Kepindahan membuat Bambang banyak berpikir, di satu sisi ia merasa bahagia karena tak akan ada lagi desas-desus bahwa ayahnya pengikut aliran sesat seperti yang sering lewat di telinganya. Tapi di sisi lain, ia masih tak bisa melepas ingatan mengaji di surau bersama teman-temannya.
Langkah Bambang semakin mendekati kerumunan. Ke-6 temannya menoleh menyadari kehadirannya kecuali Rudi yang masih beradu argumen. Setelah menyadari keheningan di antara teman-temannya barulah Rudi menghentikan ucapannya.
"Bambang...," ucap Zahra lirih.
"Bambang?" Lanjut Tarji heran, diikuti yang lain.
"Pak.." orang suruhan Bambang memberi tanda hormat begitu menyadari kehadirannya.
Bambang mengangguk kecil.
Suasana hening sejenak. Ke-7 orang yang tadi ramai menjadi senyap, berusaha menyusus banyak potongan puzzle, tentang 25 tahun silam, tentang orang-orang tegap yang sedari tadi mereka ajak berdebat dan memanggil Bambang dengan sebutan "Pak.."
Panggilan itu bagi ke-7 orang itu tidak hanya sekadar panggilan. Lebih jauh, itu mengartikan bahwa Bambang adalah orang di balik proyek penghancuran surau mereka. Surau mereka akan rata dengan tanah bukan oleh seorang Bambang biasa. Ini adalah Bambang yang juga pernah memiliki surau mereka, Bambang yang menghabiskan masa-masa sorenya bersama mereka. Bambang yang adalah bagian dari surau itu sendiri.
"Saya sudah berusaha menjelaskan Pak, bahwa Bapak ingin mengubah surau tersebut, tapi..."
"O....jadi kamu orang yang membawa buldoser itu? Nggak nyangka ya saya....." suara Rudi meninggi.
"Rudi...."