendapat dukungan dari Zahra.

"Jadi, rencananya surau ini akan saya renovasi, bukan saya hilangkan." Bambang berusaha menjelaskan. Rudi terlihat acuh.

"Rencananya seluruh bangunan akan saya perbarui mengingat usia bangunan yang cukup tua, lalu nantinya akan ditingkat jadi bisa menampung murid lebih banyak. Saya juga akan mengisi seluruh keperluan surau." Sambung Bambang.

"Kamu hilang selama 25 tahun dan sekarang tiba-tiba di sini mau merenovasi surau? Bagaimana kami bisa percaya rencanamu?" Deni meragukan niat Bambang.

"Makanya saya bikin kesepakatan melalui kontrak ini, jadi kalian tak perlu takut saya berbohong." Bambang menyodorkan draf kontrak kepada Deni.

Bambang sadar, ia harus bersabar menghadapi ke-7 teman lamanya. Melihat dari cara berpakaian dan cara mereka berdebat Bambang tahu mereka tidak seberuntung dirinya yang bisa mengenyam bangku pendidikan hingga S2. 

Mereka juga bisa dikatakan tidak sesukses dirinya, tapi apalah arti sukses, ia yakin betul teman-temannya sudah sukses menurut takaran mereka sendiri. Seperti kata Pak Zaenal dulu, kesuksesan itu tidak terlihat dari apa yang kamu pakai dan miliki, kesuksesan itu saat kamu bisa bersyukur dengan apapun kondisimu. Sejauh kamu tidak mengeluh itulah sukses.

Meski Bambang sudah meraih karir cemerlang diusia muda namun ia tak bisa lupa dengan Zahra. Dan jika ia ingin menikahi seorang wanita, wanita itu adalah Zahra. Bambang menatap Zahra, wajahnya masih seteduh yang dulu. Apa jadinya jika perdebatan ini selesai, ia menuju ke rumah Zahra dan melamarnya? Bambang tak sabar ingin menunaikan niat baiknya.

"Ibu.....apa sudah mau buka puasa, Bu?" Suara anak kecil memecah ketegangan di antara mereka. Sontak semua orang menoleh ke arah sumber suara.

"Zulaecha sayang..." Zahra merentangkan ke dua tangan siap menyambut pelukan si anak.

"Belum boleh buka sayang, setengah jam lagi. Sabar ya sayang..." Zahra mencium pipi si anak.

Bambang bingung melihat pemandangan tersebut.

"Kakakmu mana, kok keluar sendirian, Nak?" Rudi bertanya dan disambut pelukan si anak.

"Di rumah, Bapak ayo pulang Echa mau diajarin baca Iqro'." Jawab si anak.

"Iya, sebentar lagi ya Sayang," Balas Rudi.

Bambang merasa sempoyongan. Ia melihat ke Zahra, lalu ke Rudi dan ke anak kecil yang usianya mungkin sekitar 3 tahun itu. Terungkap sudah alasan Rudi tak pernah menyukainya, dulu. Rudi juga yang menyebar isu ke teman-temannya bahwa Bapaknya menganut aliran sesat.

Semakin banyak puzzle tersusun dalam ingatannya, semakin limbung tubuh Bambang. Rencana hidup bersama Zahra dan surat kontrak untuk memperbaiki surau kenangan mereka seakan menjauh. Bambang berusaha menggapai hatinya yang remuk. Dalam kekalutan yang teramat ia mencoba menguasai diri untuk bisa berkata, 

"Saya tetap akan merenovasi surau kita. Saya janji!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun